3
Bandung, sepuluh tahun sebelumnya
"Kalian telah melakukan kesalahan yang sama dua kali berturut-turut," Tommy berkata dengan suara rendah, matanya menatap tajam barisan mahasiswa baru. Mereka tidak berani mengangkat kepala. "Apa kalian tidak belajar dari kesalahan kalian sebelumnya!" Bentakan mahasiswa semester lima itu membuat beberapa orang terkinjat. "Apa yang akan membuat kalian jera?"
"APA!" Bentakan dan sapuan pandangan terakhir sebelum berbalik badan.
Menarik napas, mengendurkan wajah.
Seharusnya dia tidak menjadi Algojo dalam kepanitiaan Orientasi Keluarga Mahasiswa Baru di kampusnya. Dia tidak merasa cocok menjalani peran antagonis. Sayangnya, menurut teman-teman sesama panitia, Tommy adalah Algojo yang sempurna. Beberapa bahkan bercanda, jika wajah diam Tommy sudah cukup untuk membuat beberapa orang takut.
Namun, dia tahu, Tommy punya bentakan yang terdengar menakutkan. Anin dan Linda sudah sering protes jika dia berteriak-teriak di rumah untuk urusan sepele. Dia sedang berusaha untuk memperbaiki cara bicaranya, tapi tugas untuk mengorek rasa bersalah maba membuatnya menunda keinginan.
Lelaki itu kembali menghadap barisan. "Hukuman untuk kalian hari ini .... " Dia terlalu fokus pada sisi lain barisan hingga melupakan para maba yang berada di samping kirinya. Dari sudut matanya, Tommy menangkap seseorang bertopi putih bergerak cepat dari luar barisan.
Seorang mahasiswi baru terjatuh, tetapi bayangan bertopi putih telah berhasil menangkapnya sebelum kepala membentur paving block. Refleks Tommy memerintahkannya untuk segera bergerak membantu, tapi angin besar yang bertiup dan menerbangkan topi membuatnya membatu.
Rambut yang sebelumnya tergelung terjatuh di almamater biru. Aliran udara kembali datang, membuat rambut yang terurai itu bergerak ke segala arah. Mata bulat berbingkai bulu mata lebat itu memandangnya. Dan Tommy seketika buta dengan sekitar. Jantungnya tak karuan. Dia tahu semua terjadi hanya dalam hitungan detik, tapi baginya waktu melambat.
"Medis! Tandu!" teriakan si Mata Bulat menyadarkan Tommy. Lelaki itu mengedarkan pandangan sekitar, tubuhnya yang lebih tinggi dari rata-rata memberinya keuntungan untuk melihat lebih luas. Beberapa panitia bertopi putih berlari sambil membawa tandu. Namun, tidak ke arah mereka.
"Tandu ke barisan utama," ujar Tommy yang sudah berlutut di samping si Mata Bulat. Dia berusaha membaca isi papan nama khusus panitia yang tergantung di dada. Namun, kertas persegi itu tertutup oleh kepala mahasiswi yang pingsan.
Fokus! Perintah otaknya.
"Minta yang lain mundur," si Mata Bulat memberi instruksi dengan suara pelan, Tommy melanjutkan dengan bentakan. Barisan maba yang sebelumnya mengerubungi mereka bertiga mundur. Kembali teratur. Panitia Tata Disiplin yang lain mengambil alih. "Nggak perlu bentak sekeras itu juga." Tommy mendengar gerutu.
"Carikan Medis yang lain, atau panitia perempuan." Instruksi kedua kembali diberikan dengan tenang. Si Mata Bulat membuka almamaternya, melipat jas itu lalu menyelipkan di bawah kepala mahasiswi baru yang sedari tadi ada di pangkuannya. Lalu bergeser sehingga pasiennya bisa terbaring di pinggir barisan. Tommy berdiri, melakukan yang diminta.
***
Mahasiswa yang mendapat hukuman sudah dibubarkan. Panitia Tata Disiplin mengembalikan mereka ke barisan utama dengan setumpuk hukuman yang harus diserahkan besok. Para Algojo menempati pos baru, berdiri di belakang barisan mahasiswa dengan wajah kaku. Tommy salah satunya, sampai sudut matanya menemukan helaian rambut yang terhembus angin di balik semak. "Ayo sini." Bisikan lembut menggoda telinganya hingga dia melangkah keluar dari posnya.
Hanya lima langkah lebar dengan kaki jenjangnya, Tommy bisa melihat si Mata Bulat berjongkok di antara perdu yang menghiasi pinggiran lapangan. Gadis yang belum Tommy tahu namanya itu masih berbisik meski tidak terlihat ada lawan bicara.
"Panitia seharusnya berjaga di pos," Tommy berusaha berkata pelan, dia tidak ingin mendapatkan gerutuan karena suaranya yang terlalu galak. Mata Bulat menoleh, memandang Tommy sebentar sebelum mengembalikan pandangan di balik semak.
"Berarti kamu juga seharusnya masih di pos," jawab Mata Bulat tak acuh. Kali ini gadis itu berlutut, lalu tangannya turun melalui celah yang ada di bawahnya. Tommy baru menyadari kalau ternyata di perdu itu menutupi bagian atas saluran air yang mengelilingi lapangan.
"Gue bisa keluar dari pos untuk menertibkan maba dan panitia."
Tommy tidak bisa diam. Rambut yang satu jam lalu memesonanya menyapu tanah. Sementara pemiliknya sama sekali tidak peduli. Lelaki itu mendekat dan ikut berjongkok di samping si gadis.
"Nggak sampai." Mata Bulat kembali tegak dengan helaan napas yang berat. Tanah mengotori sebagian lengan jas almamaternya.
"Lo ngapain?"
"Ada kucing." Panitia Medis itu mengintip dari celah penutup gorong-gorong yang terbuat dari semen. Suara meong terdengar pelan dari bawah.
"Kucing?" Kali ini Tommy ikut berlutut dan mengintip. Makhluk kecil berbulu meringkuk di atas air. Saat itu musim kemarau, saluran air tidak penuh, hanya membasahi dasar.
"Anak kucing, kayaknya jatuh dari sini." Jari-jari kecil Mata Bulat menunjuk lubang yang tadi lengannya masuki. "Dia belum bisa naik sendiri."
"Minggir." Mulut Tommy bergerak sebelum otaknya berpikir. Dia bergeser sambil melepas kancing almamaternya. "Kayaknya tangan gue lebih panjang dari tangan lo." Udara lembap dan hangat langsung menyambut lengan Tommy ketika dia meraih ke dalam saluran air. Ujung jarinya menyentuh sesuatu yang lembut dan basah, terasa dingin dan kembang-kempis dengan cepat. Tangannya mulai menggenggam dengan longgar makhluk itu, sangat berhati-hati ketika hendak melewati lubang yang terlalu pas untuk kepalannya yang berisi kucing kecil.
Mata bulat itu makin bulat, berkilat jenaka ketika mengambil anak kucing dari tangan Tommy. Wajah semingrah itu menerbitkan senyum yang tak Tommy sadari.
"Lucu." Kucing dekil itu dibawa mendekat ke wajah. "Kalau sudah dibersihin pasti ganteng lagi."
Kali ini si Algojo tertawa. Mata Bulat memandangnya heran.
"Memangnya kucing bisa ganteng?" Tommy menepuk tangannya perlahan, berusaha membersihkan tanah bercampur air yang melekat, sebelum mengambil almamater yang tergeletak. Mata Bulat tidak menanggapi, masih sibuk terpesona pada kucing kecil. Tommy membersihkan tenggorokan, tidak ingin kehabisan bahan pembicaraan.
"'Gimana maba yang pingsan tadi?" Kali ini Tommy mengalahkan si kucing. Mata Bulat memandangnya. Sembari menghela napas, gadis itu mulai berdiri. Tommy mengikuti. Baru kali ini dia sadari, bahwa Gadis Kucing itu tidak terlalu tinggi. Dahi yang tertutupi sebagian rambut itu hanya sebatas dagu Tommy.
"Dia pura-pura pingsan sepertinya, beberapa teman Medis ambil kesimpulan itu." Gadis Kucing menatapnya lekat.
Gadis Kucing, Mata Bulat? Tommy berharap dia segera mengetahui nama wanita kecil di hadapannya.
"Dia mau mangkir dari hukuman?"
"Bukan, tapi mungkin cari perhatian. Ada yang pernah bilang nggak? Kalau kamu nggak cocok jadi Algojo?" Gadis Kucing terlihat sedikit sebal. Tommy menggeleng. "Beberapa mahasiswi baru mengulang kesalahan dua kali bisa jadi karena kamu."
"Gue?"
Angin kembali bertiup, daun-gaun kering beterbangan. Rambut itu kembali menggodanya.
"Iya," mata bulat itu menatap lekat, "kamu terlalu ganteng."
Kalimat yang diucapkan dengan nada sebal itu membuat Tommy kehilangan orientasi untuk sesaat. Tapi seluruh indra kembali berfungsi ketika papan nama yang menggantung dalam kondisi terbalik di leher Gadis Kucing berayun bersama angin. Berbalik.
Kali ini tidak ada lagi Mata Bulat atau pun Gadis Kucing.
Lawan bicaranya telah punya nama.
Rafiola Ghaniya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top