DIFRAKSI 1
SETIAP detik di Neverland terasa mencekam sekarang. Semua yang ada di permukaan maupun bagian dalam Neverland seakan kehilangan hasratnya untuk hidup.
Hilangnya warna primer dan cerah dari Neverland menggemparkan seluruh manusia di Nusantara. Tidak ada lagi warna merah pada apel, kuning pada matahari pagi, dan biru pada lautan. Warna-warni itu lenyap bersama peristiwa Difraksi Monokrom.
Sudah dua tahun sejak gempa besar melanda bumi Nusantara, khususnya tanah Neverland. Berbeda dengan Atlantis, Neverland entah bagaimana menjadi satu-satunya daerah yang kehilangan warnanya dalam radius luas. Pemerintah otoriter sempat turun tangan pada satu tahun pertama hilangnya warna di Neverland, kemudian berhenti peduli karena tak kunjung menemukan jalan keluar.
Rambutku yang semula cokelat kini jadi hitam legam. Aku tidak menyukai warna gelap. Kamarku yang seharusnya punya cat biru dan pink, sekarang dipukul rata warna abu-abu. Aku cuma suka warna mendung dari hujan, jadi mau itu badai atau apalah, selama yang jatuh masih air dari Tuhan, aku tidak keberatan. Seperti saat ini. Hanya saat gemercik air turun, dan langit terasa sedikit menyemburkan warna birunya.
Oh iya, sudahkah kita berkenalan? Namaku Incarnadin, terlalu mainstream untuk nama gadis yang lahir penghujung abad 22 dan berdomisili Nusantara. Papa yang memberikan nama Nadin, tetapi mama menginginkan sesuatu untuk diincar saat itu, dan jadilah namaku. Satu-satunya pemberian orang tua yang kusukai. Mereka menghilang beberapa bulan setelah aku melanting terbang ke dunia fana.
Bukannya aku sudah menjadi anak tak tahu diuntung, tetapi siapa yang tidak sakit hati saat orang tuanya sengaja meninggalkan dua buah hati yang bahkan belum balig tanpa sepatah kata atau pesangon? Aku bukan orang itu, aku sakit hati.
Dua tahun lalu, saat usiaku masih tiga belas, kakakku meninggal dunia, menyusul kakek yang setahun lebih dulu darinya. Aku menangis sejadi-jadinya saat mendapati gadis itu tergeletak di kamarnya pagi-pagi buta dalam genangan kelabu. Hidung, mulut, serta telinganya mengeluarkan cairan itu. Kamar bernuansa TV tabung usang itu semakin suram beberapa hari setelah pemakamannya.
Tidak ada lagi yang akan menyemangatiku sebelum sekolah, atau sosok yang menjadi ibu dalam hidupku, apalagi seorang kakak perempuan berasma Mala. Malachite, orang tua kami senang memberi nama anaknya susah-susah, sengaja agar calon menantu mereka kesusahan saat proses ijab kabul.
Aku senang main di kamar Kak Mala. Rasanya seperti berada di abad pertengahan beserta semua suara dengung, glitch, debu-debu masa lalu, perang dunia kedua, juga gesekan dedaunan selalu memanjakan indra istimewaku. Sungguh berbanding terbalik dengan kamarku yang rata-rata terdistorsi warna biru, dan lebih terdengar seperti hujan serta embusan angin yang menerbangkan dedaunan kering juga burung-burung pipit. Aku juga menyukainya.
Rasanya, aku lebih suka mendekam di kamar ketimbang disuruh main ke luar.
Dunia luar bukanlah hal menarik lagi untuk dilihat. Segalanya hanya berwarna hitam dan abu-abu. Aku tidak suka. Kalian mungkin bertanya kenapa tidak pindah saja dari Neverland agar semua warna itu kembali? Ya, tidak bisa semudah itu mengembalikan warna yang sudah hilang. Tubuhku akan tetap pucat dan rambutku akan tetap hitam. Kami bisa saja membeli rumah baru di Atlantis, beserta warna-warni indah yang melingkupi kami, tetapi apa yang bisa diharapkan dari upah seorang nenek tua dan remaja lima belas tahun yang hanya bekerja paruh waktu di salah satu cafe kecil?
Kini hanya tersisa diriku dan nenek yang menghuni rumah tua kuno di tepian jalan protokol. Neverland makin lama kian ditinggalkan penghuninya, teman-teman sekelasku perlahan juga memutuskan pindah bersama keluarganya ke kota lain. Kadang, aku masih sering berandai-andai kalau saja ada meteor atau piring terbang melintasi Neverland, kemudian sekolah diliburkan, kota porak-poranda, dan aku bisa menjarah toko sembako sepuasnya tanpa rasa bersalah. Kemudian pemerintah menggerakkan kami agar mengungsi di Atlantis atau kota sekitar, dengan kata lain mendapat kembali warna yang lenyap.
Yah, aku tidak pernah meminta hal itu kejadian betulan, sih. Bagian meteor dan piring terbang itu maksudku. Hal yang paling memungkinkan untuk pindah dan mendapat warna kembali, hanyalah mendapat beasiswa sekolah di Miemour. Namun, itu berarti aku harus meninggalkan nenek seorang diri, dan aku tidak akan tega melakukannya.
Aku pernah mencoba menyelidiki tentang hilangnya warna bersama dua temanku sebelum mereka pindah. Secara ilmiah, warna tercipta karena perbedaan intensitas pantulan dari permukaan benda. Gempa dan gejala alam lainnya tak mungkin menghilangkan warna, sangat tidak masuk akal. Lantas penyebabnya apa?
"Dari pada memikirkan itu, lebih baik kau selesaikan laporan praktikum fisikamu," komentar Denim, tetangga sebelah rumah, ketika aku sedang menyiram mawar hitam milik nenek—ya, semuanya jadi warna hitam meski tetap tumbuh.
Kami sekelas sejak taman kanak-kanak dan sekarang Denim harus pindah ke Miemour. Ayahnya seniman, tak mungkin dia bisa bertahan hidup dengan warna cat yang monokrom saja. Tepat dua tahun setelah warna hilang di Neverland, keluarganya memutuskan lekas pindah.
Lelaki itu menyandarkan punggungnya pada pagar kayu berwarna putih, mengembuskan napasnya lelah. "Kau tidak mau menangisi kepergianku?" tanyanya sembari menoleh sedikit ke arahku.
Kuangkat bahuku tak peduli. "Buat apa? Kau salah pilih tetangga perempuan kalau ingin ditangisi. Aku takkan menangis untukmu."
Waktu itu, aku bisa berkata demikian dengan sangat percaya diri, bahwa menangisi anak yang sudah bertetangga denganku selama lima belas tahun hanyalah bualan tak mutu. Hingga pada saat hari keberangkatannya, Denim tiba-tiba menghilang.
Keributan terjadi di sekitar rumahku. Huru-hara sia-sia tetangga yang masih bertahan lekas berderap memapah ibunda Denim di beranda rumah. Air matanya mengalir deras disertai jeritan melengking menggema di sekeliling tera teduh.
Nenek menyusul ke sana beberapa menit setelah aku melongok dari jendela kamar. Aku pun melakukan hal serupa, berlari ke halaman dan melompati pagar putih yang menjadi pembatas rumah kami.
Tanpa permisi, aku berlari masuk membelah lautan manusia, melewati meja makan yang hening, menaiki anak tangga menuju kamarnya. Dadaku bergemuruh ketika kakiku sudah berdiri tepat di depan pintu bertuliskan nama Denim. Bercak kebiruan seakan menguar dari satu sisi pintu kayu itu. Mataku yang lain melihat sinestesia yang serupa saat Kak Mala tewas malam itu.
Kukuatkan hatiku dan meraih kenop pintu. Hanya perlu sepersekian detik bagiku membukanya dan mendapati gemercik biru seakan memenuhi kamarnya. Tidak ada jasad atau cairan mengerikan seperti Kak Mala.
Warna-warna biru itu seakan memanggil namaku berulang kali.
Tidak dari dunia ini, tetapi dari keberadaan yang lain.
Kehidupan dalam Niskala: ???
.
.
.
.
.
*.✧D I F R A K S I M O N O K R O M⊰⊹ฺ
Dukungan vote dan komen Anda sangat berarti.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top