D D M [7]
***
"Di sekitarmu banyak lalat, berarti sosok mantan tak jauh darimu. Karena lalat tahu mana sosok bangkai yang sebenarnya."
***
Jika kesengsaraan dan kebahagiaan memang sepaket, jelas sudah di kehidupan ini akan selalu kutemui dua hal tersebut dari sosok 'mantan'.
Termenung sambil menopang dagu di dekat jendela. Melihat langit malam yang tak berbintang. Mendengar suara klakson yang saling bersahutan. Sedikit menghela napas. Membiarkan dinginnya udara malam menerpa. Melamunkan pria yang tadi siang kutemui. Ada apa denganku? Aku tak mungkin jatuh cinta semudah itu. Bisa saja aku hanya ... kagum.
"Kak!" panggil Widia dari arah belakang. Dengan memasang wajah malas, aku menoleh pada Widia. Sejak kapan bocah ini masuk? Mana dia sambil ngemil. Mengotori karpet halusku.
"Main masuk aja, nggak ngetok dulu."
"Situ yang budeg, aku yang disalahin. Dari tadi aku ngetok-ngetok pintu, nggak dibukain," ucap Widia dengan sedikit ketus.
"Loh? Kok aku nggak denger ya?"
"Hadehh! Tuh, ada tamu di bawah. Katanya nyariin Kakak."
"Tamu?"
"Cowok, loh, Kak! Aduh!"
Widia keluar dari kamar dengan tergesa-gesa sambil memegang perutnya. Kayaknya dia ngemil terlalu banyak. Sifat bapak turun ke anak.
Haduh ... siapa yang datang berkunjung. Tanpa memberi kabar terlebih dahulu. Jangan-jangan ... mantan. Semoga saja bukan.
"Ghita! Turun, Nak," Ibu berteriak memanggilku. Ada nada mengancam di dalamnya. Sebaiknya aku bergegas sebelum Ibu naik ke atas sini.
Tanpa melihat tampilan di cermin. Aku langsung turun ke bawah. Sepanjang tangga aku menggerutu tak jelas.
***
Di ruang tamu ada Ibu, Ayah, dan juga ... seorang pria yang membelakangiku. Warna rambutnya sedikit didominasi warna abu-abu. Seperti diselang-seling.
"Ghita, ke sini, Nak. Kenalin nih, anaknya Ibu Adelia, teman Ibu," ucap Ibu sambil menepuk sofa di sampingnya. Ayah hanya tersenyum padaku.
Pria itu berbalik melihatku. Tolehannya membuat waktu seakan melambat. Dia tersenyum, memperlihatkan deretan giginya yang putih. Alis tebal, bibir full, dan cambang tipis membingkai dari telinga hingga ke dagu. Aku tersenyum kikuk, sambil menjepitkan rambut di telingaku. Apakah aku malu?
Berjalan dengan mata tak berpaling dari wajahnya. Daya tarik yang dia percikkan sangat kuat. Sesekali aku mesem, kemudian duduk di sofa dekat Ibu. Tepat searah dengan pria itu. Semesta! Aku bergetar.
"Nah, kenalin, ini namanya Adnan." Ayah tersenyum padaku dan Adnan. Sementara Ibu menyenggol bahuku.
"Eh, hem. Oh iya, aku Ghita."
Aku tersenyum semanis yang aku bisa. Tapi Adnan malah menautkan alisnya. Apa aku terlihat aneh.
"Nak Adnan ini, wajahnya mirip orang Arab, ya," ucap Ayah yang dibalas Adnan dengan senyum.
"Betul!" Aku refleks mengucapkan itu. Adnan kembali tersenyum. Tersenyum ke arahku.
"Mirip Ayah," ucap Ayah percaya diri sambil mengusap-usap wajahnya.
Aku dan Ibu menatap Ayah dengan geli. Ibu sampai mau muntah. Malam ini, Ayah juga menggunakan celana kulit kesayangannya. Semakin aneh saja.
"Ayah memang ada keturunan Arab. Tapi, sebagai untanya," tukas Widia, yang sekadar numpang lewat.
"Betul!" Seriusan aku refleks lagi. "Pfttt ... hahahaha."
"Hahahah."
Seketika ruangan penuh tawa. Ibu sampai menangis. Si pembuat tawa, Widia, sudah masuk di kamar. Ayah jadi cemberut. Awalnya tawaku tak terkontrol. Tapi, Adnan terus menatapku. Membuatku kembali sadar. Aku harus jaga image.
"Aku suka tawamu." Adnan tersenyum sambil menatap mataku.
Ibu dan Ayah langsung melirik ke arahku sambil bergumam dengan kata 'cie'. Sebenarnya agak bingung kalau aku ketawa mulutku rasanya lebar sekali. Bisa disimpulkan Adnan suka dengan perempuan bermulut besar.
"Oke, Ayah dan Ibu masuk dulu. Kalian berdua, ngobrol aja,yah. Yok, Ayah kita masuk."
Ibu tersenyum, kemudian menarik lengan Ayah. Begitu keduanya berjalan meninggalkanku, kulihat celana Ayah sobek. Aku meremas jemariku. Lalu, menunduk Semoga Adnan tak melihatnya.
"Aku lihat kok."
"Loh?"
Kok Adnan bisa tahu? Apa dia kuyang, eh, cenayang? Aku ngomong apa, sih!
"Aku datang ke sini...."
Ucapan Adnan terpotong oleh suara berisik dari luar. Sangat gaduh.
"Ghita main yokk!"
"Berisik!"
"Biarin!"
"Ghita!"
PLAK!
Aku melempar Reski dengan sendal setelah kubuka kasar pintuku. Dia meringis di balik pagar. Yang lain hanya tertawa.
"Rasain!" Avita malah menoyor kepala Reski. Menambah ringisan panjang dari si empunya. Aku tertawa melihat tingkah mereka.
"Jangan cuma ketawa. Bukain pagar, kelessss," Desi berteriak sambil menggoyangkan pagar dengan brutal.
"Hooh."
Dian ikut-ikutan. Jam segini, mereka mau datang buat apa? Sudah malam pula.
"WOI! BERISIK! BISA DIAM NGGAK!?"
Mereka semua terdiam. Suara jangkrik mendominasi. Seperti anak yang kedapatan mencuri. Sangat lucu. Teriakan Mas Joko memang dahsyat. Menggelegar.
Setelah kubukakan pagar. Semua langsung lari terbirit-birit. Lalu, saling menyalahkan.
Aku berdiri depan mereka."Jangan berisik, ya. Aku lagi ada tamu," ucapku dengan berbisik.
"Siapa?" Mereka berucap hampir bersamaan.
"Kalian ngapain malam-malam datang ke sini?" tanyaku menatap mereka satu-persatu. Tak ada niat untuk menjawab pertanyaan mereka.
"Mau nginep!" Kali ini mereka berucap secara bersamaan.
Kulambaikan tangan agar mereka mengikutiku. Mereka masih saja mengoceh dan saling dorong. Sesampainya mereka di ruang tamu. Semuanya mematung. Memandang ke arah Adnan.
"Dia, kan...."
"Andan_Alfarizi!"
Mereka kompak menyebutkan nama itu. Semua menampakkan wajah gembira. Aku hanya melihat mereka dengan bingung. Dian mulai menganga lagi.
"Kok, kalian tahu?"
"Jelaslah! Dia kan, selebram! Nggak nyangka bakal ketemu di sini," jawab Desi dengan semringah.
"Dia itu yang komen foto kita di instagram. Yang tadi siang itu, loh. Masih ingat kan?" ucap Dian sedikit sombong.
"Beneran, Ghit?"
Aku mengangguk.
"Ganteng banget," Reski bergumam.
"Biasa saja, kok." Adnan membalas, rupanya dia mendengar Reski. Kemudian menyandarkan punggungnya pada sofa. Mengelus lembut cambang yang dia punya. Reski melompat-lompat, mengekspresikan hatinya. Dian masih menganga. Desi ... tersipu malu. Yang tak terlalu antusias, cuma Avita. Dia hanya tersenyum.
"Jangan pada berdiri, ayok duduk!"
Mereka semua memandangku, kecuali Dian.
"Ini nggak mimpi, kan? Lakukan sesuatu agar aku percaya," ucap Dian seperti sedang berpuisi.
Cup
"Ihhh! Kamu ngapain cium aku!?"
Dian memandang kesal ke arah Desi yang baru saja mengecup pipi Dian.
"Lah, tadi kamu bilang lakuin sesuatu agar kamu percaya. Hal ini bukan mimpi!"
"Nggak pake cium segala keless! Cubit bisa, kok. Aww ..." Dian meringis.
"Nah, udah beres, kan? Aku udah cubit kamu," Reski berucap enteng.
Aku kira Avita tak terlalu peduli. Tapi, ternyata ... dia sudah berada di sana. Di sofa, berdekatan dengan Adnan. Dia sibuk berfoto dengannya. Sepertinya dia telah melupakan Afdal untuk beberapa saat.
"Avita curang! Mengambil langkah terlebih dahulu, ini tak adil!" Desi berteriak lalu berjalan untuk menyeret Avita menjauh. Dian dan Reski ikut nimbrung. Mereka sekarang berebutan Adnan yang tersenyum kaku di tengah-tengah mereka, Adnan risih. Ini semakin kacau. Mereka semua seperti orang yang kehausan. Oke, ini berlebihan. Aku saja tak seperti mereka. Mungkin karena aku tidak tahu kalau Adnan adalah selebgram.
"Cukup!" teriakku.
Semua diam dan memaatung pada tempatnya masing-masing.
"Maafin teman aku, ya? Mereka suka khilaf, kalau lihat cowok tampan,"
Adnan mengangguk, membetulkan gaya rambutnya yang mulai acakan karena teman-temanku.
"Hmm ... kayaknya aku harus pulang. Ada urusan, lain kali aku ke sini, ya?" Adnan berdiri dari duduknya. Kemudian tersenyum pada semua.
Dia benar-benar risih. Aku tatap tajam teman-teman, memicingkan mata. Tanda sebuah ancaman untuk mereka. Aku bahkan tersenyum dengan raut mengerikan pada Adnan. Aku malu.
"Udah, nggak apa-apa kok. Aku memang ada urusan. Lain kali aku ke sini lagi, ya."
Adnan seolah-olah tahu isi hatiku. Kuantar dia sampai ke depan. Dia berlalu sambil menaiki motor besar berwarna hitam. Aku tak tahu motor tipe apa itu. Kemudian membunyikan klakson sekali. Melambaikan tangan, yang kubalas dengan lambaian juga.
Saatnya mengeksekusi mereka berempat.
"Sumpah dia ganteng banget."
"Alisnya juga tebel."
"Bibirnya seksi."
"Jadi pengen nikah."
"Kulit sawo matangnya, itu, loh. Bikin meleleh"
"Aku juga sawo matang."
"Maksudmu sawo busuk?"
Semua tertawa. Terdengar jelas kalau mereka sedang mengobrolkan Adnan. Pria itu datang ingin bertemu aku. Seharusnya ... akhh! Aku mulai geer. Tujuan Ibu kenalin aku dengan Adnan, apa ya?
"Ekhmmm." Aku duduk di antara mereka. " Sumpah kalian bikin malu, Adnan saja langsung pulang, uggghhh!"
"Bukannya dia ada urusan," tanya Avita dengan begonya.
"Ada makna terselubung di dalamnya. Dia itu risih. Aku tak percaya kalau dia punya urusan," jawabku.
Mereka ber-empat hanya ber-oh ria.
"Jadi ..."
"Loh, Adnan mana?" Ibu muncul. Menatap sekeliling.
"Udah pulang, Bu," jawabku.
"Lah, padahal Ibu udah capek-capek nidurin Ayah. Biar bisa ke sini dan ambil foto." Ibu mulai mendramatis. Berjalan lesu untuk kembali ke kamar.
"Nidurin? Terdengar ambigu," celoteh Dian.
"Ayo ke kamar!" ajakku.
Hari ini hari yang penuh kejutan!
***
Voment sayang
Dapat love dari Ghita ❤ katanya kapan kalian cerita tentang mantan padanya
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top