9


Hikam samar-samar tersenyum, tak biasanya Nisa berani memeluknya seperti ini. Tertidur di sampingnya dan tiba-tiba saja memeluknya, entah sengaja atau tidak tapi Hikam merasa nyaman bersentuhan dengan kulit lembut istrinya. Beberapa hari ini ingin sekali ia mencoba memeluk Nisa saat tidur tapi ia tak punya keberanian, selalu saja ragu, meski ia sangat yakin jika Nisa tak akan menolak tapi hatinya selalu ragu untuk memulai sejak ia merasa bersalah gara-gara salah menyebut nama Nisa dengan Aisyah. Kini saat Nisa memulai lebih dulu ia justru merasa sangat berterima kasih.

Hikam yang tidur terlentang merasakan pergerakan Nisa, ia sedikit menggeser tubuhnya lalu membalas pelukan Nisa, mencium harum shampo pada rambut Nisa, merasakan halusnya rambut dan kulit Nisa menimbulkan rasa lain dalam tubuh Hikam. Lagi-lagi berkelebat bayang Aisyah, Hikam memejamkan matanya berusaha mengingat semua kebaikan dan pengabdian Nisa padanya, juga bagaimana Abyan bisa terurus dengan baik, Hikam beristighfar berulang, mendekap Nisa semakin erat dan mendesis pelan.

"Maafkan aku Dik."

"Nggak papa enak kok, anget, meski hampir gak bisa napas."

Hikam yang awalnya merasa sedih berbalik ingin tertawa, betul-betul berbeda dengan Ais yang cenderung diam apapun yang ia lakukan, Nisa lebih ekspresif dan lebih berani mengatakan apa yang ia rasakan.

"Udah tidur aja kamu kayak kecapean Dik."

"Lebih capek nunggu Kakak meluk kayak gini, lelah batin tahu."

Hikam tersenyum lebih lebar.

"Tidur Diiik besok pagi banyak kerjaan kan."

"Iya iya aku tidur deh tapi boleh minta sesuatu sebelum beneran tidur?"

"Boleh, minta apa, Dik?"

"Minta cium." Dan Hikam terperangah.

Belum sempat Hikam menjawab tiba-tiba saja Nisa sudah .... (Sssstttt ... bulan puasa, sensor 😅)

.
.
.

Zaid mengernyitkan keningnya saat melihat Hikam yang tersenyum sendiri di depannya, sejak tadi mereka berdiskusi tentang kerja sama yang ditawarkan oleh Pak H. Syaifullah, orang tua Kinar.

"Hikam, kamu ini kenapa sih dari tadi kayak orang nggak waras aja, diajak diskusi malah senyam-senyum kayak orang gak waras."

"Eh iya Bang, aku dengar kok apa yang Abang jelaskan."

"Alah kamu ini kayak orang baru dapat jatah dari istri atau jangan-jangan kamu dapat jatah beneran dari istrimu."

"He he he belum Bang, masih dalam taraf pacaran."

Zaid tertawa dengan keras.

"Ya Allah Hikaaam, Hikaaam, kok ya jadi laki-laki kebangeten kamu, sudah ada di depan kamu masiiih mikir ini itu."

"Iya Bang bentar lagi lancar, sudah aku niati kok."

"Sudah pernah nikah juga, masih aja malu-malu, benar-benar manusia langka kamu ini."

"Abang gak tahu gugupnya aku, kan sama Dik Ais juga gak lama Bang malah ditinggal pas sayang-sayangnya."

"Heleeeh lebbuaaai kamu ini, jadi laki-laki kok menyeee menyeeee, untung punya istri tegas, udah ah ini gimana menurut kamu tawaran kerja sama dari Pak Haji Syaiful."

"Kalo menurut aku nggak usah aja Bang, kita kan apa-apa sudah bisa dan biasa sendiri, jalan sendiri usaha Abah sejak jaman dulu, kalo kerja sama ya keuntungan bagi dua dong."

"Tapi Abah gimana? Dia pasti sungkan nolak tawaran sahabat karibnya."

"Kita ngomong bareng aja ke Abah."

"Ok, lagian menurut ceritamu dia mulai lagi ganggu kamu, juga istri kamu, biar aku cerita ke Abah."

"Makanya kalo kita kerja sama ya sama aja kayak ngasi kesempatan dia gangguin istri aku lagi, meski sebenarnya gak masalah sih kalau Abah nanti tetap ingin kerja sama, dia nggak akan bisa bikin Dik Nisa stres, malah dia yang stres karena istriku ternyata bisa melawan dia dengan cara yang elegen, nggak marah-marah santai aja, malah si Kinar yang kayak emosi banget, nggak nyangka kayaknya bakalan dapat lawan yang tangguh."

"Weeeeh kayaknya kamu mulai jatuh cinta beneran sama si Nisa, dari tadi dipuji terus."

"Kayaknya iya sih Bang." Wajah Hikam memerah menahan malu, Zaid hanya bisa geleng-geleng kepala melihat adiknya yang masih saja seperti ABG yang baru jatuh cinta padahal usia sudah mendekati angka tiga puluh.

.
.
.

"Dik, besok aku ada meeting dengan keluarga itu lagi."

Saat akan sahur Hikam memberi tahu Nisa tentang keputusan abahnya yang ternyata tetap melanjutkan kerja sama mengelola penginapan bersama orang tua Kinar. Nisa langsung paham dan merasa tidak ada masalah karena sudah tahu bagaimana Hikam pada wanita itu karena ia sangat yakin jika wanita itu juga akan ada di sana juga.

"Ya nggak papa Kak, ini kan urusan bisnis, lagian aku juga tahu gimana Kakak sama dia, nggak cemburu aku, nggak masalah."

"Aku takut kamu kepikiran Dik."

Nisa menggenggam tangan Hikam, Hikam tersenyum dan balas menggenggam tangan Nisa.

"Aku percaya sama Kakak, bismillah aja, in shaa Allah akan lancar semuanya, yang penting jangan ngadakan meeting berdua aja, aku beneran cemburu."

Hikam tersenyum lebih lebar, ia merasa bahagia saat Nisa mengatakan cemburu.

"Cemburu?"

"Iyalah, Kakak suami aku, kalo Kakak jalan sama wanita lain aku pasti cemburu, sama aku aja baru sekali jalan-jalan, ngomong enak gini juga baru-baru ini saja masa mau meeting berdua sama si itu, aku ajakin perang beneran, udah ah, ayo bangun Kak kita sahur, tadi udah sholat tahajud malah tiduran lagi kita."

Saat Nisa akan bangkit dari kasur tiba-tiba saja Hikam menahan lengan Nisa hingga Nisa terbaring lagi. Ia melihat Hikam yang wajahnya sangat dekat, napasnya menyapu wajah Nisa.

"Kakak mau ngapain? Mau cium lagi?"

Dengan ragu Hikam mengangguk. Dan ...

.
.
.

Saat sahur suasana menjadi sunyi, keduanya sahur tanpa bicara, sesekali Hikam menatap Nisa yang terlihat mengernyitkan keningnya dan duduk tak nyaman. Dengan ragu Hikam menyentuh tangan Nisa, mengusap punggung tangan istrinya, Nisa menoleh, berusaha tersenyum meski terlihat dipaksakan bahkan seolah menyeringai menahan sakit.

"Dik."

"Hmmm."

"Sakit kan? Tadi aku sudah tidak mau lanjut, tapi kamu yang maksa."

"Gak papa, katanya sih memang nggak nyaman di awal." Nisa kembali melanjutkan sahurnya, ia terlihat malu karena seolah dirinya yang memaksa Hikam untuk melakukan hal pertama bagi mereka berdua sebagai suami istri.

"Dik."

"Yaaa."

"Makasih."

"Untuk?"

"Untuk menunggu aku dengan sabar meski akhirnya berakhir kamu jadi nggak nyaman, kesakitan."

"Nggak papa, nanti juga nggak, katanya sih, udah nggak usah dipikir Kak, lanjutkan aja sahurnya, ntar imsak."

Saat Bi Siti meletakkan teh hangat yang biasanya diminum Hikam ia sempat tertegun melihat keduanya seolah baru selesai mandi, Nisa dengan rambut sepunggungnya terlihat masih basah, Hikam pun demikian. Keduanya juga terlihat kaget saat melihat Bi Siti dan Hikam melepaskan tangannya yang masih saja mengusap punggung tangan Nisa.

"Ya Allaaaah makasih Bi, aku kok lupa ya belum bikinkan Kak Hikam teh hangat."

"Tidak apa-apa Bu, saya pikir tadi Ibu sama Bapak ketiduran kok tumben tidak kunjung bangun untuk sahur jadi saya buatkan teh, tadi panas sebenarnya, ini jadi hangat."

Mata Nisa bertemu dengan mata Bi Siti yang menahan senyum sambil meletakkan teh di meja makan.

"Bibi ngeselin, masa lihat aku jadi senyum-senyum."

"Tumben saja Bu."

"Tumben apa Bi?"

😅😅💗💗

9 April 2022 (03.29)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top