D D M [11]
***
"Mantan layaknya ampas kopi diseduh dua kali tak akan enak lagi"
***
Aku semakin kepikiran. Rasanya seperti ada yang beda di dalam hatiku. Entahlah aku sulit menjelaskannya. Setelah kejadian tersebut, Axelsen mengajakku untuk mengganti baju di salah satu mall terbesar di Makassar, sebagai permohonan maaf karena sudah mengotoriku. Walau sebenarnya aku yang membuat motor tersebut jatuh. Axelsen membelikanku baju ganti.
Kami menghabiskan waktu sampai menjelang magrib di pantai Losari. Pantai yang selalu ramai didatangi pengunjung apalagi anak remaja. Mengobrol ini itu yang membuat aku merasa akrab dengannya. Walau itu terjadi dalam waktu yang sangat singkat. Aku baru tahu kalau Axelsen tidak kuliah dan sekarang sedang mengurusi kafe warisan dari ayahnya.
Awalnya biasa-biasa saja. Tapi, saat Axelsen menggenggam tanganku rasanya ada yang aneh. Seperti disengat belut listrik, berdenyut-denyut menimbulkan sengat manja yang menggelitik.
***
Sekarang aku berada di kamar sambil memandang plester luka di sikuku. Melamunkan sesuatu hal yang aku sendiri tak tahu.
"Ghita!" Sayup-sayup terdengar suara Ayah. Aku segera menurunkan lengan baju, takut Ayah lihat lukaku. Sudah cukup Ibu yang keheranan melihatku pulang dengan baju baru dan seorang pria. Entah karena malas atau apa, Ibu tak bertanya banyak. Axelsen sebenarnya ingin singgah dan menyapa ibuku. Tapi, aku melarangnya. Aku menyuruhnya pulang dan beristirahat. Ayah sudah berada di pintu kamar, yang memang tak kututup.
"Eh, Ayah! Ada apa, Yah?"
"Di bawah ada Adnan, lagi nungguin kamu."
Muka Ayah tegang banget. Sepertinya ada yang tidak beres.
"Kok, Ayah yang manggil? Biasanya kan Ibu." Apa kata-kataku ada yang salah. Soalnya muka Ayah makin tegang.
"Ibumu lagi sibuk foto-foto di bawah sana!" Ayah menampakkan wajah kesalnya. Sangat lucu.
"Loh?" Tak lain dan tak bukan Ayah pasti sedang cemburu. Bahkan dadanya kembang kempis.
"Suruh ibumu jangan terlalu mepet dengan Nak Adnan."
"Ayah cemburu ya? Ehemm," godaku.
"Tidak kok!"
"Jawaban yang meragukan, hahaha."
"Iya, iya, Ayah memang cemburu! Tapi cuma sedikit."
"Yakin?"
"Sudahlah jangan bahas itu! Cepat ke bawah!" Muka Ayah memerah. Entah karena kesal atau malu, aku tak tahu. Apa wajahku sama dengan Ayah kalau memerah? Kalau iya, itu terlihat buruk.
Aku turun ke bawah mengenakan baju tebal dan celana panjang. Malam yang cukup dingin bagiku. Di ruang tamu aku melihat Ibu yang super agresif. Bagaimana Ayah tak cemburu, Ibu terlihat sangat akrab. Setiap Ibu mengangkat kamera, Adnan tersenyum. Bahkan kehadiranku tak mereka sadari. Merasa seperti makhluk tak kasat mata.
"Ehem!"
"Sini, Nak. Sorry Ibu pinjam Adnan sebentar. Soalnya Ibu mau pamer sama ibu-ibu di komplek." Ibuku mulai cekikikan tak jelas. "Loh, Ayah di mana?" Ibu mulai celingak-celinguk.
"Cari Ayah di sudut kamar. Mungkin dia meringkuk karena terbakar api cemburu! Menciptakan gejolak baru dalam hidup," ucapku melebih-lebihkan. Ibu menatap curiga ke arahku. "Tak percaya, saksikanlah sendiri, Bu."
Ibu bangkit lalu mulai berlari kecil disertai dengan teriakan manja.
"Ayahhh!" Terdengar seperti anak kecil yang merengek minta permen. Adnan tersenyum malu di hadapanku. Terlihat sangat manis.
"Ayah dan ibuku memang seperti itu. Selalu mendrama ala sinetron masa kini."
Aku duduk berhadapan dengan Adnan. Dia tampak lebih keren dengan cambang yang tercukur habis.
"Tak apa, hehe." Adnan mengangkat tangannya ke dagu. Menampakkan sebuah jam tangan mewah. Aku tak tahu maksudnya apa.
"Kamu ke sini, ada rencana apa?" Adnan mulai memperbaiki duduknya. Menatapku sambil tersenyum. Sepertinya dia suka sekali tersenyum atau tebar pesona.
"Aku ingin mengajakmu keluar. Jika kau mau."
"Sepertinya tidak untuk malam ini. Aku sangat lelah."
"Kau tak apa-apa kan? Apa kau sakit? Biar kuantar kau ke dokter." Dia beranjak dari duduknya lalu menyentuh dahiku dengan punggung tangannya. "Badanmu cukup hangat." Ada getaran yang berbeda saat Adnan menyentuhku. Bukan seperti Axelsen. Mereka berdua menggetarkan hati tapi dengan cara mereka masing-masing. Pokoknya rasanya tak sama, juga punya kesan yang berbeda.
"Oh, aku tak apa. Istirahat sebentar akan memulihkanku," ucapku diikuti dengan tangan Adnan yang mulai mengambil kunci motornya. Dia mau ke mana?
"Tunggulah sebentar di sini. Jangan naik ke kamar dulu. Aku hanya sebentar." Dia pun keluar dari rumah tanpa kuantar. Ibu dan Ayah datang menghampiriku dengan berjalan mesra lalu duduk di sampingku.
"Sepertinya ada yang sudah baikan, nih!" Aku mencolek pinggang Ibu.
"Kami nggak marahan. Iya kan, Yah."
Ayah hanya menjawabnya dengan manggut-manggut. Ibu memeluk leher Ayah. Kemudian mengecup dahinya.
"Ibu jangan 'beradegan' di sini!" peringat Widia yang baru saja muncul dengan snack di tangannya. Aku heran dengan adikku ini. Dia suka sekali ngemil tapi tak kunjung gemuk, bahkan bisa dibilang dia kerempeng. Aku yakin pantatnya hanya sebesar tempurung kelapa.
"Ah, iya! Hampir saja Ibu kebablasan. Hahah."
"Syukur saja Ayah kebal godaan." Aku dan Widia memutar mata secara bersamaan.
"Adnan kemana, Nak?" tanya Ibu.
"Dia keluar sebentar. Aku nggak tahu dia ke mana. Dia hanya menyuruhku untuk menunggunya." Ibu dan Ayah hanya ber-oh ria.
Dari arah luar terdengar suara derum motor. Aku berdiri dan pergi untuk melihatnya. Mengira yang datang adalah Adnan, tapi ternyata Axelsen. Dia tampak lebih keren malam ini. Adnan datang sebelum aku masuk ke rumah. Dia menenteng sebuah keranjang buah. Setelah itu Axelsen datang, mereka bertemu tatap, entah mereka saling mengenal atau apa. Tapi, tatapan kebencian sangat jelas terpancar dari mata Adnan sedangkan Axelsen tampak biasa-biasa saja.
"Oke, kalau begitu kita semua masuk ke rumah dan kalian bisa berkenalan." Ajakku pada mereka yang terus saja diam. Adnan langsung menarik tanganku.
"Aww!" Aku meringis. Bagaimana tidak, Adnan menariknya tepat di lukaku. Terasa sangat pedih. Apalagi dia menarikknya cukup keras.
"Lepaskan! Kau menyakiti tangannya," ucap Axelsen.
"Ck!" Adnan membuang muka. "Maafkan aku jika kelakuan tadi menyakitimu." Aku hanya mengangguk sebagai balasan. Lagipula dia tak tahu kalau aku punya luka di siku. Jadi ini bukan salahnya. Adnan berjalan di depan. Aku berada di belakang Adnan dan Axelsen berada di belakangku. Intinya aku diapit dua pria tampan.
Semua menatap kami ketika sampai di ruang tamu. Ayah dan Ibu keheranan. Wajah Widia tampak kegirangan melihat Axelsen tapi dalam batas wajar tak seperti Dian. Kupersilahkan mereka duduk, namun menolak jika bersebelahan. Ibu menunjuk ke arah Axelsen dengan dagunya seolah berkata 'siapa dia?'.
"Ibu, Ayah, dan Adnan. Perkenalkan, pria ini Axelsen. Kalau Ibu masih ingat dia, dia itu orang yang bersamaku pulang tadi sore." Aku menjadi perantara mereka. Berbalik ke arah Adnan yang entah kapan memandang tak suka pada Axelsen.
"Namanya terdengar seperti orang bule," ucap Ayah yang dibalas Ibu dengan anggukan setuju.
"Ayah juga bule. Tapi ditambahi huruf 't' di belakangnya jadi bulet, deh! Hahah," ledek Widia dengan tawa seorang diri. Tak ada yang fokus pada apa yang Widia bilang barusan.
"Nak Axelsen, sudah lama kenal dengan Ghita?" tanya Ibu.
"Lumayanlah, Bu."
Lumayan apanya. Aku dan Axelsen kan baru bertemu beberapa hari yang lalu. Tapi aku tak membantah, hanya kutatap Axelsen dengan alisku yang bertaut.
"Nih, Ghita, aku beliin buah buat kamu." Adnan menaruh buahnya dia atas meja.
"Jadi kamu keluar untuk membeli buah?" tanya Ibu.
"Iya, biar Ghita cepat sembuh dengan makan buah yang banyak mengandung vitamin."
Semua menatapku. Jadi Adnan keluar hanya untuk itu. Wahh! Dia sangat perhatian.
"Kamu sakit, Nak?" tanya Ayah.
"Palingan juga boongan," tuduh Widia dan dihadiahi tatapan tajam Ibu.
"Ahh, tidak! Hanya kelelahan saja, Yah. Ngomong-ngomong makasih banyak untuk buahnya."
"Ayah, aku juga mau dibeliin buah," rengek Ibu.
"Ibu kan sudah punya buah." Ayah membuat gestur dua balon di depan dadanya.
"Ih, Ayah genit! Itu kaan beda." Ibu mencolek dagu Ayah.
"Ehem! Sudah dibilang jangan begitu. Ingat! Ada aku yang masih di bawah umur!" ucap Widia.
"Tapi suka guru yang sudah berumur, hahah," ucapku membuat Widia grogi.
"Aku suka lihat interaksi kalian," sahut Axelsen yang membuat semua orang menatapnya kecuali Adnan tentunya.
***
Jangan lupa vote dan komennya ya bestieee
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top