Bab 5. Operasi Klandestin
Bab 5. Operasi Klandestin.
"Keparat!"
Aku mengumpat keras, berjalan menepi menuju gang sempit yang berada tidak jauh dari tempat kejadian. Tubuhku terasa remuk dan sulit untuk menjelaskan bagaimana rasa sakitnya. Kuembuskan napas panjang, duduk di pinggiran jalan gang sempit yang aku tahu sudah cukup jauh dari kerumunan orang-orang. Dengan malas, kubuka resleting tas dan mengeluarkan rubik yang selama ini menyimpan berbagai obat-obatan dalam drone yang terapung beberapa meter di atas kepalaku.
Saat jemariku menyentuh rubik, munculah layar virtual di hadapanku dengan berbagai menu pilihan yang hanya turut pada perintah sidik jari milikku. Telunjukku menyentuh panel pilihan P3K, dan mengatur drone yang mengapung di atas untuk turun tepat di hadapanku. Butuh lima detik, kecepatan drone milikku turun dengan cepat dari jarak tiga puluh meter di atas kepalaku.
Dengan perintah sensor virtual di hadapanku, drone itu mengeluarkan kotak obat P3K dengan otomatis. Drone milikku memang berukuran kecil, seperti pada umumnya. Namun, aku sengaja merancangnya bersama Ayah agar bisa memuat apapun di dalam sana. Infinity. Ayahku membuat drone ini memiliki massa yang tidak terhingga. Jadi, aku bebas memasukkan apa saja dan yang menurutku itu penting.
Tak butuh lama, kubuka kotak obat itu dan mengambil laser inframerah berbentuk seperti pulpen. Di dalamnya terdapat material berbagai macam obat penyembuhan yang jika kita arahkan pada luka, maka sinar laser itu akan mendeteksi macam-macam cedera dan luka si korban. Setelah ditemukan jenis luka tersebut, maka sinar laser akan berubah dari biru menjadi merah. Pertanda sinar inframerah itu meresap dan menembus lapisan kulit yang sedang mengalami proses pengobatan. Tentu saja, teknologi di zaman milenium ini sudah serba canggih dan modern. Tidak lagi ada pengobatan secara manual dan memakan waktu lama. Para dokter sudah terdoktrin dengan segala kecanggihan teknologi, sehingga mereka pun mengubah cara mengobati dengan lebih efektif dan efisien. Contohnya laser X Medis ini. Pengobatan seperti ini memang tidak menimbulkan rasa sakit, tapi efek sampingnya akan terasa saat sepuluh menit setelah penggunaan, seperti mengantuk dan berkeringat tergantung seberapa parah luka yang disembuhkan. Sialannya, luka di tubuhku memang cukup parah.
Setelah kuarahkan laser X Medis ke segala luka dan lebam di tubuhku, perlahan rasa sakit di tubuhku sedikit mereda. Kubuka seragam sekolahku yang sudah robek penuh dengan debu dan darah, menggantinya dengan kaus oblong hitam polos dan jaket bertudung abu-abu dari dalam drone sesuai perintah panel virtual yang aku pilih.
Setelah semuanya selesai, aku kembali mematikan panel virtual itu dari gerakan memutar rubik di genggamanku. Sesuai perintah, drone itu kembali melesat terbang di ketinggian tepat sepuluh meter di atas kepalaku. Sengaja aku mendekatkan sensor agar aku lebih berhati-hati saat mataku mulai merasakan efek samping dari sinar laser XMedis itu. Sialan. Gara-gara surat digital Ramaniya, aku jadi harus ekstra hati-hati. Bukan, bukan Ramaniya, tapi kejadian pertarunganku dengan mahluk sialan yang bernama Peter.
Aku berdecak, bukan hanya itu, si ketua kelas bodong itu juga harus terlibat dalam lingkaran masalahku dengan Peter. Mengapa harus gadis itu? Kenapa tidak siswa Dragon High School lain? Atau orang lain? Fuck, aku benar-benar harus mencari tahu kebenaran dan kejelasan semua ini dari Edward Sjahrir. Dia benar-benar telah merahasiakan hal penting yang tidak diketahui olehku, Grahita, bahkan bisa jadi kakakku, Abimanyu.
Aku menguap malas, "Sialan. Semakin lama, mataku terasa berat. Kalau saja luka di tubuhku tidak separah yang aku kira."
Kembali, aku menghidupkan sensor transparan pada jam tanganku. Aku berjalan keluar dari gang sempit tadi menuju tempat pemberhentian kapsul umum sebelumnya. Mataku masih melihat banyak kerumunan orang-orang dan reporter yang sedang melaporkan kejadian. Bahkan dari mereka sudah menduga-duga bahwa aku termasuk korban yang hilang dalam berita. Dasar gosip sampah, bisanya mencari sensari tanpa menyelidiki kebenaran yang terjadi. Aku yakin, jaring-jaring Ramaniya pasti melihat berita sampah itu dan mulai mencariku dan mengira aku kabur dari tugas mereka.
"Bodoh! Aku di sini, masih hidup, Ramaniya."
Kusunggingkan senyuman malas, melihat korban-korban kapsul yang semula banyak kini sudah di antar pulang menggunakan kapsul polisi ke rumah masing-masing. Selintas aku mengingat Arunika yang menawarkan diri mengantar Evi pulang ke rumah saat berada di dalam kapsul. Mungkin tujuan baiknya harus pupus saat tim polisi memilih mengantar Evi. Sudut bibirku tiba-tiba naik, entah lah, aku tidak mengerti. Berita yang aku asumsikan itu mendadak membuatku sedikit lega dan senang.
Berjalan menjauh menyusuri halte pemberhentian, satu kapsul menepi di hadapanku berdiri. Setelah kumatikan sensor transparan itu dan memasang tudung jaket di kepalaku, aku memasuki kapsul bersama penumpang lain yang kulihat tidak terlalu berdesakkan. Kelas ekonomi, itu lah kapsul umum untuk mereka yang tidak sanggup membeli kapsul pribadi. Mereka yang berasal dari kalangan menengah ke bawah, terpaksa harus menaiki kapsul umum yang digratiskan oleh pemerintah selama menggunakan kartu kapsul dan jika hilang, mereka bisa menggunakan sidik jari dalam panel sensor penumpang saat memasuki kapsul. Semua data masyakarat dipastikan masuk ke dalam daftar gratis penumpang kapsul umum.
Kapsul umum memiliki jalur jalan raya masing-masing. Sama seperti kapsul pribadi dan kapsul pengangkut barang berat, mereka mempunyai jalur jalan berbeda. Pemerintah berusaha membuat konstruksi jalur kapsul seperti di Distrik Pusat agar bisa meminimalkan kemacetan.
Mataku mulai mengantuk berat, keringat bercucuran membasahi punggungku. Kulangkahkan kaki menuju kursi penumpang di dekat pintu kapsul, di sana hanya ada seorang wanita tua bertopi jala menjinjing tas besar penuh dengan makanan. Wanita itu menatapku sayu, tersenyum menyuruhku duduk di sebelahnya.
"Terima kasih." Aku mengangguk, mendudukkan diri pada kursi di sebelahnya. Sial, aku mengantuk sekali. Kuusap wajahku kasar, tanpa sadar aku terlelap saat mataku terpejam lemas. Pikiranku masih bisa kukendalikan, aku masih mengingat situasi di dalam kapsul ini. Dan tidak ada yang mencurigakan.
Sesaat kakiku merasakan sentuhan benda-benda berjatuhan. Mataku sedikit terbuka, melihat wanita bertopi itu tak sengaja menjatuhkan tas berisi roti dan makanan itu ke atas kakiku. Aku tidak mempermasalahkannya.
"Maaf, Nak, tanganku gemetar," terdengar suara renta wanita itu terkekeh meminta maaf lantas kembali memasukkan makanan itu dengan cepat.
Aku mengangguk, hendak membantu. Tapi niat baikku pupus saat wanita itu sudah duduk kembali dengan jinjingan tas besarnya. Ya sudah, aku kembali melanjutkan tidurku.
Sayup-sayup, terdengar televisi di dalam ruangan depan kapsul menayangkan kejadian kecelakaan kapsul yang kutumpangi sebelumnya. Malas sekali menanggapinya, pasti beritanya terlalu dibesar-besarkan. Berlebihan memang. Hanya demi mendapat uang berdigit-digit media rela menentang fakta dengan kebohongan.
"Aku yakin, semua korban pasti mendapat penanganan yang baik."
"Mana mungkin kapsul mendadak error di tengah jalan begitu, padahal bukannya sudah terlinsensi aman dari badan menteri transportasi?"
"Mungkin ada sistem yang salah dioperasikan di pusat kapsul."
"Yang penting semua korban selamat, kan?"
"Tapi di dalam kapsul ada anak dari Edward Sjahrir? Itu yang terdata dalam mesin kapsul."
"Eh? Yang benar? Bagimana tanggapan Edward Sjahrir kalau anaknya sendiri yang menjadi korban penemuannya sendiri?"
"Pasti berita ini sangat menghebohkan keluarga Sjahrir, ya."
Aku berdecih. Benar saja, berita tentangku pasti akan menyebar dan sangat merepotkan. Kalau sudah begini, jaring Ramaniya pasti menyebar lebih dari yang aku kira. Tidak-tidak, bukan itu yang lebih membuatku tidak habis pikir.
"Kedatangan Peter."
*
"Tak aku sangka akan secepat ini, Peter."
Lengang. Suara bariton itu terdengar jelas saat Peter berdiri tepat di hadapan Sang Raja Bulan yang kini berjalan gagah menuju tempatnya berdiri. Raja menghela napas berat, menyibak jubah birunya yang tebal dan panjang menutupi bagian belakang tubuhnya. Rambutnya yang seputih salju terurai acak di antara sela-sela mahkota emas yang dikenakannya. Wajahnya nampak lelah, seiring usianya yang termanipulasi oleh ramuan rumput abadi. Namun, hanya bentuk fisiklah yang sanggup dilakukan rumput berbulu itu. Tidak dengan stamina dan kekuatan.
"Aku yakin, bahwa anak perempuan yang kutemukan di dalam sebuah kapsul itu adalah anak dari Gemintang. Seperti ramalan yang dikatakan Snape saat pertemuan lalu."
Mendengar ucapan tegas Peter, Raja lantas menatapnya tajam. "Lalu, kenapa kau tidak membawanya padaku, Peter?"
Peter menelan ludah, "Saya bingung, Yang Mulia. Antara mematuhinya atau tidak. Saya pikir menuruti permintaannya sama saja dengan perintah anda, Yang Mulia."
"Sudah aku duga," Raja berdecih, "Bagaimana jika Pangeran Titan terlebih dulu mendapatkan anak itu, Peter! Aku tidak ingin anak itu mati sia-sia. Aku menyayanginya, seperti cucu-cucuku sendiri. Sama seperti kepada Ibunya dan pendahulunya dulu. Aku tidak mau melihat mereka terbunuh oleh Titan."
"Yang Mulia, saya mohon maafkan kesalahan saya karena tidak secepatnya membawa anak itu pada anda. Tapi, butuh waktu lama jika aku haru membawa seseorang berteleportasi. Apalagi anak itu sepertinya baru mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, Yang Mulia. Sepertinya Gemintang, cucu anda belum memberitahunya. Dia bahkan berani berteman dengan anak buronan kerajaan."
Raja menatapnya tidak mengerti, "Maksudmu? Anak Edward? Lelaki biadab yang telah membunuh suami anakku, Selena?"
Peter mengangguk, "Sepertinya begitu, Yang Mulia. Aura dan kekuatannya sama persis dengan Edward. Awalnya kami bertarung, dan Melvina datang menyuruhku menjemputnya di lain waktu."
"Padahal, apa susahnya kau menjauhkan Time Changer dari anak si keparat itu?"
"Saya sungguh menyesal, saya tidak bisa membunuhnya, Yang Mulia." Peter menunduk memohon ampun, "Setidaknya kita sudah mengetahui tempat dari Putri yang selama ini kita cari. Dan selama ini, saya yakin Pangeran Titan tidak bersekongkol dengan Snape si peramal itu, Yang Mulia."
"Ucapanmu benar-benar membuatku sedikit merasa tenang, Peter." Raja mengembuskan napas panjang, lantas menatap Peter tajam. "Dengar, aku memerintahkanmu untuk membawa pasukan militer kerajaan untuk terus mengawasi dan mencari Melvina. Hebatnya, anak itu terlalu cerdik berpindah tempat dengan menggunakan kekuatan Selena. Awasi anak itu dari Titan. Bawa dia kemari dengan selamat. Aku percayakan padamu, Peter."
Raja menepuk bahu Peter keras, menandakan bahwa semua permintaanya telah menjadi kewajiban bagi dirinya untuk memenuhi perintah dari Sang Raja.
Peter mengangguk tegas, "Baik. Aku mengerti."
"Jangan lupakan si keparat Edward, Peter. Hidup atau mati, aku ingin dia ada di depan mataku, bahkan mati di hadapan Selena sekalipun!"
Raja berbalik, berjalan meninggalkan Peter dan menyuruhnya untuk segera meninggalkan ruangan pribadinya. Peter menghela napas, melangkahkan kaki berjalan keluar menuju pintu peraduan Raja Bulan. Jantungnya mulai berdegup cepat, ia tidak menyangka jika tugasnya kali ini benar-benar membuat adrenalinenya terpacu. Dengan langkah semangat ia meninggalkan peraduan Sang Raja, namun seseorang telak menahannya ketika matanya menangkap Pangeran Titan sudah berdiri tidak jauh darinya.
Dengan mata merahnya yang tajam Pangeran Titan menatap Peter sambil bersandar pada dinding relief bangunan istana kerajaan.
"Apa sudah selesai konfirmasinya, Peter?"
Mendengar pertanyaan Pangeran Titan, sontak Peter membalas tatapan sengit Pangeran Titan. "Aku hanya ingin memenuhi perintah Raja, Pangeran."
Pangeran Titan berdecih, "Tidak usah begitu, aku tidak akan tinggal diam jika kau benar-benar telah mengetahui Time Changer itu berada. Aku tidak akan memaksamu dan mengancam nyawamu agar memberitahunya padaku."
Peter menelan ludah. Rasanya sulit sekali jika harus bertemu dengan Pangeran Titan di saat seperti ini. Rasanya ingin sekali ia menyerang pria tampan di hadapannya ini secara brutal. Peter tahu, Pangeran Titan hanya menginginkan kekuasaan dan kerajaan Bulan jatuh padanya saja. Dia berusaha mengincar bahkan membunuh siapapun keturunan dari sang kakak, keturunan Putri Selena di dunia Bumi.
"Maaf Pangeran, saya harus segera pergi." Peter berjalan tegap melewati Titan yang tidak tanggung-tanggung melayangkan sebilah pedang ke arah leher Peter di hadapannya. Sontak Peter membeku, terkejut bukan main merasakan mata pedang yang begitu mengkilat sangat terasa dingin di kulit lehernya.
"Berani sekali kau menghiraukan keberadaanku, keparat!"
"Berhenti, Titan!"
Mendengar teriakan di belakangnya berdiri, Pangeran Titan menoleh dengan wajah begitu mengintimidasi. "Ada perlu apa, Pak Tua?"
Peter melotot, menyadari bahwa Raja Bulan telah menyelamatkannya dari penggalan sang Pangeran. Tubuhnya bergetar, ia berusaha memikirkan bagaimana caranya lepas dari cengkeraman Pangeran Titan.
Raja Bulan mendekat, lantas dari bawah kakinya menjalar es dengan cepat merambat membekukan sebagian tangan Pangeran Titan yang sudah siap memenggal leher Peter. Pangeran Titan mendesis, merasakan es di tangannya semakin terasa dingin, menusuk dan sangat menyakitkan. Kekuatan dari Raja Bulan, membuat es yang jika leleh cairan itu menjadi racun yang sangat menyakitkan dan mematikan. Selain itu, cairan itu bisa menyerap dengan cepat bahkan sedang membeku sekalipun. Mata Raja berubah menjadi biru terang.
Sementara Pangeran Titan berdecak, menghancurkan bongkahan es itu dengan sekali jentikan jari. Melempar Peter dengan kekuatan angin yang sangat panas keluar dari suhu tubuhnya. Matanya merah mengkilat, sama seperti kekuatan Ibunya. Ratu Bulan. Ia melirik Peter, lantas beralih menatap tajam Raja Bulan.
"Jangan mengurusku, Pak Tua. Urusanku, bukan urusanmu." Pangeran Titan menjatuhkan tatapan tajamnya pada Peter yang terbanting jauh beberapa meter di hadapannya. "Dan kau, enyahlah dari pandanganku sebelum aku benar-benar memenggal kepalamu."
Peter berdiri, melirik ke arah Sang Raja yang memberinya petunjuk untuk segera pergi meninggalkan mereka berdua. Peter mengangguk, dengan langkah tegas pergi meninggalkan tempat itu.
"Cukup, Titan. Aku ingin kau membuang semua sifat membangkangmu itu." Raja berjalan mendekat, menepuk pundak Pangeran Titan yang lantas ditepisnya dengan kasar.
"Kau sudah tahu sendiri, Yang Mulia. Apa mauku selama ini," Pangeran Titan menatap tajam sang Raja, "Selama ini kau selalu memikirkan anak pembawa sial dari ramalan itu. Ramalan yang selama ini sudah membuatmu gila akan kehadiran Time Changer. Sudah aku katakan, seharusnya kau tidak mengharapkan anak cucu dari Selena untuk memimpin kerajaan."
"Lantas? Apa sebenarnya kau menginginkan hartaku selama ini? Silakan, Titan. Kau anakku. Tapi ingat akan satu hal," Raja memutari Titan, tatapannya terhenti begitu ia berdiri di hadapannya, "Langkahi dulu mayatku. Yang selama ini membesarkanmu dengan cinta dan kasih sayang."
Pangeran berdecih, melihat kepergian Raja meninggalkannya kembali menuju peraduannya. Rasanya sulit sekali baginya untuk melenyapkan ayahnya sedari dulu. Tepatnya semenjak kematian Ratu Bulan. Namun tetap saja, ambisinya selalu saja kalah dengan hati dan perasaannya. Meskipun ia selalu bertingkah semena-mena, membangkang dan keras kepala, Pangeran Titan masih memiliki batasan dan maksud baik. Namun, hanya caranya saja yang salah dan selalu sadis.
Tanpa banyak bicara Pangeran berjalan melewati lorong kerajaan menuju pintu kamar peraduannya. Membawa pedang, belati, juga mengganti pakaiannya menggunakan jubah berbulu, topi, serta topeng berukiran bulan sabit di wajahnya.
Melihat tindakan suaminya itu Putri Xevia mulai bertanya cemas, "Kau mau kemana, Titan? Untuk apa senjata-senjata itu?"
Pangeran Titan menatap lama Putri Xevia, lantas berlalu tidak mempedulikan pertanyaan istrinya sampai di ambang pintu peraduan mereka, "Aku akan segera pulang."
Putri Xevia menatap sedih kepergian suaminya itu. Sudah lama sekali ia berusaha untuk meluluhkan hati Pangeran Titan untuk mengubur semua ambisinya menguasai kerajaan Bulan. Namun semuanya percuma. Pangeran Titan tetap keras kepala dan mempunyai ambisi tinggi.
Sementara di sisi lain, Pangeran Titan berjalan angkuh menyusuri lorong kerajaan menuju pintu utama kerajaan. Pintu yang sangat amat megah dengan kedua sisi dipenuhi ukiran gambar naga air itu terbuka lebar, mempersilakan Pangeran berwajah tampan dengan seringai menyeramkan itu pergi meninggalkan kerajaan bersama kuda hitam gagah miliknya menerjang badai salju lebat menuju tempat yang selama ini menjadi incarannya berbisnis. Tahanan Kerajaan Bulan.
*
Rasanya sulit sekali aku mencerna semua yang telah terjadi tepat di depan mataku beberapa jam yang lalu. Bagaimana tidak, Lusa, si biang kerok itu sukses membuatku tidak habis pikir dengan semua aksi dan kekuatan yang dikeluarkan dari tangannya itu. Belum lagi dengan pria bertopeng yang mengaku-ngaku sebagai pasukan militer kerajaan yang hendak membawaku sebagai putri. Bahkan dia tahu nama Ibuku! Untuk anak pemalas sepertiku, kejadian itu sukses membuatku semakin malas untuk pergi sekolah bahkan keluar rumah sekalipun. Semua, semuanya benar-benar sulit dipercaya. Entah itu Lusa, Peter, kekuatan mereka, serta keputusan Peter untuk membawaku pergi itu benar-benar di luar dugaanku. Bahkan, bodohnya dia sampai-sampai memenuhi perkataanku untuk pergi?! Aku sampai bergetar saat melihat dia pergi menghilang.
Aku berdecak, menatap langit-langit kamar yang bercat biru langit dengan sedikit awan bergerak perlahan yang sudah memudar itu. Malam ini cuaca di luar sana sepertinya sedikit kurang mendukung. Hujan sudah mengguyur Distrik Timur sejak pukul lima waktu timur. Aku berusaha mengenyahkan semua kejadian tadi dengan mendengar suara hujan, namun percuma.
Aku berdecih. Kecelakaan tadi benar-benar membuatku sedikit trauma. Tidak, aku benar-benar merasa trauma dan malas lagi jika menaiki kapsul umum.
Aku mengembuskan napas berat, meraba semua luka di wajahku. Tepatnya di daerah pelipis, bibir, dan pergelangan tangan. Tim medis sudah mengobati luka para korban menggunakan alat canggih yang super mahal di iklan televisi. Kalau tidak salah namanya X Medis. Seperti pulpen laser atau apalah itu aku tidak peduli. Yang penting semua lukaku sudah kembali membaik, walaupun efek sampingnya aku mengantuk bukan main.
Kau tahu? Untuk pertama kalinya aku mendapat ajakan pulang oleh anak lelaki?! Rasanya senang sekali!
Tapi sayang, karena semua kondisi korban penumpang cukup parah, pihak polisi sudah menyiapkan masing-masing kapsul untuk mengantar kami pulang. Ekspektasiku kembali digempur realita. Arunika menyetujui keputusan pihak polisi. Dan sampai saat ini aku masih kesal dengan itu. Melihat aku terluka dan di antar pulang polisi, Ibu langsung memelukku penuh kekhawatiran. Melihat Ibu, aku langsung dipenuhi berbagai pertanyaan yang ingin aku tanyakan soal kejadian kecelakaan tadi. Tapi, aku masih belum berani bertanya di saat pikiranku masih terguncang seperti ini. Mungkin lain kali saja.
Bosan memikirkan kejadian tadi, aku bangkit menuju meja belajar. Bukan sekedar meja, tapi meja ini merupakan sebuah layar virtual layaknya monitor saat kita tekan tombol untuk menghidupkan di samping meja. Mungkin meja virtual milikku masih versi dahulu. Tidak secanggih versi masa kini. Dengan gerakan cepat namun dengan respons lambat dari server internet, aku membuka aplikasi chat virtual face to face yang bisa menghubungkan lebih dari dua puluh layar via online. Tapi sayangnya, versi milikku hanya bisa menampung delapan orang saja dalam sekelas. Dan yang terhubung adalah Padma, Queeny, Filo, Kanta, Denis, Kento, Sarah, dan Lusa. Semua akun terlihat online. Hanya Lusa saja yang terlihat offline. Statusnya sibuk.
Aku berdecih, mengingat parahnya luka di wajah dan tubuhnya. Mungkin, dia sekarang sudah mendapatkan penanganan yang baik dari keluarganya itu. Ah, biarkan saja, untuk apa khawatirkan dia? Bahkan dia tidak bosan berkelahi babak belur dengan Kanta setiap hari. Mengingatnya aku merasa bersalah. Menuduhnya memanipulasi jawaban tugas, padahal dia sendiri berusaha menyelamatkanku dan semua penumpang kapsul.
Tak terasa sudut bibirku tertarik, "Padma benar, Lusa memang sulit untuk ditebak."
*
Hari berganti malam. Hujan begitu mengguyur Distrik Timur saat setelah aku sampai di depan pintu gerbang rumah. Dengan gerakan malas dan mengantuk kuletakan sidik jariku pada sensor gerbang. Sinar merah mendadak menginterupsi. Aku mengerjapkan mata, tidak biasanya sinarnya menandakan tidak aman.
"Perasaan biasanya tidak seperti ini? Ayolah gerbang, aku lelah, cepat buka."
Kuletakan jari berkali-kali di atas sensor, masih sama. Sinar merah. Aku berdecak, rumah sendiri saja sudah menolak kehadiranku? Bagaimana ini? Apa aku harus melepas semua pakaianku baru bisa masuk? Tidak juga, kali. Walaupun rumahku terletak jauh dari perkotaan dan lebih memilih daerah asri tanpa polusi, kanan kiri semua serba pohon hijau, tidak ada tetangga, aku masih tidak berani telanjang di depan rumah.
Aku berdecih, mengaktifkan sensor pagar versi seluruh tubuh. Dan sesuatu benda kecil terjatuh di samping sepatu kiriku. Sebuah kamera tempel, bekas kaitannya tepat pada bagian ujung celana kiri seragamku. Aku melotot, sejak kapan benda laknat itu menempel di celanaku!
Kuusap wajah kasar, baru terpikirkan olehku.
"Sialan! Ibu-ibu tadi! Ramaniya gila!"
Sial! Aku benar-benar tidak menyadarinya! Terkadang, untuk ukuran penampilan seorang wanita renta siapapun tidak akan berpikir bahwa dia membawa granat atau sesuatu yang dapat membunuh seseorang. Tapi untuk kamera ini? Benar-benar jalang itu, lebih tepatnya si lintah darat ayahnya itu sudah terlalu gila dalam menyusun strategi.
"Sudah aku duga, si keparat berpakaian hoddie itu kabur dengan menyebarkan seluruh anteknya ke seluruh kapsul umum. Bangsat. Kenapa aku tidak sadar sekitar!"
Dengan sekali injak, kamera tempel itu remuk tak berupa. Malas sekali mengurusinya hanya untuk melihat isi videonya. Sudah jelas, siapa lagi kalau bukan si wanita bertopi jala yang sengaja menempelkan, ralat, menjatuhkan makanannya sebagai alibi agar dapat membodohiku. Sial, dia memanfaatkanku yang saat itu lengah karena mengantuk.
"Lusa?"
Aku mendongak, menatap meja makan yang sudah tersaji beberapa makanan khas borjuis di atas meja. Malam ini, kami kedatangan tamu. Siapa lagi kalau bukan Ramaniya, gadis cantik yang sangat mempesona di hadapanku ini telak menyihir siapapun pria yang melihatnya. Berbalut dresa berwarna merah darah serupa dengan warna bibirnya, sepatu stiletto dengan warna yang sama, serta kulitnya yang putih mencolok membuat siapapun tergiur untuk menyentuhnya. Ramaniya datang dengan kapsul pribadinya sendiri dan memasuki wilayah rumah dengan sistem keamanan yang sangat ketat.
Tapi aku yakin, dia tidak benar-benar sepenuhnya sendiri di luar sana.
Matanya yang tajam seindah nirwana itu menatapku, tersenyum semanis madu lantas kembali menyantap makanan yang disuguhkan Ibu yang sibuk menatap gerak-gerik kami yang kaku. Lebih tepatnya padaku. Sementara Ayahku, Edward Sjahrir itu barusaja pulang bekerja dan kupaksa dia untuk ikut makan malam bersama Ramaniya sebelum kujatuhi pertanyaan soal kecelakaan kapsul tadi. Kebetulan, Abimanyu tidak pulang karena sibuk mengerjakan tugas bersama teman kampusnya. Hanya ada Grahita, gadis kecilku itu duduk di samping Ibu, sibuk sendiri dengan makanannya.
Edward Sjahrir, ayahku itu berdeham, "Ramaniya, apa perusahaan Ayahmu sudah mengeluarkan produk baru?"
Ramaniya melirik anggun ke arah Ayah, mengangguk. "Ada, Tuan."
Aku mengernyit, bahkan aku lupa dengan surat digitalnya itu. Di dalam saku jas abu-abu yang aku kenakan. Mungkin, malam ini aku diharuskan berpenampilan serapi mungkin. Seperti memakai jas dan rambut klimis. Hanya untuk kedatangan si jalang bisnis ini.
Edward mengangguk, "Dalam minuman atau makanan?"
"Makanan."
Aku terus menatap gerak-gerik gadis di depanku itu. Heran, dia tetap lihai dalam bermain peran. Gadis ini sama sekali tidak melakukan gerakan mencurigakan.
Sekali lirikan, Ramaniya menatapku, "Lusa, apa surat yang aku titipkan sudah sampai pada Tuan Sjahrir?"
Aku mendelik sebal, mengeluarkan amplop digital itu pada Ayahku. Beliau menatapku penasaran, "Surat dari Ramaniya. Aku lupa memberikannya pada Ayah."
Ramaniya yang melihat itu memasang wajah kesal. Refleks aku tersenyum sengit saat Ayah tertawa menanggapi sikapku yang menurutnya pelupa.
"Lusa, tidak biasanya kamu lupa. Lain kali, barangkali itu penting, sampaikan kepercayaan orang lain dengan benar. Dasar, kamu ini." Ibu, beliau memperingatiku dengan tatapan tajamnya, lantas menatap Ramaniya lembut. "Maafkan Lusa, Ramaniya."
"Oh, tidak apa-apa." Ramaniya tersenyum manis, lantas menatap Ayahku yang sedang membuka surat tersebut. Hanya terlihat sinar virtual biru di hadapannya, tidak dengan isinya. "Bagaimana Tuan Sjahrir?"
Edward menjilat bibirnya pelan, lantas membalas surat tersebut dan menyimpannya kembali pada Ramaniya. "Semua jawabannya ada pada surat ini. Dan, maaf, kamu tidak diperkenankan mengetahuinya."
Ramaniya menerima surat itu dengan senyuman manis, "Tidak apa-apa. Itu privasi anda, bukan?"
Sontak Ayah tertawa, mengangguk sambil kembali menyantap makanan. Sepertinya malam ini adalah malam kegagalan Ramaniya mendapatkan informasi.
Selinting pertanyaan melintas di pikiranku. "Ramaniya."
Dia menatapku, "Iya Lusa?"
"Ayahmu itu hebat, ya. Baru saja mengeluarkan produk minuman, perusahaan Ayahmu sudah mengeluarkan produk makanan. Bagus juga untuk para pengangguran yang bisa masuk kerja di pabrik Ayahmu itu."
Ramaniya tersenyum adun, entah lah, naluriku sebagai lelaki terlalu pusing mendefinisikan kecantikan dan keanggunan gadis ini. "Terima kasih Lusa, kau terlalu berlebihan. Ayahku tertarik sekali masuk ke dalam dunia politik. Jadi, tidak ada salahnya kan beliau berpatisipasi untuk pemerintah dalam membangun dan memperluas lapangan kerja? Untuk semua kalangan, asal memiliki potensi dan siap bekerja keras, kenapa tidak?"
"Ramaniya, pemikiran itu sungguh luar biasa membantu! Pemerintah seharusnya menyorot untuk mendukung Ayahmu menjadi calon legislatif." Ibuku mulai berseru girang.
Aku semakin penasaran, terkuak sudah niat busuk Ayahnya itu hanya dengan elisitas yang aku tanyakan.
"Lalu, bagaimana soal penemuan teknologi berikutnya, Tuan Sjahrir? Apa sudah ada sponsor yang mendukung munculnya mesin canggih terbaru?"
Mendengar serangan balik, maksudnya pertanyaan balik dari Ramaniya sontak aku melirik Ayah. Beliau tersenyum, "Hanya satu. Masih urusan kapsul. Bedanya pemerintah akan memberikan jaminan untuk membuat kapsul pribadi bagi mereka yang tinggal jauh dari wilayah perkotaan. Agar sistem kegiatan politik, ekonomi, sosial, dan budaya masih bisa terealisasi dengan baik. Agar tidak ada miss komunikasi dengan pihak pusat."
"Waw, hebat sekali. Apa Kepala Dewan tahu soal ini?"
Skakmat. Pertanyaan inti yang diluncurkan Ramaniya benar-benar membuat Ayah terdiam sejenak.
Beliau berdeham, "Kepala Dewan harua mengetahui semua yang terjadi dengan semua rantai yang berada dalam genggamannya. Justru beliau yang selama ini menawarkan saya untuk bekerjasama untuk proyek ini. Dan tidak ada salahnya, saya menerima tawaran baik itu, dengan tujuan baik pula. Bayangkan saja, jika kamu tinggal di desa tanpa alat canggih satu barang pun, bahkan pergi sekolah saja berjalan kaki atau naik sepeda, bagaimana perasaanmu terhadap pemimpin di atas? Murka? Marah? Dan merasa tidak ada keadilan. Itu yang menjadi penyebab rakyat memilih Kepala Dewan menjadi wakil rakyat. Bukan hanya untuk memikirkan golongan borjuis, ploretar juga sama pentingnya."
Aku menatap Ayah tidak percaya. Beliau malah menceritakan sedetail-detailnya dan lebih dari itu, dia malah menasehati Ramaniya. Sontak gadis itu tersenyum kagum, bertepuk tangan entah itu tulus atau tidak.
"Hebat, Tuan Sjahrir! Aku sampai tidak berpikir untuk hal kecil yang berpengaruh besar seperti itu."
Aku tersenyum, bahkan rasa simpati pun, bisa menjadi modal untuk menarik perhatian seseorang, bahkan rakyat sekalipun.
Makan malam berlalu dengan obrolan sengit yang mengundang berbagai asumsi dan jawaban sarkasme soal liciknya dalam kuasa politik. Ramaniya pamit pulang dengan sopan, tidak lupa kutarik tangan kanannya dan kucium punggung tangannya lembut. Ramaniya tersenyum manis, mendekat lantas mencium pipi kananku sebelum masuk ke dalam kapsulnya yang sedang dalam tahap pemeriksaan sensor. Aman. Dia melajukan kapsul pribadinya keluar dari pagar gerbang rumah.
Operasi Klandestin. Mereka, Ayahku, Kepala Dewan, serta si lintah darat itu bersaing dengan cara elegan. Seperti dugaanku, Ayah Ramaniya menginginkan dirinya menjadi pejabat. Namun realita menggemborkannya dengan status sebagai pengusaha.
Aku tersenyum malas, meninggalkan parkiran rumah berjalan gontai menuju basement bawah tanah.
"Tinggal urusanku dengan Edward Sjahrir yang belum tuntas."
___
Capek, duh, capek buat chapter ini. Typo dimaklum yosh!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top