Bab 1. Portal Bola Kristal

Bab. 1 Portal Bola Kristal

Di sudut basement ruang bawah tanah, terdapat beberapa alat untuk melakukan uji coba penelitian berbagai penemuan yang dilakukan seorang ilmuwan genius di tanah Distrik Timur. Tangan, mata, juga pikiran kreatifnya begitu lihai saat berhasil melakukan uji coba terhadap penemuan hebatnya kali ini. Sebuah bola kristal berukuran seperti bola pimpong mulai bereaksi saat diletakan di atas hologram bermuatan data peta dunia di dalamnya. Ketika bola kristal itu disentuh, semburat cahaya memancar ke seluruh ruangan basement. Silau sekali melihatnya. Bola itu bergetar hebat, berdesing kencang, berubah wujud secara beraturan menjadi sebuah cincin portal. Sebagai uji coba, ilmuwan itu segera memasuki cincin portal di depannya. Beberapa menit kemudian, ia muncul kembali. Membawa sejumput rumput segar entah berasal dari mana. Anehnya, rumput itu berwarna cokelat keemasan, berbulu, dan cepat layu jika sebelum ilmuwan itu segera memasukannya ke dalam sebuah tabung berisi ramuan berwarna merah pekat seperti anggur.

Pintu ruang basement terbuka. Aku melirik seorang wanita cantik datang menghampiri ilmuwan itu. Matanya mengernyit, melihat rumput cokelat itu di dalam tabung ramuan.

"Kau mendapatkan rumput abadi itu dari mana, Sayang?"

Ilmuwan itu tersenyum, menunjukkan portal yang barusaja menjadi penemuan terhebatnya sepanjang hidupnya, "Sudah lama aku merakit dan berusaha membuat cincin portal duniaku sebenarnya. Aku ingin sekali menunjukkan duniaku pada ketiga anakku. Dengan penuh ketulusan dan kesabaran, aku berhasil mencapai ambisiku. Lihat lah, aku barusaja mencabut rumput abadi melewati portal ini. Tidak ada manipulasi waktu di sini. Waktu di sana dan di dunia ini sama. Aku bisa kembali ke dunia ini dengan cepat dan tidak menyita waktu seperti saat aku menemukanmu di padang ilalang desa dulu. Itu benar-benar membuang waktu sampai sepuluh tahun."

Wanita itu menyentuh pipi ilmuwan itu, "Apa kau memodifikasi benda itu? Benda yang selama ini kau simpan dan kau rubah total? Edward, selama ini aku khawatir, aku takut terjadi sesuatu seperti terror dulu. Pihak Kerajaan pasti akan kembali berusaha mengambilmu dariku."

Edward menunduk, "Kau tahu, bola kristal ini, dan kejadian yang sebenarnya, semua bukan skenarioku. Tangan ini, dan bola kristal ini yang telah menjadi saksi, bahwa aku seorang buronan."

"Sudahlah, mungkin kau masih belum siap untuk menceritakannya padaku, atau pada anak-anak." Wanita mengusap bahu suaminya lembut, lantas menatapnya sayu, "tapi kau tetap masih terlihat muda, Edward. Mungkin aku lebih suka jika kamu tidak sampai meminum ramuwan itu terus-menerus. Aku ingin kita hidup lebih normal. Semua manusia pasti mengalami perubahan. Baik itu pikiran, hati, juga fisik. Aku lebih menyukai wajahmu yang sesungguhnya. Biarpun rambutmu memutih, kerutanmu bertambah, aku tidak peduli. Aku akan tetap terus berada di sisimu, Edward. Seperti janji suci kita dulu tepat di altar gereja."

"Rasmi, aku benar-benar tidak menyangka akan memilikimu. Asal kau tahu, aku melakukan semua ini demi menebus semua kesalahanku. Aku itu buronan. Sama seperti Time Changer yang terpilih kerajaan—"

"Sudah lah. Kau tidak bersalah dalam perkara ini. Aku tahu, kepindahanmu datang ke dunia Bumi membawa dampak positif, termasuk membuat semua teknologi canggih di dunia bumi demi kemakmuran bersama. Ayolah, tindakanmu begitu baik bagi kami para manusia Bumi. Lucas, Kakakmu itu pasti akan mengerti. Ikatan bumi dan bulan sangat lah kuat. Kau berusaha membuat dunia Bumi menjadi seindah duniamu. Aku percaya padamu, Edward."

Aku memutar mata jengah, melihat ayahku begitu manis memeluk dan meraup bibir ibuku dengan lembut. Mendengar semua percakapan mereka dan semua praktikum yang dilakukan ayahku barusaja, aku mulai berpikir keras. Selama ini keluarga kami memang dipandang baik semua orang. Keluarga Indurasmi Sjahrir dengan Edward Sjahrir memang terkenal dengan penemuan-penemuan mutakhir yang diciptakan mereka. Aku melirik mereka kembali, menghilang.

Tanpa banyak bicara, aku mematikan mode transparan jam tanganku berjalan menuju tempat ayahku membuka cincin portal. Mataku menyapu pandangan menuju hologram peta dunia di depanku. Di sana terdapat bola kristal yang kini tersimpan rapi dengan pengamanan penuh menggunakan beberapa kode yang timbul saat aku menyentuh kaca hologram yang tiba-tiba muncul penuh peringatan.

Tidak tanggung-tanggung, ayahku menggunakan bahasa yang kutahu itu bahasa Perancis. Ayah tahu sekali kelemahanku, bahwa aku sangat benci dengan bahasa Perancis. Bahasa salah satu negara sebelum meletusnya perang dunia ke tiga. Bahasa yang dipakai di Distrik Utara. Apalagi dengan kota Paris yang selalu mereka datangi setiap ulang tahun pernikahan mereka. Benar-benar menyebalkan.

Bosan dengan bola kristal yang sama sekali sulit aku meretas kode untuk membukanya, aku beralih menuju cairan ramuan yang bergejolak di dalam tabung. Sejumput rumput abadi. Berwarna cokelat dan berbulu. Aku tidak tahu jenis daun apa yang berada di dalam tabung itu. Mengingat percakapan ayahku tadi, semuanya benar-benar membuatku tidak habis pikir. Benar-benar sulit dipercaya. Otakku yang selalu memandang sesuatu dengan logis, kini harus berputar mencari bukti dengan semua yang kutangkap melalui pendengaranku dari seorang ilmuwan besar Edward Sjahrir.

"Duniamu? Kerajaan? Kakakkmu? Buronan dan Time Changer. Benar-benar kata kunci yang menarik."

*

"Melvina! Cepat bangun! Sudah berapa kali Ibu peringatkan, jangan begadang sampai larut malam. Evi! Bangun! Hari senin! Upacara bendera!"

Aku menguap malas, merentangkan kedua tanganku hiperbolis. Teriakan ibuku benar-benar membuatku tak bisa melanjutkan mimpi fantasiku.

Apa kau ingin tahu? Semalam aku memimpikan sosok manusia bersayap, mengajakku terbang bersama pengetahuan luasnya tentang dunia. Matanya begitu indah bak swargaloka. Hamparan bunga berbagai warna begitu indah memenuhi nuansa romantis bersama malaikatku ini. Namun mimpiku tiba-tiba hancur saat ibuku meneriakiku hari senin. Sontak aku terbangun, berdecak kesal menanggapi bahwa hari ini adalah hari senin. Hari paling menyebalkan saat tahu aku adalah seorang ketua kelas. Pagi ini aku menyelesaikan aktivitas pagiku dengan malas, berharap hari ini tidak ada sama sekali. Sudah harus datang pagi buta, ketinggalan kapsul jurusan sekolah, masuk jadwal piket kelas, wajib ikut upacara, benar-benar hari paling keramat sejagat raya.

Setelah aku menyelesaikan aktivitas pagiku, aku berjalan gontai menuju meja makan sambil melahap roti gandum dengan kunyahan malas. Kulihat ibu di sampingku begitu fokus menonton acara berita di televisi. Kebetulan ayahku sudah berangkat bekerja, bersama dengan kapsul bututnya yang terkadang mengeluarkan suara yang begitu menyakitkan telinga.

"Anggota Dewan kembali melakukan pembersihan untuk tunawisma dan pedagang kaki lima di sepanjang jalan. Kepala Dewan Distrik Timur mulai mengeluarkan sanksi tegas untuk pedagang dan tunawisma yang masih menempati..."

Di sebelahku, Ibu berdecak sebal. Tersenyum mencemooh mendengar pembawa acara berita yang kini menayangkan Kepala Dewan Distrik Timur yang sedang memantau keadaan jalan daerah pusat kota yang biasanya penuh dengan tunawisma, pengamen, dan pengemis yang selalu mengganggu ketertiban dan kerapihan jalanan ibu kota.

"Dasar manusia paradoksal. Bilang saja hanya untuk pencitraan. Apa dia bisa merasakan kerasnya hidup di ibu kota tanpa menyandang status tingginya itu? Ayolah, mereka itu membutuhkan modal besar untuk berjualan. Dasar tak punya perasaan!"

Aku menghela napas, meraih segelas susu untuk mencerna semua roti gandum di mulutku. Berita itu masih berlangsung, membuatku beberapa kali mendengus jengah melihat ibuku begitu terlihat membenci peraturan di Distrik ini.

"Kami melakukan penggusuran demi keberlangsungan hidup rakyat agar tetap memperindah dan mempercantik daerah Distrik Timur. Apa kalian tidak merasa sakit mata melihat daerah kumuh penuh dengan gelandangan, pengemis, tunawisma yang selalu memperkeruh lingkungan sekitar? Atau pedagang liar yang seenaknya menggunakan lahan pemerintah untuk berjualan?"
Terdengar Kepala Dewan Distrik Timur mengemukakkan pendapatnya mengenai kebijakan yang dikeluarkannya.

"Tapi, apakah semua rakyat kecil tetap mendapatkan jaminan kesehatan dan kesejahteraan saat kebijakan itu tetap berlangsung, Pak Kepala Dewan?" sang pembawa acara berita mulai bertanya.

"Kami selaku penggerak negara akan menjadikan rakyat sebagai tenaga kerja yang berkualitas dengan diadakannya balai pelatihan kerja secara gratis bersama beberapa perusahaan yang senantiasa menerima tenaga produktivitas mereka. Dengan itu, kita bisa meningkatkan motivasi rakyat, bersama mengurangi tingkat pengangguran di Distrik Timur. Sementara itu, mereka bisa menyekolahkan anak-anak mereka kembali ke jenjang yang lebih tinggi. Dan munculah inovasi baru dalam hidup mereka. Hidup sejahtera, berantas tuntas pengangguran!"

"Bohong!"

Ibuku berseru geram. Aku hampir tersedak dibuatnya. Untung saja aku bisa mengendalikan aliran susu di kerongkonganku saat ini.

"Heran, kenapa manusia sebangsa mereka masih saja dibiarkan hidup setelah bertahun-tahun Distrik kita mendapat perhatian Distrik Pusat untuk membuat balai latihan kerja. Dan baru sekarang mereka berniat untuk memberantas pengangguran? Distrik keparat! Dikemanakan uang bantuan Distrik Pusat selama ini?!"

Aku menggeleng tidak mengerti semua maksud ibuku mengenai politik Distrik yang terjadi saat ini. Tanpa banyak bicara, aku beranjak dari meja makan dan menghampiri ibuku. Mencium punggung tangannya sebelum pamit berangkat menuju sekolah di hari sialan ini.

"Bu, aku berangkat sekolah ya."

"Jangan malas. Kalau ada yang bertanya, jawab dengan akurat. Kamu itu ketua kelas. Jangan banyak melamun. Lebih baik pikirkan hal-hal positif."

Aku menunduk. Memutar bola mataku malas.

"Ya sudah, hati-hati di jalan."

Kusunggingkan senyuman sambil melambaikan tangan pada ibuku. Berjalan melewati beberapa gang perumahan kelas ploretar (menengah ke bawah) sebelum akhirnya tiba di halte kapsul jurusan sekolah.

Tahu begini, aku pastikan memasang alarm untuk membangunkanku agar berangkat sekolah diantar ayah saja daripada harus berdesakan bersama anak sekolah lain. Lebih tepatnya bersama ibu-ibu pengumbar gosip yang selalu mengantar anak-anak mereka ke sekolah. Aku membuang napas kasar, berdiri menunggu salah satu kapsul yang menepi menyambutku di depan halte.

Pintu kapsul berdesing, terbuka secara otomatis. Aku melangkah masuk dengan wajah muram. Pintu di tutup kembali. Kapsul bergerak menjauhi halte menggunakan tenaga sensor dan uap. Tanganku merogoh kartu pelajar di saku seragam, mendekatkannya pada sensor di samping pintu kapsul. Aman. Sinar hijau tanpa peringatan muncul di layar monitor. Aku mengerucutkan bibir ke samping, menyapu pandangan mencari tempat duduk yang sekiranya kosong. Pandanganku terhenti di ujung ruangan kapsul, tempat biasanya anak-anak SMA mendominasi wilayah itu. Di sana, terdapat satu kursi kosong. Dengan langkah malas aku berjalan lalu duduk di kursi itu.

Terdengar suara gaduh dari anak-anak SMA di dekatku. Mereka memang biang onar. Kuhela napas berat, merogoh earphone dan ponsel untuk mendengarkan musik.

"Hai."

Kurasakan tepukan tangan tepat di bahuku. Salah satu anak SMA itu menyapaku. Mataku membulat.

Sebentar! Semalam aku bermimpi dibawa melayang bersama malaikatku itu. Tapi, kenapa malaikatku itu ada di sini? Menyapaku bersama senyuman maut yang disunggingkannya untukku? Namun berbeda versi. Malaikatku yang satu ini tidak bersayap, berpakaian seragam sekolah pada umumnya.

"Hai," aku balas tersenyum, berusaha terlihat biasa saja. Kumatikan earphone yang sedari tadi menghiburku.

Dia menjulurkan tangan, "Namaku Arunika."

Aku tersenyum, membalas jabatan tangan malaikatku ini, "Melvina."

Siulan menggoda mulai mendominasi kapsul. Gerombolan anak SMA yang kutahu mereka itu teman malaikatku ini benar-benar tidak tahu situasi dan kondisi. Wajahku begitu memerah, panas, dan malu. Ingin sekali aku menghajar mereka jika tidak ada beberapa anak kecil dan orang dewasa di sini.

"Sikat, Ar! Masih lucu dan manis pula."

Arun memutar bola matanya jengah, "Jangan pedulikan mereka, Vina."

"Evi. Panggil saja aku Evi."

"Ya, Evi." Arun berdeham, menatap tajam teman-temannya itu. Sontak mereka terdiam. Menyengir kuda sambil menggoda kami tanpa bersuara. Dia merapatkan bibirnya, menatapku kembali. "Ini udah hampir siang, lho, masa kamu baru berangkat sekolah."

"Jiwa Ketua Osis nya mulai kumat, Lord.."

"Fuck off." Ku dengar dia mengumpat kasar pada gerombolan temannya, mereka kembali terdiam sambil menutup mulut hiperbolis, matanya kembali menatapku, "Kamu tahu, kan. Kamu itu masih baru jadi kelas satu. Nanti lagi jangan berangkat siang. Di sini, aku cuma mantan ketua osis. Kamu ngerti kan maksudku? Kamu harus disiplin."

Aku mendengus sebal, "Terus, bagaimana denganmu? Sama-sama siang tidak usah saling menasihati. Aku tahu semua peraturan sekolah."

"Jauh sebelum kamu, aku terlebih dulu memimpin sebuah organisasi. Aku juga terlebih dulu mengetahui peraturan sekolah sebelum kamu. Aku sudah terbiasa berangkat sekolah sesiang ini, karena aku punya alasan kuat. Aku senior, kelas tiga, dan mereka, para pengajar tidak keberatan melihat kami kesiangan karena begitu banyaknya pelajaran untuk kami persiapkan setiap harinya di malam hari. Mengerti Melvina?"

Malas sekali aku menanggapi perkataannya. Aku lebih tertarik memperhatikan setiap raut wajah tampan malaikatku ini. Kini Arun menatapku intens, begitu hebat mahakarya ciptaan Tuhan di hadapanku ini. Kuanggukkan kepala, mengiyakan pidatonya.

Kapsul yang kunaiki berhenti tepat di depan halte dekat sekolah. Semua murid SMA yang berada di dalam kapsul berhamburan keluar dari kapsul. Arun dan teman-teman biang keroknya sudah lama turun dari kapsul. Hanya tinggal aku dan beberapa penumpang yang masih berada di dalam kapsul.

Tepat saat aku melangkah menuju keluar pintu, kurasakan seseorang menabrak pundakku dengan kasar. Saat aku menoleh, tidak ada seorang pun di sampingku. Kutoleh menyapu pandangan di sekitarku, tidak ada yang mencurigakan. Aku turun dari kapsul dengan rasa gelisah, sementara bibirku tiba-tiba terkatup. Melihat pagar gerbang sekolah di depanku barusaja tertutup dengan rapi untukku.

"Fuck."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top