8

Pinggiran Jakarta, Kini

Ola berpikir, tidak ada lagi kembang api di hati. Namun, ketika tangannya melingkar di pergelangan tangan Tommy, dentum pertama mengalun. Sebelum yang lain mengikuti, wanita itu kembali mengingatkan diri. Ada batasan yang tidak ingin dia langgar. Tak ingin ada lagi patah hati.

Tommy mendesis. Lelaki berwajah kaku itu mengernyit, kembali menarik tangannya, berusaha melepaskan diri.

"Carpal Tunnel-mu kambuh?" tebak Ola. Telunjuk dan ibu jari kanan Tommy bergetar di luar kendali. Jari Ola yang masih enggan melepas, mulai memijat perlahan pada persendian pergelangan. Mencari simpul tendon di antara tulang.

"Gue nggak apa-apa." ujar Tommy datar.

"Jangan cuek dengan rasa sakit. Itu alarm."

Tangan Ola menekan sedikit lebih kuat, dan mata tajam di depannya terpejam. Lelaki itu menggigit bibirnya sendiri, menolak untuk mengaduh. Tekanan jari Ola berkurang, pijatannya kembali memberi rasa nyaman, Tommy menghela napas.

"Pereda sakit apa yang kamu punya?"

Lama Tommy menatapnya, mata itu tak seceria tadi ketika mengagetinya. Lesung pipit di dagu muncul bersama rahangnya yang rapat. Tangan kirinya yang bebas terulur. Beberapa helai rambut yang terlepas dari gelung dan terbang bersama angin kini ditangkap. Saat ujung jari itu menyentuh telinga untuk menyelipkan rambut, pikiran Ola kacau. Tengkuk terasa digelitik, dan rahangnya memanas. Rasanya ingin menyembunyikan diri, tapi juga tak ingin menjauh dari si lelaki.

"Lo."

Ola mengerjap, menjauhkan kepala dari tangan Tommy. Tidak tahan dengan gelitik yang mulai menyebar. Berusaha kembali fokus pada apa yang tadi mereka bicarakan.

"Kamu punya balsam, minyak urut, atau yang lain?"

Tangan kiri Tommy kembali ke bingkai jendela sebelum menjawab, "Habis."

"Perban atau kain kecil panjang? Untuk bebat pergelangan tanganmu, biar nggak tambah parah."

Lelaki itu menghela napas. "Jiwa panitia medis lo masih belum hilang, ya?" Ola langsung tersenyum lebar.

Ola selalu menyimpan jiwa itu. Dia memiliki insting perawat. Hal itu disadari saat beranjak dewasa. Sejak SMP dia tergabung dengan PMR. Saat kuliah, dia selalu mendaftar sebagai panitia medis jika ada kegiatan kampus. Jika bukan karena ingin mengabulkan permintaan terakhir ibunya, dia akan kuliah sesuai cita-citanya. Dan mungkin kini dia sudah bekerja di rumah sakit. Meski tak yakin apakah dia akan menjadi perawat, bidan, atau mungkin dokter? Yang pasti, dia tidak pernah bisa diam ketika ada yang terluka.

"Gue ada perban." Tommy akhirnya menyerah.

"Perlu bantuan?" Ola berusaha agar terdengar tidak terlalu semangat. Dia ingin segera masuk rumah dari tadi. Kakinya mulai nyeri karena terus-menerus berjinjit agar hak sepatunya tidak amblas di dalam tanah.

Tommy mundur satu langkah, Ola melepaskan tangan lelaki itu. "Pintu ruang tamu nggak dikunci. Masuk saja, gue cari perbannya dulu."

***

"Kamu nggak punya yang lain?" Alis tebal kecokelatan itu mengerut. Menatap nanar kain perban cokelat di tangannya. Ujung jari-jari kecil memeriksa permukaan, lalu merentangkannya. Seperti meyakinkan kain itu masih kuat. Saat pengamatan Ola sampai pada ujung tenunan yang mulai terurai, Tommy tiba-tiba berharap, wanita itu tidak ingat dari mana asal benda itu.

"Cuma itu, dan ini juga habis." Tommy menunjukkan tabung obat oles pereda nyeri yang sudah rata. Isi terakhir sudah dia habiskan tadi malam, saat sakit di pergelangan tangannya mulai tak tertahan.

"Apa yang biasa kamu pakai kalau carpal tunnel-mu kambuh? Aku yakin ini bukan pertama kalinya kan?" Ola menjatuhkan tubuhnya di kursi rotan, lalu menunjuk sebelah, meminta Tommy duduk di samping kirinya.

Tommy menurut. Dia memang berharap sedikit bantuan Ola untuk mengurus tangannya. Dua hari ini dia berusaha menyelesaikan revisi desain untuk dipresentasikan dalam rapat tadi. Selama sebulan, klien terus menerus meminta perubahan desain. Hal ini sudah sering terjadi. Tapi biasanya, Tommy selalu ikut secara langsung dalam rapat-rapat bersama klien. Sayangnya, dia tidak bisa melakukannya untuk proyek ini.

Firmanya memberikan izin kepada Tommy untuk pulang ke Indonesia selama enam bulan. Namun, bukan berarti dia bebas dari pekerjaan. Dia tetap bergabung dalam tim menjadi architectural designer yang mengerjakan desain dari luar kantor lalu mengirimkan hasilnya. Sistem ini sebenarnya dapat berjalan dengan mudah, bahkan tanpa mengikuti rapat dengan klien, Tommy masih bisa melakukan tugasnya dengan baik.

Sayangnya, project manager, yang bertugas mengatur alur kerja timnya tidak menyampaikan hasil pertemuan terakhir dengan klien secara jelas. Hal ini menyebabkan pekerjaan yang Tommy kejar beberapa hari, sampai-sampai pergelangan tangannya sakit, menjadi sia-sia. Itu yang membuat dia sedikit marah tadi ketika video conference.

Jika bukan karena kedatangan Ola, mungkin Tommy akan berlama-lama mengorek rasa bersalah si project manager. Mengabaikan usaha partner in charge yang memimpin tim dalam melerainya. Namun, sayup suara menggemaskan wanita itu, yang terbawa angin masuk melalui jendela, berhasil mengalihkan kekesalan Tommy. Sehingga dia bersedia menutup perkara dan memutuskan sambungan.

"Cuma dua ini." Lelaki itu menunjuk perban dan tabung obat olesnya secara bergantian. "Ini yang kubawa dari London waktu pulang."

Ola menghela napas. Wajahnya seperti menahan kesal dan menurut Tommy terlihat makin menggemaskan. Tommy menunggu Ola untuk mengomel. Seperti Ambu, yang akan mengomel jika Tommy terlalu mengabaikan dirinya sendiri. Ingatan itu menghangatkan dadanya. Untuk sesaat, lelaki itu merasakan kehadiran ibunya kembali. Tapi perempuan di sampingnya tidak memberikan komentar.

"Luruskan tanganmu!" Alih-alih, Ola memberi perintah sambil mengangkat tangan Tommy, hingga pergelangan tangannya sejajar dengan ketiak. Setelahnya, wanita itu memegang telapak tangan, menggerakkannya sehingga menghadap ke depan, membentuk sudut sembilan puluh derajat antara punggung tangan dan lengan bawahnya. Tekanan di pergelangan tangannya bertambah, nyerinya membuat otot-otot di sekitar bergetar tanpa bisa dicegah. "Sakit?" Tekanan berubah menjadi usapan. Lembut. Tommy mendamba lebih.

Tommy mengatur napasnya, tidak ingin mengaduh di depan perempuan kecil itu. Namun, nyerinya perlahan berkurang.

"Tahan dengan jari kirimu!" Instruksi Ola berlanjut, dan Tommy menurut. Memegang telapak kanannya yang tegak dengan tangan kiri. Dia lupa sama sekali gerakan ini. Kalau dua hari kemarin dia ingat, mungkin rasa sakitnya tidak akan separah sekarang.

Ini bukan pertama kalinya Ola membantu Tommy berurusan dengan carpal tunnel syndrome. Tommy tahu istilah itu pertama kali juga dari Ola, setelah satu tahun tak memedulikan sakitnya.

Semester ketiga adalah pertama kalinya dia mengalami gejala ini. Setelah lembur mengerjakan tugas desain, Tommy menyadari pergelangan tangannya terasa nyeri terutama di malam hari. Sampai akhirnya tangannya terasa kebas. Yang dia lakukan waktu itu hanya sebatas memberi pijatan ringan dan menggunakan balsam.

Sampai sekarang Tommy masih sering mengabaikannya, karena sakit akan hilang dengan sendirinya ketika dia mengistirahatkan tangan selama beberapa hari. Pemicu gejala ini adalah gerakan konstan di pergelangan tangan, bagi Tommy: menggambar desain. Jika pemicunya dihindari, akan hilang dengan sendirinya.

Itu yang Tommy pikir selama ini.

"Tahan, oke?" Perawat dadakannya melepaskan pegangan, lalu meraih ponsel dan sibuk sesaat. Setelahnya, dia mengambil perban yang tadi diletakkan di meja.

"Aku tidak ingin menyinggung, tapi benda usang ini sebaiknya diganti. Sekarang banyak bebat instan. Lebih mudah juga dipakai." Ola mulai mengurai kain di tangannya lalu menggulung ulang.

Benda usang, jika Tommy mengatakan asal dari bebat itu, apakah Ola masih akan mengatakan hal yang sama? Namun, lelaki itu memilih diam. Tidak ingin terjebak atas ingatan usang.

"Sudah lebih baik?" tangan Ola kembali menyentuh Tommy. "Bisa kamu lepas." Lelaki itu menurut.

Ola menggeser duduknya hingga di ujung kursi. Tubuh mereka makin dekat. Saat Ola menunduk dan mulai melingkarkan bebat di pergelangan tangan, hidung Tommy digoda oleh helaian rambut yang mencuat dari gelungan di kepala si wanita.

Tommy berusaha mengendalikan rasa yang berpusar di dalam darah. Lelaki itu berusaha fokus pada cara Ola menangani nyerinya.

Rasa bersalah muncul dalam diri Tommy. Sepertinya sang perawat tidak menyadari bahwa Tommy juga memanfaatkannya untuk mengatasi nyeri hati.

***

Ola membebat, dimulai sekitar sepuluh sentimeter dari pergelangan, kain perbannya melingkari lengan bawah. Terus membelit hingga melewati persendian dan menutupi punggung tangan. Perban itu berputar lalu berbalik arah setelah melewati celah antara telunjuk dan ibu jari. Kembali ke permulaan lilitan. Ola harus melipat ujung perban yang mulai terurai sebelum menyematkan kait agar perban tidak lepas.

"Coba gerakkan jarimu." Ola masih menyangga tangan Tommy saat lelaki itu mulai menggerakkan jarinya. "Nyaman?" Kini wanita itu menekan setiap ujung kuku. "Terasa? Nggak kebas, kan?"

Tidak ada jawaban dari Tommy. Saat Ola hendak mengangkat kepala, dirasakannya tusuk konde di kepalanya terlepas. Dirasakannya gelungan terurai perlahan dan jatuh di sisi kanan bahunya. Tommy menatap tajam pada Ola. Rahangnya tegang, lesung pipitnya tercetak nyata seiring pergerakan jakun yang membuat Ola menelan ludahnya sendiri.

Gelitik di tengkuk perlahan muncul, ingin Ola abaikan, tapi dia sendiri tak mampu bergerak. Jari Ola masih menangkup tangan kanan Tommy yang menyebarkan hangat ke seluruh tubuhnya. Hangat yang terasa nyaman tapi juga menyengat jantung untuk meluncurkan dentum kedua.

Tommy membersihkan tenggorokan, tatapannya terputus seperti ingin merusak mantra.

"Sumpit?" Tangan kiri Tommy menunjukkan apa yang menjadi tusuk kondenya. Sumpit bambu sekali pakai yang Ola dapat saat melakukan pesan-antar mie ayam kemarin sore.

Ola ikut membersihkan tenggorokan. Berusaha tersenyum, meskipun tak yakin apakah bisa menyembunyikan kikuknya.

"Asal kamu tahu, ini sumpit bersih!" Segera wanita itu mengambil batang bambu kecil di tangan Tommy. Saat dia menyahut rambut dan bersiap menggelung, tangan Tommy bergabung.

"Jangan digelung, biarkan tergerai."

Tangan mereka terjalin di antara rambut dan sumpit. Namun, mata Tommy yang menatap tajamlah yang menghentikan gerakan Ola, sekaligus memacu jantung si wanita. Mantra yang tadi dikira hilang, muncul dengan kekuatan tambahan.

Panas yang menjalar di rahang, mempengaruhi bibir, membuat Ola membasahinya. Saat Tommy menggigit bibirnya sendiri, seketika dada Ola sesak. Napasnya mulai berat. Tangan besar Tommy melingkupi tengkuk, tapi ibu jarinya menggoda urat nadi di leher si wanita. Ingin memegang kendali.

Kepayahan Ola dalam menelan ludah, memantik bara di mata tajam. Usapan lembut di atas urat nadi, membuatnya menutup mata, terlena. Embusan napas membawa rengekan. Akal sehat memerintahkan untuk segera berlari, tapi tubuh Ola punya keinginannya sendiri.

"Ola."

Panggilan itu meremangkan seluruh kuduknya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top