D D M [15]
***
Aku tidak masuk di universitas tersebut. Hanya menunggu Reski di cafe terdekat. Reski dan Avita berkuliah di sini. Tentunya dengan jurusan berbeda. Reski kimia dan Avita sastra Inggris. Kalau saja aku kuliah, akan kuambil jurusan ilmu hitam eh, ralat ilmu hukum. Dari sisi kanan, beberapa pria memperhatikanku. Kata temanku, Avita, aku punya daya tarik. Kata Dian, aku pakai susuk dan kuhadiahi dia dengan mencolok matanya. Pemikiran Dian memang terkesan aneh dan amburadul.
Di sisi kiri ada cowok gondrong bertebaran. Jika terus diperhatikan, aku terus membayangkan kutu yang bersemayam di rambut panjangnya. Kurasa aku terlalu sering mengomentari. Tak berselang lama mereka berdua datang. Wajah Avita benar-benar cemberut. Aku meminta penjelasan pada Reski dengan gerakan kepala. Reski malah mendelik. Mereka menarik kursi dan duduk di hadapanku.
"Kamu kenapa?" tanyaku pada Avita yang baru saja menopang dagunya.
"Lagi badmood!" jawab Avita dengan ketus.
"Butuh bahu untuk sandaran, tuh!" Reski memberi solusi.
"Bahu siapa? Afdal? Cowok nyebelin!" Avita ternyata sedang kesal dengan pacarnya. Kalau terus fokus ke Avita maka dengan melihat wajahnya sekarang kita tahu betapa horornya dia.
"Mau bahu yang lebih luas nggak?" usulku.
Avita dan Reski menatap bersamaan. Lalu disusul dengan anggukan. Bahkan Reski yang sudah punya calon masih sangat antusias. Mungkin calonnya tidak punya bahu.
Avita sampai membenturkan kepalanya di meja. Entahlah itu anggukan atau amukan.
"Bahu yang lebih luas adalah noh, bahu jalan," tunjukku ke jalan. Tanpa kusadari mereka mulai memanas dan berdiri menjitakku satu persatu.
****
Aku pulang sekitar jam tujuh malam. Tak ada motor di depan berarti tak ada Axelsen ataupun Adnan. Aku masuk ke rumah seperti pencuri saja. Tak mengetuk ataupun salam. Tumben Ibu lupa mengunci pintu. Biasanya dia mengoceh. Pintu rumah terbuka dengan pemandangan yang mengherankan. Bukan hantu lagipula mantan lebih menyeramkan dari makhluk sejenis mereka. Semuanya tampak gelap. Menengok ke rumah tetangga, semua lampu masih menyala. Apa Ayah lupa membayar listrik atau ada pencuri di rumahku?
Tuk!
Terdengar seperti orang yang sedang menendang kursi terus disusul oleh suara kentut yang mungil. Kok aku merinding ya? Jangan-jangan ...
"Uwahhhhh! HAHAHA!"
"Akhhhhh!" teriakku saat lampu menyala. Bagaimana tidak, Ayah muncul dengan topeng badut menyeramkan. Walau sebenarnya tak pakai topeng akan tetap menyeramkan, ups. Disusul oleh Ibu yang muncul dengan kostum kuntilanak. Aku tidak tahu maksud dua sejoli ini. Di antara Ayah dan Ibu aku tak siapa yang kentut. Kalau menendang kursi pasti Ayah soalnya ada lebam biru di betis bagian tulang kering. Dapat terlihat jelas karena Ayah menggunakan celana selutut.
"Ayah, Ibu, ngapain make kostum kayak gitu!" tanyaku pada mereka yang masih setia berekspresi seram. Menurutku ekspersi tersebut lebih cocok dikatakan kena struk. Mulut dibengkokkan dan muka dibelokkan.
"Ayah, muka Ibu nggak bisa kembali!" Ibu memukul bahu Ayah. Wajah Ibu tetap pada mode anehnya. Sepertinya drama akan bermula. Pertanyaanku seolah-olah angin lalu saja.
"Aku mau masuk dulu, capek banget," ucapku sambil menggaruk kepala. Saat mau naik ke tangga ada yang aneh. Seperti banyak yang mengawasi. Widia juga entah ke mana.
"HAPPY BIRTHDAY GHITA!"
Untuk kedua kalinya aku terkejut. Beberapa detik aku keheranan kemudian tersadar bahwa aku melupakan satu hal yaitu hari brojolku. Aku benar-benar melupakannya. Mataku mulai berair ketika mereka semua tersenyum. Ada Ayah, Ibu, adikku, sahabatku, bahkan teman kerjaku, dan juga ... Axelsen dan Adnan. Dari mana mereka berdua muncul. Perasaan sebelumnya mereka tak ada. Muka kembali tegang air mata tak jadi merembes. Aku takut mereka menagih jawaban.
"Dian kemana?" tanyaku berusaha menghentikan kontak mata pada Axelsen dan juga Adnan yang memang menatapku dengan intens?
"Aku di sini!" teriak Dian yang mulai turun dari tangga sambil membawa kue ulang tahun yang besar. Dia tersenyum lebar. "Happy birthday sayang!" lanjutnya dengan langkah kaki yang lebar.
"Cepetan!" seru Desi yang sedari tadi tak sabar. Dia memang sangat suka dengan yang manis-manis sampai sering tertipu dengan janji manis. Dian melompat-lompat dengan centilnya.
"Akhhh!"
"Oh no!"
"Tidak!"
"Jangan!"
Semua teriakan berasal dari keempat sahabatku.
Brukk
Dian terpeleset, terjungkal menginjak anak tangga ketiga dari bawah. Wajahnya sukses mencium lantai. Kue berhamburan tepat di kakiku. Semua orang berkumpul melingkari kue tersebut. Tak ada yang memperhatikan Dian sama sekali. Walau Dian meringis dengan wajah memelasnya.
"Yah, kuenya jadi rusak," ucap Reski yang menatap iba ke lantai.
"Gimana nih!" Desi duduk meratapi sang kue.
"Woy aku jatuh nih!" teriak Dian kesekian kalinya. Tak ada yang menggubris kecuali Rio, teman kerjaku. Mungkin dia ada hati dengan Dian.
Axelsen segera keluar bersama dengan Adnan. Entah apa yang ingin mereka lakukan. Sedari tadi mereka terdiam. Orangtua dan adikku hanya menganga lebar. Mereka sibuk melihat kue. Padahal kue tak jadi masalah, menurutku.
"Hei kuenya mau dilihatin sampai kapan juga nggak bakal balik," ucapku. Semuanya berbalik menatapku. Membuat aku merasa canggung. Desi sudah meneteskan air mata karena tak bisa mencicipi kuenya.
"Ghit, sorry ya," Dian datang sambil bergelayut di lenganku. Ketiga sahabatku menatap tajam Dian. Membuat Dian sembunyi di belakangku.
"Udah nggak apa-apa, kedatangan kalian saja aku sudah senang," ucapku.
"Ya sudah kita nyanyi saja!" lanjutku.
Semua mendesah malas. Aku yang ulang tahun merasa aneh. Kue hancur begitupula dengan semangat mereka. Saat sibuk-sibuknya bercakap lampu tiba-tiba mati kembali. Semua berlarian, seolah menjauh.
"Kalian ke mana!" ucapku. Semuanya seperti menghilang. Aku berjalan sambil meraba-meraba sekitar. Tak ada yang kutemukan selain sesuatu yang agak keras juga padat tapi sedikit kenyal. Aku pegang apa?
"KEJUTAN!" Suara gaduh secara bersamaan. Mereka berdiri membuat setengah lingkaran. Semua tampak lebih baik dari sebelumnya. Mereka tertawa melihat ekspresu wajahku yang pasti tampak hancur. Aku sadar ternyata kue yang jatuh hanyalah skenario belaka. Semua tersenyum, ada Adnan di sana. Axelsen entah kemana?
"Kamu ngapain?" tanya Ibu disusul dengan ekspresi kebingungan secara serentak. Ada apa nih? Reski membuat gestur menunjuk dengan alisnya.
"Apa ... an sih!" Aku menunduk malu dan tersenyum canggung. Bagaimana tidak? Kalian tahu apa yang kuremas saat mati lampu? Tak lain dan tak bukan dada Axelsen. Axelsen malah tersenyum geli. Pantas saja ada sensasi saat kuremas. Aku mundur beberapa langkah. Berusaha mengatakan pada diri tak terjadi apa-apa. Berbalik ke arah Avita yang paling peka di antara sahabatku.
"Jangan pada bengong dong, kita nyanyi lagu selamat ulang tahun aja seperti latihan kita." Baru juga kukode Avita langsung tahu apa yang kumau.
"Kita nggak pernah latihan tuh!" seru Desi yang sempat-sempatnya mencolek krim dari kue. Axelsen ikut bergabung.
"Nyanyi aja napa!" protes Avita.
"Panjang anunya panjang anunya panjang anunya serta mele...bar serta melebar. Eh, lagunya udah bener kan?" ucap Ibu percaya diri. Tapi, karena Ibu yang bilang, semuanya mengangguk tanda terima. Kalau aku protes bakalan panjang juga jadi diam saja.
Semua bernyanyi sesuai lirik dan arahan Ibu yang memang sejak lagu dinyanyukan dia yang paling bersemangat.
"Sebelum niup lilin. Baca doa dulu dan buat permintaan," ucap Ayah yang mulai meneteskan liur melihat kue yang benar-bensr menggoda dsri sebelumnya.
"Semoga aku ketemu jodoh yang tepat!" Aku refleks berkata tersebut. Kemudian meniup semua lilin dalam dua kali tiupan. Semua bertepuk tangan. Ada satu hal lagi yang kulupakan. Axelsen dan Adnan masih menatapku secara bersamaan. Hanya Ibu yang sadar akan hal tersebut. Ibu berjalan san berdiri di sampingku dengan memegang kedua bahuku. Semuanya sudah sibuk dengan kue. Aku memang tak terlalu suka dengan kue ulang tahun.
"Jadi di antara kalian berdua. Siapa yang telah menyatakan cinta pada Ghita." Sudah kuduga Ibu akan membuatku semakin malu saja.
"Aku." Jawab ke duanya.
***
Voment guys
Jangan diem heheh
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top