"Setelah serah terima kunci yang terakhir ini, Ola pulang ke Semarang, Pak."
Ola berbicara di telepon sambil menarik pensil yang menjadi tusuk konde dadakan. Gelungan rambut terurai perlahan, jatuh ke pundak hingga tengah punggung yang tertutupi kardigan nila.
"Rama tanya terus, kapan mbak-nya pulang. Dia mau pamer kerjaan baru." Suara serak dari pria pertengahan lima puluh itu menghentikan gerakan tangan Ola yang sedang menyisir rambut dengan jari. Dadanya selalu tergelitik tiap kali nama Rama disebut. Adik lelaki Ola yang selalu menjadi adik kecil untuk wanita tiga puluh tahun itu. "Pulang, Ndhuk." Panggilan lembut itu memberatkan dada si anak.
Menarik napas perlahan dan mengembuskannya lebih pelan, Ola hanya mampu menjawab, "Nggih, Pak." Panggilan terputus. Wanita itu menyandarkan punggungnya di bangku kemudi. Dia tahu, dia tidak bisa terus menerus menjalani kehidupan di dua kota.
Dari kaca tengah, dia bisa melihat wajahnya sendiri. Rambutnya telah tergerai dengan rapi, hasil gelungan tadi meninggalkan gelombang pada helaian hitam. Setelah mengulas lipstik sewarna bibir yang menjadikannya lebih segar, dia segera mengambil tas tangan dan keluar dari mobil kecilnya.
Lambaian tangan bersemangat menyambut Ola ketika masuk ke kedai kopi yang ada di salah satu sudut pusat perbelanjaan di pinggiran Jakarta Selatan, selain aroma kopi yang cukup tajam. Gemuruh es yang beradu dengan pisau blender berbaur dengan musik kekinian yang diputar, serta obrolan pengunjung.
"Ola?" Perempuan yang tiga tahun lebih tua itu berdiri, menyambut kedatangan adik kelasnya. "Makin cantik aja sekarang." Pembuka basa-basi, tetapi berhasil membuatnya tersenyum malu.
"Mbak Nana juga makin cantik." Ini sebuah pujian tulus, tapi Nana hanya mengibaskan tangan, menampik. Dengan kacamata berbingkai mata kucing, pandangan wanita itu tetap berbinar meski lingkar gelap membayang. Tubuh Nana termasuk langsing untuk ukuran ibu muda yang sudah berkali-kali hamil. "Ini anak ketiga?" Tangan Ola terjulur, menjawil dagu bayi yang sedang berdiri dengan berpegangan pada tepian meja kopi. Pipinya celemotan dengan serpihan biskuit.
"Anak keempat," seloroh santai itu berhasil membuat Ola melotot. "Duduk dulu, kamu mau pesan apa?"
Ola menurut, duduk sambil mengangkat anak keempat Nana yang memakai bandana kelinci biru ke pangkuannya. Bayi itu bersandar tenang pada tubuh Ola sambil memainkan rambut. Wanita itu tidak keberatan, meskipun remahan roti lengket pada ikalnya.
Nana adalah klien pertama Ola, yang mengenalkan padanya keseruan menjadi agen properti. Dulu mereka tinggal di indekos yang sama. Ola memasuki semester tujuh, sedangkan Nana adalah mahasiswa S2 di Institut Teknologi Pasundan. Ketika magister teknik sipil itu hendak menikah dan kebingungan mencari rumah di sekitar kampus, Ola menawarkan bantuan untuk mencarikan. Tepat sebulan sebelum akad, suami Nana menandatangi kontrak jual beli rumah dengan Ola sebagai perantara. Hanya sebuah rumah kecil, di sebuah gang dengan satu kamar tidur.
Satu tahun kemudian Nana hamil pertama dan Ola mendapatkan gelar sarjana, permintaan bantuan kembali bergulir. Saat itu, Ola bukan saja membantu mencarikan tempat baru untuk keluarga yang mulai berkembang, tetapi juga membantu menjualkan properti yang lama. Sejak saat itu, sampai kini, delapan tahun kemudian, Ola telah membantu ratusan orang menemukan tempat tinggal.
"Kamu masih jadi broker, kan?" pertanyaan yang sedari tadi Ola antisipasi akhirnya keluar setelah lima belas menit mereka mengobrol tentang tiga tahun yang terlewat tanpa pertemuan.
"Iya, tapi sekarang aku nggak bikin promis dulu, Mbak." Tangan Ola masih bermain dengan jari-jari Lav, bayi Nana, yang sedang menyusu ke ibunya di balik nursing cover putih dengan motif bunga sakura. "Mungkin bulan depan aku pindah ke Semarang." Ola menjelaskan sebelum ditanya.
"Pindah beneran? Kamu mau nikah?" respon Nana membuat Ola tertawa. Beberapa temannya sesama agen juga menanyakan hal yang sama soal kepindahannya. Bahkan temannya yang hobi membaca novel roman berasumsi kalau Ola diam-diam dijodohkan jadi begitu pulang langsung dinikahkan.
"Nggak, Mbak. Pindah aja. Menebus rasa tenang buat Bapak."
"Kamu sendiri, tenang?" Pertanyaan Nana jatuh tepat di kegelisahan Ola. Meskipun jarang bertemu, tapi wanita yang memilih menjadi dosen itu adalah salah orang terdekat Ola. Dulu ketika mereka masih satu indekos, Nana adalah tempat Rafiola bertanya, soal kuliah juga kehidupan pribadinya.
"Mbak Nana mau cari rumah lagi?" Ola memilih memakai topeng profesionalnya sebagai agen properti daripada menghadapi tanya yang tak ingin dijawab. "Aku bisa bantu carikan sebelum aku pindah. Tapi, kalau ternyata belum closing pas aku pindah, diteruskan temanku yang lain. Bagaimana?"
"Iya," jawab Nana memahami keengganan adik kelasnya. "Kami butuh rumah yang lebih besar, minimal empat kamar tidur...." Ibu empat anak itu mulai merapalkan kriteria rumah impiannya. Mulai dari jumlah ruang yang diinginkan, kisaran harga, sampai lokasi yang diinginkan.
Detail-detail itu membantu Ola dalam memberikan saran kepada kliennya. Meskipun dia tahu, terkadang detail-detail itu akan ditinggalkan begitu saja ketika mereka menemukan rumah yang 'klik' di hati. Untuk Ola, mempertemukan sebuah rumah dengan pemilik berikutnya seperti mencarikan jodoh. Ada kalanya, semua kriteria terpenuhi, calon pembeli tidak mengeksekusi. Di lain waktu, hanya satu kriteria yang terpenuhi, tapi semringah tercetak jelas di wajah calon penghuni.
Ola mencatat dengan seksama. Berharap dia bisa menemukan rumah impian Nana di listing miliknya atau temannya sesama agen.
Sayangnya, itu tidak terjadi.
***
"Teh," panggilan lembut Tommy tetap membuat Linda terlonjak. "Udah ditunggu A' Kamil." Lelaki tiga puluh tahun itu menyentuh lengan kakak perempuannya, menuntun keluar dari kamar yang bermandi cahaya siang. "Ingat pesan Ambu, Teh."
"Iya, Teteh inget. Tapi rasanya susah banget Teteh percaya, Ambu udah pergi." Mata Linda yang sudah sembab kini kembali tergenang air, pandangannya mengarah pada dipan dengan sprei batik. Di sana, empat puluh lima hari lalu, Tommy, Linda, dan Anin--adik bungsu mereka--menemani detik-detik terakhir kehidupan Ambu.
"Yang," seorang lelaki berkacamata mendekat, melingkarkan lengan di tubuh istrinya yang langsung bersandar. Linda berusaha mengendalikan diri, mengatur napas. "Ayo." Kepala wanita itu mengangguk lemah, mengikuti langkah suaminya menuju luar.
Perjalanan dari kamar, melewati ruang makan, ruang tamu, sampai dengan mobil yang terparkir di halaman terasa begitu panjang bagi mereka. Kondisi badan Linda sedang tidak baik. Selain karena harus menghadapi kehilangan yang sangat besar, dia juga sedang menanti anugrah yang luar biasa.
Kakaknya hamil, mungkin sekitar tiga bulan. Dan sebelum meninggal, Ambu sudah sempat diberitahu. Wejangan tentang menjaga kesehatan, meminta Linda menjadi ibu dan istri yang sabar adalah beberapa kalimat terakhir yang disampaikan Ambu di penutup usia.
"Teteh sehat-sehat di Bandung. Urusan di sini, Tommy yang pegang." Tommy berjongkok di sisi bangku penumpang. Linda telah duduk di sana sambil memeluk bantal yang selalu digunakan Ambu.
"Harus dijual ya, Tom?" Pandangan kakaknya menyapu bagian depan rumah hingga halaman.
"Yang," Kamil yang telah duduk di belakang kemudi berusaha mengingatkan wasiat ibu mertuanya.
"Kalian punya hidup masing-masing. Jangan karena rumah ini kalian nggak berkembang. Segera jual kalau Ambu udah pergi. Buat bayar kuliah Anin." Tangan keriput Ambu membelai rambut hitam si anak bungsu. "Buat tambah modal kamu dan Kamil, buat tabungan si bayi." Dengan bergetar, tangan itu pindah, mengelus perut Linda yang masih rata. "Juga buat kamu, Tom. Terserah kamu mau tetap di sana atau kembali ke sini. Bangun rumah yang kamu mau, bukan cuma buatin rumah buat orang lain terus."
Mobil putih itu berjalan menjauh. Tommy berdiri di tempatnya untuk waktu yang cukup lama. Kesendirian mulai merasukinya. Selama empat puluh lima hari terakhir dia selalu bersama dua saudarinya. Berperan menjadi tiang untuk menyokong dua wanita yang sangat rapuh.
Namun, kemarin malam Anin berangkat menuju Jogjakarta untuk kembali menjalani kehidupannya sebagai mahasiswa. Dan Tommy tahu, dia tidak sekokoh yang dia tampilkan. Kekuatan terakhirnya pergi bersama hilangnya mobil Kamil dari pandangan. Gumpalan air mata yang selama ini dia simpan mulai meleleh.
Sebelum tetesan pertama terbentuk, Tommy kembali menegakkan pundak. Menggosok wajahnya lalu melangkah ke garasi. Masih ada satu tugas yang harus dia selesaikan.
Ndhuk: panggilan untuk anak perempuan (jawa)
Nggih: iya (jawa halus)
Nursing cover: semacam kain yang digunakan ibu untuk menutupi tubuh dan anaknya ketika sedang menyusui
Listing: daftar properti yang akan dijual, data dihimpun oleh para agen properti
Ambu: panggilan untuk ibu (sunda)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top