D D M [6]
***
"Ayo selamatkan bumi dari limbah masyarakat (mantan)"
***
"Ghita, bangun!" teriak Ibu dari luar sambil menggedor-gedor pintu.
Aku dan Dian bangun gelagapan karena terkejut. Bangun seperti orang yang terlambat ke sekolah. Sampai-sampai kepala kami saling berbentur menimbulkan desis kesakitan, berteriak 'aw' secara bersamaan.
"Jangan tidur mulu. Udah siang."
"Iya bu, hoaaammm," jawabku sambil mengumpulkan kesadaran. Dian langsung berdiri sambil menyisir rambut dengan tangannya.
"Jangan pikirin mantan mulu. Pantes aja kalian jomlo," ucap Ibu membuat aku dan Dian saling pandang.
Aku tak memikirkan mantan. Mereka yang membuatku kepikiran. Padahal aku sudah berdoa agar mereka tenang di alamnya dan tidak mengusikku selamanya.
"Dari mana ibu tahu?" aku berdiri sambil menuju pintu. Dian mengekor di belakang sambil ngupil dan dengan tidak sopan menaruh upilnya di daun pintu. Akan kusuruh dia menjilatinya nanti.
"Kan, Ibu, nguping kalian semalam," jawab Ibu sambil cekikikan. Tuh, kan kepo lagi. Seharusnya aku membuat kamar dengan ruangan kedap suara agar tak ada yang mendengarku jika sedang bercerita di dalam kamar.
Melihat penampilan Ibu. Rambut Ibu sudah disanggul rapi. Make up sana-sini. Membuatku bertanya dalam hati. Ibu mau ngapain sepagi ini?
"Kebiasaan deh, Bu. Kami berdua butuh privasi," kataku sambil memasang wajah cemberut dengan tingkat keasaman yang tinggi.
"Penampilan Ibu sudah rapi, Ibu mau ke mana?" ucap Dian dengan menatap ibuku dari atas ke bawah. Rupanya Dian juga heran dengan penampilan ibuku. Dian memang memanggil Ibu sama sepertiku. Begitu pula dengan Reski, Avita, dan Desi. Hal itu sesuai dengan perintah kepala suku, ibuku.
"Nggak mau ke mana-mana, kok," jawab Ibu sambil memperbaiki sedikit sanggulnya dan menarik tali bra-nya yang mulai longgar.
"Lah, terus?" tanyaku.
"Ibu, lagi buat vlog."
"What?" Aku menatap Ibu tak percaya. Dian malah menatap Ibu dengan tatapan 'wow'. Pantas saja Ibu selalu sibuk akhir-akhir ini.
"Gosok gigi dulu sana! Bau jigong tuh!" Ibu menutup hidungnya,"Dan Ibu mau ngingetin! Jangan kelamaan jomlo, entar jompo loh!" Ibu berlalu dari hadapan kami. Lalu, berjalan sambil mengoyangkan pinggul dengan anggun.
"Ngeri banget, Ghit!" Dian memeluk tubuhnya membuat gestur seperti sedang dalam kedinginan.
"Barusan ibuku ngatain kita." Kutarik bahu Dian lalu kuguncangkan. Ibu kalau sudah tahu rahasia, pasti selalu meledek. Dengan kata-kata yang menyambar seperti geledek.
"Iyaaahhh," jawab Dian dengan sedikit mendesah membuat kepala oleng mencium aroma kesengsaraaan dari moncongnya. Refleks aku menutup hidung.
"Kayaknya kita harus sikat gigi dulu deh," ucapku.
"Hooh."
Dian malah mendesah lagi. Mungkin sekali lagi dia melakukan itu, aku akan terkapar. Kudorong Dian menuju kamar mandi.
"Satu lagi, jangan ngemil odolku," ancamku saat Dian masuk ke kamar mandi.
"Tenang aja, aku udah bawa odol sendiri kok." sambil mengeluarkan pasta gigi dari saku celananya.
Bukannya aku pelit atau mengada-ngada. Dian itu memang suka ngemil pasta gigi sejak kami SMA. Awal mulanya tanyakan saja pada dia.
Mataku beralih pada sebuah jam dinding. Udah jam sepuluh lewat lima belas menit.
"Apa!" teriakku setelah sadar kalau sebentar lagi hari mencapai siang.
Pantas saja Ibu datang membangunkan kami. Semua ini tak akan terjadi jika malam kemarin, kami berdua tak membahas mantan. Sangat unfaedah. Lebih tepatnya sia-sia. Membuang masa hanya untuk mengingat mereka yang harusnya sudah binasa.
***
Aku dan Dian keluar sekitar jam satu siang. Memang sangat panas. Tapi, terpaksa aku lakukan. Karena Dian memaksaku untuk ikut ke salah satu kedai yang menjual berbagai macam es krim. Karena dasarnya aku memang rakus es krim makanya aku ikut.
Kami menggunakan transportasi online. Sesampainya di sana, aku langsung ingin masuk. Tapi, Dian menahan tanganku.
"Kita foto dulu. Baru masuk," ucap Dian."Biar yang lain pada iri."
"Ok, siap!"
Aku mulai merapikan rambut. Bergaya dengan pose yang imut.
"Kok, diem. Katanya mau foto?"
"Hapemu mana? Aku nggak bawa hape!" ucap Dian sambil menengadahkan tangannya padaku. Aku hanya tertawa melihatnya. Dian mengambil ponsel, lalu kami mulai ber-selfie ria. Mulai dari pose biasa sampai luar binasa.
"Eh, aku posting di instagram kamu, ya?" Aku hanya mengangguk. Setelah itu, Dian sibuk dengan ponselku. Berapa lama lagi kita akan masuk? Aku sudah tak mampu lagi, membayangkan es krim itu meleleh di mulutku.
"Wow! Kamu udah di-follow sama selebgram terkenal, Adnan_Alfarizi. Postingan kamu juga dikomen," ucap Dian antusias. Aku tak mengenal nama orang yang dia sebutkan. Lagi pula aku sangat jarang memperhatikan aplikasi yang satu ini. Mantanku juga tak ada yang bernama Adnan. Loh, kok aku malah mengingat mantan?
"Emang dia komen apa?" tanyaku sambil menarik ponsel dari tangannya. Mata Dian terus mengikuti layar ponsel sampai mendarat di tanganku.
Pria itu hanya menuliskan kata 'cute' di kolom komentar. Menurutku itu biasa-biasa saja. Kembali kuberi ponselku pada Dian. Tapi, kenapa wajah Dian terlihat sangat kegirangan. Bahkan moncongnya tak mengatup sedari dua menit yang lalu.
"Hello! Masih di bumi kan?" Kulambaikan tangan pada wajah Dian yang mulai terlihat cengo.
Tak kunjung dapat jawaban, dari arah seberang jalan Ardi berdiri tegak menyapu dagu sambil memicingkan mata ke arahku. Tenggerokan tiba-tiba mengering. Aku tak berani menatap Ardi. Aku langsung menarik Dian masuk ke dalam kedai. Dia sadar setelah dua kali tarikan.
"Di depan ada Ardi," ucapku sambil mengontrol perasaan yang mulai was-was.
"Ardi Apriansyah? Mantanmu yang paling agresif kan?"
"Iya. Aduh, gimana dong?"
"Kita nongkrong aja di kedai ini dulu. Lupakan semua dan lanjut makan es krim. By the way, Aku juga sudah nge-chat Desi, Reski, dan Avita untuk datang ke sini," jawab Dian dengan panjang lebar. Beberapa percikan liur membuatku kelilipan. Dian langsung kabur untuk memesan es krim. Lalu, datang dengan memegang dua gelas es krim.
"Duduk di sana aja yok!" tunjuk Dian dengan dagunya. Ke arah meja panjang paling pojok.
Aku mengambil alih satu es krim. Tak menunggu sampai meja. Aku langsung melahapnya. Dua sendok sudah masuk ke mulutku. Membuatku melupakan kejadian tadi. Memejamkan mata menikmati setiap cita rasa yang beragam dari es krim tersebut.
Brukkk
Aku tak bisa mempertahankan keseimbangan. Aku terjungkal ke belakang.
Pyarr
"Aduh!"
Gelasnya jadi pecah. Syukur saja tak menimpaku. Melihat sekitar, pengunjung masih sunyi. Beberapa acuh dan juga yang menertawakanku. Mendongak dengan wajah yang kesal. Menatap seseorang yang baru saja menimbulkan kegaduhan ini. Mataku bertemu dengan manik matanya. Kesalku tiba-tiba menurun drastis. Dia tertegun beberapa detik. Aku merasakan letupan dan percikan yang aneh. Rambut hitamnya. Sorotan mata teduhnya. Membuatku masuk ke dalamnya. Serasa semua lubang di tubuhku ikut bergetar, eh? Dia ganteng banget. Kuyakin dia jodohku.
"Maaf," ucapnya sambil mengulurkan tangannya kepadaku.
Hangat.
Itulah yang pertama kali kurasakan saat menyentuh telapak tangannya. Dian sedari tadi sibuk memotretku. Aku masih fokus menatap pria ini. Namun seketika buyar saat Dian menyenggol bahuku.
"Eh, iya ... nggak apa-apa, kok." Suaraku terdengar aneh. Terbata-bata. Dapat kudengar cekikikan Dian yang menyebalkan. Pria itu terlihat sedang berpikir keras. Biar kutebak, dia pasti sedang memikirkanku. Aaaaa ...
"Oh iya, Aku Axelsen."
Untuk kedua kalinya dia mengulurkan tangan. Aku terbawa suasana. Kalau dipikir-pikir nama pria ini terdengar seperti bule. Tapi wajahnya pribumi dan sedikit wajah Korea. Karena dia putih banget.
"Aku, Ghita."
Akhirnya aku bisa mengontrol suara menyebalkan ini. Seseorang menepuk belakangku. Kukira Dian, ternyata Desi dan diikuti dengan Reski juga Avita bersama cowoknya, Afdal.
Saat berbalik, pria itu sudah menuju pintu keluar. Ingin rasanya aku teriak "Hei! Kau telah membawa hatiku." Sejak kapan aku selebay ini? Kapan lagi aku bisa bertemu dengannya.
Kali ini Dian yang menyeretku. Duduk di meja dengan teman-temanku. Mereka mulai mengobrol banyak hal. Dian juga bercerita tentang aku yang tiba-tiba pergi dari warung Ibu Wati. Setelah itu fokusku teralihkan, oleh khayalan tentang pria tadi. Namun, harus buyar ketika ku melihat Ardi berdiri di daun pintu. Juga Doni yang tersenyum lebar di belakangnya.
Sejak kapan mereka menatapku seperti itu?
***
Jangan lupa beri vote dan komennya bestieee
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top