BAB 1

Matahari sudah menyinari bumi. Burung-burung sudah berkicau merdu. Mobil dan motor terdengar sangat riuh. 

Sebuah ponsel keluaran entah tahun berapa berdering. Ponsel itu sudah terlihat sangat usang dan jadul, tidak layak pakai lagi. Maklum anak kosan yang uangnya pas-pasan mana cukup beli ponsel yang harganya mahal.

Suara seorang perempuan terdengar merdu meski usianya tak muda lagi, tampaknya ada sesuatu yang sepertinya membuat hati dia sakit. Kata demi untaian kata dia sampaikan hingga pemilik ponsel akhirnya mau untuk bertanya dan mengeluarkan suara.

“Mama baik-baik saja?” tanyanya yang mengkhawatirkan wanita yang sudah berjasa, melahirkan dia ke dunia dua puluh delapan tahun itu.

“Uhuk … uhuk. Mama baik-baik saja, Sayang. Apa kamu bisa pulang, meski hanya sehari saja, Nak? Mama rindu.” kata terakhir terdengar melemah, seiring kondisinya juga yang tak sekuat dulu lagi. Beberapa bulan ini dia memang sudah mengalami batuk hingga mengeluarkan sedikit darah.

"Apa Mamah tidak berbohong?" tanyanya ragu. Ibunya ini kadang baik, kadang juga tidak

“Tidak, mama sayang kamu kok, mama rindu!” jawab ibunnya agar sang putri pulang. Padahal saat ini dia berbohong. 

“Mama ga bohong, kan?” tanyanya lagi untuk memastikan. Ia takut dikurung dan tidak boleh berangkat lagi.

Suara dari balik telepon agak di buat kencang agar anaknya percaya. “Mama jamin, mama gak bohong!" 

“Aku pulang sekarang!” ujarnya dengan nada ketus.

Perjalanan akan memakan waktu sangat lama dan cukup panjang. Butuh naik kendaraan tiga kali agar sampai di kampung dan berjalan kaki satu kilometer. Tanah kelahirannya adalah sebuah kampung kecil. Kampung yang memiliki perkebunan yang luas dan dekat dengan pantai. Penduduknya mencari penghasilan dari bertani dan sebagai nelayan.

Hati yang memang sedikit benci dan tak ingin pulang memiliki rasa rindu. Tidak bisa di pungkiri, hatinya sangat merindukan semua yang ada di rumah. 

Tubuh berpindah-pindah ke beberapa angkutan umum agar sampai di tanah kelahiran. Entah sudah berapa kendaraan yang ia naiki karena hari ini sulit mencari kendaraan yang biasa di gunakan. Tubuh terombang ambing, terguncang hingga terasa mengambang atas di bumi. Jalanan begitu jelek karena pemerintah belum saja merenovasi jalan raya daerah ini. Mungkin karena letaknya yang terpencil. Padahal jika kekayaan alamnya di gali. Lalu melakukan pembangunan, daerah ini akan jadi tempat wisata alam paling mengagumkan.

Badan terasa lelah biarpun hanya membawa sebuah ransel isi buku. Oksigen di tempat ini begitu terasa bersih dan membuat paru-paru terasa nyaman. Belum terkontaminasi polusi dari berbagai kendaraan seperti di kota besar. Kaki berkulit putih yang di alasi sendal berjalan di atas batu kerikil berbagai ukuran hingga beberapa menit lagi akan sampai ke tujuan. Langkahnya terhenti saat memandang sebuah rumah tua. 

Sudah sekian lama ia tak memijakan kaki di rumah ini. Rumah yang semula seperti surga. Memiliki tawa canda, suka duka hingga kehangatan sebuah keluarga. Kehangatan yang semula terasa sangat berharga.

Wanita paruh baya berambut hitam dan sedikit memutih keluar menyambut putri pertama kesayangannya yang baru saja pulang. Entah sudah berapa bulan anak ini tidak memijakan kaki di rumahnya. Pergi ke kota untuk berkuliah, mengubah nasib agar tidak buruk lagi.

"Apa kabar, Sayang?" tanya sang ibu sambil memeluk Osha.

"Baik, Mah," jawabnya singkat tanpa memberikan senyuman. 

"Uhuk-ukuk …." Ibu Osha masih menderita sakit batuk dan tidak kunjung sembuh meski sudah berbulan-bulan.

"Mama udah periksa ke dokter belum? Takutnya TBC soalnya udah lama gak sembuh, kan?" tanya Osha yang mengkhawatirkan sang mama. Biarpun dia memaksa tinggal di kota dan hanya sekarang datang untuk pulang. Dia sangat rindu dan ingin tinggal disini. Suasana ini adalah suasana yang ia rindukan, berada di tengah-tengah keluarga dan tinggal di rumah sendiri, bukan di perantauan.

Tangan yang kulitnya mengkerut bergerak menggenggam lengan putrinya. "Ga usah, mama gak perlu ke dokter. Mending uangnya buat sekolah adik kamu saja." 

Pandangan dari mata Osha bergerak kesana kemari karena ia takut ibunya kembali berbohong.

Wanita paruh baya itu langsung mengenali apa yang anaknya khawatirkan. "Tenang saja. Mama tidak akan menyuruh kamu menikah dengan juragan becak lagi."

Gadis ini sangat benci dan enggan pulang karena di larang meneruskan kuliah dan di paksa menikah. 

"Ini uang buat mamah dan adik. Besok Osha balik lagi ke tempat Osha yang sekarang." Osha menyerahkan sebuah amplop berisi uang hasil dia bekerja berbulan-bulan di Jakarta. Dia menyisihkan sedikit demi sedikit untuk diberikan pada keluarganya di kampung. Meski keadaannya juga di perantauan butuh uang kuliah dan uang untuk menyambung hidup.

Tangannya bergerak menolak amplop yang diberikan. "Kamu tinggal dimana? Kerja apa? Jika uang ini untuk mama, nanti untuk uang jajan dan biaya hidup kamu sendiri bagaimana?" Wanita yang berparas cantik meski umurnya sudah tak muda lagi ini terlihat mengkhawatirkan Osha.

"Yang jelas Osha di Jakarta kuliah sambil kerja, Ma. Mamah tenang saja. Osha bisa menghidupi biaya hidup Osha sendiri!" ujarnya untuk menenangkan hati sang mama. Usahanya selama ini membuahkan hasil, dia bersekolah dari biaya beasiswa dan hidup dari bekerja sebagai pekerja paruh waktu dan bisnis mengerjakan tugas milik teman.

Osha disuguhkan berbagai masakan khas sunda yang ia sukai sewaktu kecil sambil berbincang-bincang dan mulai merasakan kantuk.

Obat tidur yang dicampurkan kedalam minuman Osha sepertinya bereaksi. "Tidurlah di kamarmu, Nak. Kamar itu sudah lama kosong!" ujarnya dengan penuh rasa bersalah karena telah menipu sang anak.

"Iya, Mah." Entah kenapa Osha merasa sangat kantuk, kepalanya terasa berat dan tubuhnya terasa lemas. Ia tidur begitu saja di kasur setelah kepalanya bersandar pada bantal.

Lama netra itu tertidur hingga merasa terganggu dan bangun oleh sebuah suara. Ketukan palu yang mengenai paku terdengar tengah di ayunkan agar sesuatu menjadi rapat dan tidak dapat di buka. Terdengar sangat jelas seperti di bagian luar jendela kamar.

Osha membuka mata yang terasa sangat berat. Dia segera memeriksa sumber suara. Membuka gorden dan bola matanya membundar kala melihat ibunya yang ada di luar tengah memalu jendela agar Osha tidak bisa kabur. 

Osha panik dan tidak bisa berkutik. Apa hidupnya akan berakhir kali ini. Sang mama tega menipunya dengan mengatakan bahwa dia tidak akan memaksa Osha untuk menikahi juragan becak. Sampai-sampai jendela kamar anaknya di palu agar tidak bisa di buka paksa dari dalam kamar. Osha kali ini tidak bisa kabur lagi. Tidak ada jalan untuk dia pergi.

Setelah ibunya memalu semua jendela. Osha menguping dari balik pintu. Dia mendengar ayah dan ibunya yang tengah berdebat. Ayahnya baru datang pulang kerja langsung memarahi sang istri yang terlalu memaksa Osha untuk tidak melanjutkan kuliah.

"Kali ini Osha harus menikah dengan juragan becak!" ucap wanita berumur kepala empat dengan nada tinggi. 

"Kasihan  Dia masih muda. Lagian masih mau kuliah dan menjamin akan bisa meraih kesuksesan." Bapak Osha berusaha merayu.

"Kita punya hutang banyak, Pah. Akan lunas dan bahkan di berikan uang mas kawin jika Osha mau untuk di nikahkan." Emosi sang ibu memuncak saat suaminya tidak menyetujui rencana itu.

Osha semakin panik. Lita tetap kekeh ingin menikahkan dia ke juragan becak yang sudah berumur kepala empat dan memiliki istri yang lebih dari dua.

Dia menggigit ujung jari. Tak mau berakhir sepahit ini. Dia tidak mau menikah begitu saja dengan orang yang tidak ia kenal dan tidak ia cintai demi membayar hutang keluarga. Setelah dia lulus kuliah, pasti semua hutang akan berhasil ia lunasi.

Osha berpikir sambil menunggu orang tuanya tidur. Saat itulah dia bisa pergi untuk kabur. Tapi lewat jalan mana? Dia harus berpikir caranya membuka jendela yang sudah di patenkan dari luar.

Osha menatap langit-langit kamarnya yang terbuat dari bilik. Bilik adalah anyaman dari bahan bambu yang digunakan untuk langit-langit atau tembok rumah. Bilik akan mudah di bobol dan tidak menimbulkan suara yang bising bukan? Tapi akan membuat tangan atau tubuh terluka karena bahannya yang tajam. Tapi … bagaimana cara Osha untuk naik ke atas?

Ah … akal dari otak Osha yang pintar menemukan sebuah cara. Bagian kepala ranjangnya bisa digunakan untuk sandaran kaki saat dia meraih langit-langit untuk membuka bilik.

Setelah dirasa semua anggota rumahnya sudah tertidur, Osha lalu naik ke bagian kepala ranjang, naik lagi ke pijakan jendela atas agar bisa meraih langit-langit kamar lalu membukanya paksa secara perlahan. Bilik sudah rapuh sehingga begitu mudah dia bobol. Meski tangannya mendapatkan luka lecet.

Dengan susah payah dia naik ke atas atap seperti layaknya seorang ninja. Demi tidak menikah dengan juragan becak dan demi meraih masa depan. Merangkak perlahan di atap rumah yang mungkin bisa saja roboh karena sudah lapuk termakan usia. Dia ingin turun di dapur yang langit-langitnya tak tertutup bilik. Kesusahan untuk turun karena tidak memiliki pengaman atau sandaran untuk merangkak turun.

"Ah … bagaimana caraku untuk turun?" Hanya meloncat dari ketinggian untuk dia berhasil kabur. Perasaan takut sirna karena perasaan ingin bebas serta melanjutkan kuliah. Perjuangannya tidak boleh sia-sia.

"Satu, dua, tiga." Osha meloncat dan mendarat di dapurnya yang masih beralaskan tanah. Beruntung tanah terasa sedikit empuk sehingga tidak melukai kaki Osh. Berbeda dengan lantai biasa yang terbuat dari keramik. Pasti akan terasa sakit.

Osha mengendap, membuka pintu dapur dan mencoba kabur dari belakang rumah. Dia tak sengaja menginjak genteng.

Krek ….

Suara itu bisa saja membangunkan ayah dan ibunya yang tengah tertidur.

"Gawat!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top