D D M [5]


***

"Tercium aroma penyesalan jika berdampingan dengan mantan terlebih lagi dari ketiak sang mantan"

***

Aku terguncang, terombang-ambing. Sekarang harus menahan pening. Segera aku mengambil obat dari kotak P3K yang terletak di ruang tamu. Sambil memegang segelas air di tangan kanan.

"Aku tidak minta oleh-oleh
Emas permata dan juga uang
Tapi yang kuharap
Engkau pulang...
Membawa kesetiaan..."

Samar-samar dari arah dapur nyanyian Ibu terdengar. Seperti biasa, sangat mengusik telinga. Aku kasihan dengan penyanyinya kalau tahu lagunya dibawakan oleh ibuku. Kalian tahu suara burung camar yang hampir mati? Kurang lebih seperti itu. Aku tak berbohong dan berlebihan. Kalian belum dengar kalau Widia yang mengomentari Ibu. Beda dengan Ayah yang tak pernah menegurnya. Ayah bahkan memujinya tapi kadang mengeluh juga padaku. Heran saja, kata Ayah suara Ibu itu unik bukannya jelek. Sampai umurku beranjak dewasa aku masih belum bisa menemukan sisi unik yang Ayah maksud. Untung saja suara Ibu lebih bagus kalau berbicara daripada bernyanyi.

Menghela napas lalu duduk di salah satu sofa sambil meneguk obat tersebut. Melirik ke arah Widia yang sibuk dengan ponselnya. Kulihat kembali papan obat yang kupegang ternyata obat yang kuminum adalah obat yang terakhir dan ...

"Akhh!" aku berteriak keras sambil berdiri. Tak peduli jika tetangga kejang-kejang mendengar teriakanku. Pokoknya ini keadaan darurat. Emergency!

Ibu berhenti bernyanyi lalu berlari ke arahku, disusul dengan Ayah yang hanya mengenakan baju dalam dan sarung saja dengan gaya yang berlebihan sambil melompati beberapa kursi. Padahal jalan ke ruang tamu itu mudah, hanya ayah yang membuatnya terasa sangat sulit. Mungkin Ayah merasa masih muda. Widia menatapku sambil menggeleng-geleng kepala lalu kembali fokus ke ponselnya. Dunianya benar-benar teralihkan.

"Kamu kenapa?" tanya Ibu.

"Aku minum pil KB, Bu!" jawabku dengan raut ketar-ketir dan tatapan mata yang horor.

Mereka semua ternganga berjamaah.

"APA! Kok bisa?" teriak Ibu."Gimana nih, Ayah, pil KB Ibu," lanjutnya.

"Niatnya mau minum obat sakit kepala, Bu. Tapi, aku nggak merhatiin dengan jelas. Ngapain juga Ibu taruh pil KB di sini." aku mulai mengentakkan kaki lagi.

"Jangan nyalahin Ibu, Ayah gimana nih?" Ibu malah melirik Ayah.

"Harus nahan. Besok aja, deh, Bu" jawab Ayah dengan raut kecewa yang dibuat-buat.

"Ayah dan Ibu ngomongin apa?"

Mereka berdua menatapku secara bersamaan. Kemudian cekikikan tak jelas. Melenggang pergi dengan Ibu yang bergelayutan manja di lengan Ayah.

Di sini aku yang harusnya perlu dikhawatirkan. Aku baru saja menelan pil KB. Kalau tak salah KB itu kepanjangan dari 'Keluarga Beradu' atau 'Berencana'? Lupakan itu, aku lupa. Apa itu tak mengapa? Aku harus bagaimana? Aku tak mau mandul, eh. Mereka seperti menganggapku tak ada. Hampa terasa. Meninggalkanku yang dirundung kebimbangan jiwa.

"Aku tak peduli," ucap Widia sambil memasang earphone seolah-olah dia mendengarku bersedih di dalam kalbu. Padahal aku meliriknya bukan untuk meminta bantuan. Tapi, hanya ingin memastikan dia masih ada di sana atau tidak, masih bernafas atau tidak, dan masih di bumi atau sudah terbawa dunia game.

Hidupku bagaikan habis gelap belum terbit terang eh, malah gelap lagi. Belum nampak yang cerah. Kehadiran mantan membawa aura gelap di setiap tindakanku. Emosi jiwa selalu mengarah pada hal-hal yang menyialkanku.

***

Malam Minggu kelabu untukku. Aku mengundang salah satu temanku, Dian, untuk menginap malam ini di rumah. Aku tak mengajak yang lain karena mereka pasti sibuk dengan gebetan masing-masing. Karena Dian jomblo sama sepertiku, jadi tak ada masalah mengundangnya bertandang ke rumah. Kata Dian, jomblo itu mahal. Makanya tidak laku-laku. Hal itu benar ataupun tidak yang penting tak jadi masalah.

Tak menunggu lama Dian datang dengan bantal kecil berbentuk kodok di pelukannya. Sebelas duabelas, loh. Kuajak langsung ke dalam kamar karena banyak yang ingin kuceritakan padanya. Bahkan aku menyiapkan cemilan di dalam kamar.

"Hoaaammm."

Dian menguap sambil melempar tubuhnya ke ranjang.

"Eits, kamu jangan molor dulu. Aku mau cerita banyak nih." Sambil kutarik lengan bajunya dan duduk di sampingnya.

"Ok, ok, aku bangun."

"Mau curhat apa?" tanya Dian sambil duduk sila di ranjang.

"Aku lagi stajung." Aku menunjukkan wajah lesu.

"Stajung?" tanyanya.

"Iya, stress tak berujung."

"Hahahah, stress kenapa? Kan kamu juga jomblo."

"Masalahnya bukan itu, tahu mantan kan? Nah akar masalahnya dari sana."

"Mantan nama lain dari setan, kan?"

"Betul banget," jawabku antusias.

"Emang ada apa dengan mantanmu?" Dian mulai menatapku dengan serius.

"Mereka mengejarku," ucapku sambil tertunduk.

"Bagus dong." Dian berucap enteng.

"Apanya yang bagus, coba? Doni, Sarwan, Ardi, Rian, Aldi ..."

"Stop!" Dian memotong ucapanku.
"Semua nama itu mantanmu?" tanyanya. Sebagai jawaban aku hanya mengangguk.

"Whoaaaa! Aku kira mantanmu cuma empat. Yang paling kuingat namanya hanya Sarwan dan Aksara," ucap Dian sambil memukul pelan dagu dengan jarinya.

"Kau salah. Aku punya banyak mantan sekaligus penderitaan karenanya."

Itu sebuah fakta yang mengerikan. Aku punya alasan mengapa aku tak mau disebut playgirl. Aku suka gonta-ganti pacar karena dulu aku tidak enak menolak cowok yang menaksirku. Jadi aku asal menerima saja dan memberi mereka kesempatan. Sebuah tindakan yang membawaku pada lingkaran ini. Putus karena ... aku sering mangkir dan selalu tidak punya waktu diajak kencan malam Minggu. Aku ini lebih suka berdiam diri di rumah, ikut Ibu arisan saat aku SMA, atau kulineran sama ayahku. Jadi si pacar mungkin terabaikan dan memilih untuk putus. Tapi aku yang lebih sering mengucap kata putus dan begitu terus siklusnya sampai aku merasa bosan. Apalagi aku sempat mendengar mereka memanfaatkan kebaikankanku untuk bisa grepe-grepe aku. Syukur saja aku tak sebodoh dengan pemikiran mereka yang tumpul. Setumpul perkakas mereka.

"Aksara? Aku kok tidak ingat siapa dia ya?" tanyaku dengan kebingungan.

"Iya, Aksara, pria tambun yang hitam."

"Oh, ya."

Sekarang aku mengingatnya. Dia pria yang tak lama pacaran denganku. Hanya sekitar dua Minggu atau kurang. Aku tak ingat aku putus karena apa, atau dia menembakku dengan cara apa. Bisa jadi dengan permen.

"Emang, mantanmu ada berapa, sih?"

"Kalau nggak salah ingat cuma 22 kok."

"Cuma? Kamu bilang cuma? Kalau kamu salah ingat gimana?"

"Aku pusing mikirinnya. Mana mereka pada ngejar-ngejar aku akhir-akhir ini."

Aku menunduk sambil menyapu kasar wajahku.

"Mantanmu yang muncul udah berapa?"

"Lima. Gimana nih?"

"Tenang aja. Aku bakal bantuin kamu kok," ucap Dian sambil menyapu lembut belakangku.

Aku langsung semringah.

"Tapi kalau yang tujuh belasnya ikut nongol gimana?"

"Ah, kamu mah nyebelin! Ngingetin aku yang hampir bersinar." Aku jongkok sambil memeluk lutut dengan patah hati.

"Hahahah, nanti kita minta bantuan sama teman yang lain ok!"

"Okelah kalau begitu."

Mengingat apa yang dikatakan Dian. Aku tak bisa membayangkan hal itu terjadi padaku.

"Eh, buku tentang mantanmu masih ada nggak?" tanya Dian sambil berdiri dari tempat tidur,"Kalau aku sih, udah hilang," lanjutnya.

Dian mulai mengotak-ngatik tumpukan buku di atas meja. Sesekali membaca judul buku yang ada.

"Eghhhh, ma ... masih," jawabku terbata-bata.

"Nah, ini dia!" ucap Dian dengan senyum yang lebar seolah menemukan kardus dengan isi lima ratus milyar. Dian mengangkat tinggi-tinggi buku tersebut.

Di sini aku merasa mual sampai ketulang. Menggigil sampai ke pembuluh darah.

"Biar aku baca, yah! Aku penasaran banget, nih!"

Sepertinya rasa kantuk Dian sudah menguap. Dia menarik sebuah kursi di dekat meja riasku. Aku tak melarangnya. Buat apa? Lagipula aku tidak peduli. Dia mulai membuka lembaran pertama. Rasa penasaran mulai menggelitik, datang seakan berbisik ditelingaku.

"Apa kau tak mau membacanya?" Dian menawariku.

Aku menggeleng tanda tak mau.

"Mantan pertama, Doni Kurniawan. Pria yang sopan namun pecicilan dan ehhhhhh."

Sudah cukup. Aku langsung menarik buku tersebut. Sudah runtuh pertahananku untuk tidak ikut membacanya. Jangan salahkan aku, salahkan Dian yang mulai membacanya. Tapi saat kubuka lembarannya, kok, aku merasa dalam bahaya. Perasaan seperti mantan mendominasi dan merajalela di otakku. Makin ke sini aku makin hilang kendali dan sulit untuk kembali. Aku tak mengerti apa yang barusan kukatakan.

"Aghhhhhhh," batinku berteriak.

***

Voment
Bestieee

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top