NISKALA 0
Ledakan di mana-mana. Lila meneriakiku untuk tetap berada di garis aman sampai waktunya tiba sementara gadis itu berkelit lincah di bawah tatapan para musuh.
"Tetaplah di sini, kau masih dibutuhkan." Itulah yang dikatakan semua orang padaku, termasuk pemuda itu.
Sebelum musuh mencapai zona kuning kubah, larilah ke zona putih. Jangan biarkan mereka meraihmu. Gelombang suara memasuki pendengaranku tanpa sepengetahuan siapa pun.
Sementara kerikil-kerikil kecil berterbangan menyambut suara berdentum di udara. Tinju-tinju transparan sewarna pelangi menonjok jatuh musuh satu-satu. Sadar bahwa ini bukan perang bantal warna-warni anak-anak, aku berlari menjauhi medan perang tergesa-gesa.
Di belakang, Bayu mengikuti dari jarak tiga meter, memasang kubah lembayungnya melindungi kami.
Bukan ini yang kami inginkan.
Dentuman maha besar mengguncang tanah kami berpijak, meretakkan jalanku menuju Pale Hill. Robekan jalan menelan bebatuan besar jatuh ke perut bumi, terjun bebas ke dalam aliran lava putih.
Lututku seketika lemas, memaksa bersimpuh di tanah gersang pucat dengan bahu bergetar.
"Kita tidak punya banyak waktu—"
Bukan ini akhir segalanya.
Aku bangkit, tenagaku hampir habis mempertahankan Pale Hill seorang diri. Bercelemot jelaga, dress kelabu compang-camping, dan rambut memutih ... tidak ada yang leha-leha di tengah peperangan termasuk aku.
Sekali loncatan, kami menyebrangi celah, melanjutkan pelarian menuju puncak. Tak peduli seberapa banyak darahku mengalir dari betis dan lutut, seberapa gemetarnya bibirku mengucap mantra di puncak tertinggi perang, aku harus melakukannya.
Karena aku percaya ... bukan hari ini masa depan selamanya berakhir.
Bayu memperluas jangkauan tamengnya tatkala hujan pancarona turun mengguyur kami, mewarnai perang kelabu sementara aku berdiri gagah seorang diri. Nila dan Kayas sudah berkorban untukku. Sekarang, kalau bukan aku, siapa lagi.
Biarlah ... aku meracau warna pelangi.
Tubuhku mengeluarkan cahaya tipis begitu mendekati puncak Pale Hill. Semakin terang kusadari setelah Bayu terpaksa berhenti di garis perbatasan khusus.
Renggutlah aku bersamamu seandainya kau pergi lebih dulu.
Aku menjerit sekuat-kuatnya, menahan perih yang perlahan merambat mengikis tiap inci raga fanaku dari depan. Melawan titik tertinggi Pale Hill mengeluarkan suar tinggi itu menyakitkan, tetapi sepadan dengan apa yang bisa kudapat.
"Sekarang!" teriakku.
Bayu menurunkan perisai lembayungnya, sedetik kemudian semua corak warna yang sebelum ini tertampung dalam kubah tersebut melayang ke udara tatkala lelaki itu menghempaskannya kembali.
Pada detik yang bersamaan, kurelakan tubuhku dilalap kobaran suar putih. Terjun ke dalam perihnya rasa dan manisnya pengorbanan.
Dengan ini berakhirlah sudah.
Terakhir yang bisa kulihat sebelum kesadaran ini ikut memudar bersama raga adalah cahaya suar yang meledak, melemparkan semua warna secara persamaan dengan intensitas tertinggi: putih.
Kehidupan dalam Niskala: 0
.
.
.
.
.
*.✧D I F R A K S I M O N O K R O M⊰⊹ฺ
Dukungan vote dan komen Anda sangat berarti.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top