Bullet 4 : "Irie Shoichi"

"Misi?"

Tsuna menghela nafas. Baru saja ia mengalami kematian, dan sekarang ia diberi misi(?). Tapi, mustahil Tsuna menolaknya karena sang Primo yang memintanya.

"Aku...tidak, 'kami' menduga kematianmu bukan sekedar 'kecelakaan' biasa, tapi ini disengaja oleh seseorang yang mengincarmu, Decimo,"

Tsuna menghela nafas, lagi-lagi masalah ini.

"Ada yang mengincarku lagi?"

Tsuna tak mengerti, mengapa mereka tak pernah jera untuk terus membunuhnya? Bahkan setelah kejadian 'itu', mereka masih saja menginginkannya. Mafia sungguh dunia yang mengerikan.

Sekali lagi, Tsuna menghela nafas lebih panjang. Entah mengapa ia suka menghela nafas akhir-akhir ini.

"Jadi, 'misi' apa yang kau katakan ini?"

Giotto menatapnya dalam keheningan, mata emas itu menatap lurus mata coklat Tsuna.

"Kau akan...-"

Different Sky

Hide tak pernah berhenti berpikir tentang kakaknya itu. Terkadang, Sawada Tsunayoshi terlihat seperti orang yang berbeda di saat yang bersamaan.

Seperti sekarang ini. Tsuna tidak berbicara sedikit pun sejak bangun pagi. Bahkan ketika di sapa, suara 'hn'-lah yang keluar dari mulutnya. Itu mengingatkannya pada suatu karakter anime kesukaannya; berambut emo.

Lupakan yang tadi. Sekarang, apa yang terjadi pada Tsuna? Mungkinkah Hibari Kyoya melakukan sesuatu lagi? Tapi, Hide ingat kakaknya itu pulang dalam kondisi selamat sentausa sehat wal'afiat kemarin.

"Onii-san?"

Hide menatap sang kakak yang tidak membalas panggilannya. Dan suasana membuatnya tidak nyaman.

"Onii-san?" panggilnya sekali lagi. Tsuna tidak menanggapi, bahkan melirik pun tidak. Hide mengacak surai pirangnya, apa yang harus ia katakan agar sang kakak itu setidaknya membalas layaknya manusia biasa?

Oh, sebuah kejadian melintas di otaknya.

"Onii-san, apa kau berpikir tentang mimpi burukmu?"

Langkah Tsuna terhenti, Hide terlonjak girang dalam hati. Ia tahu tidak sebaiknya menanyakan hal itu, namun mau bagaimana lagi?

Setiap malam, Hide bisa mendengar suara tangis dan ucapan minta maaf dari bilik Tsuna. Mungkin kakaknya itu selalu bermimpi buruk, maka dari itu Hide ingin membantu Tsuna yang ia yakini tidak pernah tidur di malam hari.

Mimpi buruk itu...mungkin berkaitan dengan kejadian tujuh tahun yang lalu.

"Onii-san."

Hide menatap punggung kakaknya. Rasanya, ia bisa melihat semua beban yang ditanggung Tsuna. Ia merasa, kakaknya bukanlah seorang Sawada Tsunayoshi semata. Pikirannya berkedut, seakan mengatakan sesuatu yang tidak begitu ia mengerti.

"Tentang kejadian tujuh tahun yang lalu."

Suara Hide tercekat. Sekali lagi, ia ingin menanyakan hal itu. Ia berharap, kakaknya akan menjawabnya kali ini.

"Apa yang terjadi saat itu?"

Hide masih senantiasa menatap punggung sang kakak, menanti jawaban. Walau ia tahu, harapannya takkan pernah terwujud. Tsuna pasti menghindarinya, lagi.

"Maaf, Hide. Aku tidak tahu. Sama sepertimu, aku tidak ingat apapun saat kejadian itu terjadi."

Bohong!

Hide tahu itu sebuah kebohongan. Ia tak tahu mengapa dirinya berpikir demikian, namun ia sangat yakin apa yang dipikirkannya itu benar.

"Lalu, apa yang membuatmu mimpi buruk selama ini?!"

Tsuna tersentak, tapi ia tidak menoleh ke belakang. Sosoknya masih membelakangi Hide yang menggigit bibir bawahnya; kesal.

"Kau mendengarnya?"

Hide mendecakkan lidah, memutar bola matanya.

"Tentu saja! Kamar kita berseberangan! Suaramu bahkan bisa mencapai dapur."

Itu bohong, tentu saja Hide sengaja melakukannya. Maksudnya, suara tangis kakaknya yang mencapai dapur. Suara yang ditahan seperti itu tak mungkin bisa terdengar sampai ke bawah, pengecualian pada kamar di sebelahnya. Salah satunya kamar Hide yang tepat di seberang.

Tsuna berbalik, memperlihatkan wajahnya yang hanya tertawa masam.

"Hahaha, maaf-maaf. Aku mimpi buruk dihukum Kyoya karena kabur dari tugasnya. Kau tahu? Kyoya selalu menyerahkan tugasnya padaku! Hei! Padahal dia ketuanya!"

Hide menatap kakaknya, tangannya mengepal erat. Lagi-lagi, kakaknya berbohong. Walau ia senang karena Tsuna kembali berbicara dan mengomentari sang Ketua Komite Disiplin itu, tapi ia juga tidak senang karena Tsuna masih menyembunyikan sesuatu darinya.

Tidak bisakah dia membaginya? Mereka berdua adalah saudara!

"Aku benci Onii-san!"

Dengan cepat, Hide menghentak tanah dan berlari mendahului Tsuna. Sementara sang kakak hanya bisa menatap sendu kepergian adiknya.

"Maaf, Hide. Aku...-"

Different Sky

Hide berlari tak peduli jika ia menabrak pejalan kaki yang lain. Ia memilih membolos sekolah, tak peduli jika Hibari Kyoya meng-kamikorosu dirinya nanti.

Ia hanya butuh waktu untuk sendiri.

Kakinya berhenti melangkah. Ia menatap sekitar, tanpa sadar berlari ke taman Namimori. Dengan gontai, ia duduk di pinggiran kolam air mancur dan menatap kosong pada jalanan di depannya.

Hide tahu, ia salah pada kakaknya. Mengatakan 'benci' pada saudaramu sendiri, itu terdengar kejam. Tapi di sisi lain Tsuna juga salah. Mengapa ia tidak berbagi sedikit cerita padanya? Setidaknya, itu dapat meringankan bebannya.

Hide mengaku ia tidak ingin mengganggu privasi orang lain, bahkan kakanya sendiri. Tapi, dalam hatinya selalu berdenyut sakit setiap melihat Sawada Tsunayoshi. Tatapan matanya yang menyorot penuh penderitaan, punggungnya yang terus menerima beban, tangannya yang seakan lihai melakukan segala aktifitas, dan kakinya yang terus melangkah maju.

Bukankah hal itu 'tidak normal' untuk anak seusianya? Tidak, Hide bukan berarti mengharapkan kakaknya itu tidak normal. Tapi, dilihat bagaimanapun kakaknya itu memang seperti sudah dewasa di usianya yang masih remaja.

Yah, mungkin hanya dirinya. Dan ia menaruh sedikit curiga pada Hibari Kyoya yang dekat dengan kakaknya. Mungkin ia tahu tentang apa yang disembunyikan kakaknya itu?

Hide menghela nafas, ia merasa perlu menjernihkan pikiran seka-

"UUWAAAH!"

"WAA!"

Hide mengelus pipi kirinya yang mati rasa karena suhu dingin. Matanya menangkap sosok remaja yang lebih tua tiga tahun darinya itu mengelus dadanya, ikut terkejut karena teriakannya.

"Umm..."

"A-ah! Ma-maaf!"

Hide hanya bisa tersenyum kikuk. Ia juga ikut menunduk, "aku juga. Maaf membuatmu terkejut."

Pemuda itu mengibaskan tangannya, "tidak apa. Salahku juga yang membuatmu seperti itu," ujarnya seraya memberikan kaleng minuman yang masih dingin. "Ini untukmu. Aku melihatmu melamun di sini, jadi yah...sekedar untuk basa-basi. Kau tahu? Melamun itu tidak baik."

Dengan ragu Hide menerima minuman itu. "Uhm, terima kasih. Duduklah di sini," sambut Hide sambil menepuk beton pinggir kolam yang cukup lebar itu. Sang pemuda tersenyum dan duduk di sampingnya. "Jadi, mengapa anak sekolah sepertimu di tempat seperti ini?"

Hide tersentak dan menepuk jidatnya, merutuki kebodohannya yang keluyuran di saat jam sekolah. Tambahan lagi, ia masih memakai seragam sekolah.

"Ahaha, dan senpai sendiri tidak sekolah?"

"Ah, aku baru pindah kemarin. Jadi, setidaknya aku dapat libur dua hari sebelum masuk sekolah."

"Begitu."

Hening menyelimuti keduanya. Hide menatap minuman kaleng yang masih tersegel itu. Matanya melirik pada pemuda yang asik menikmati peandangan di sekitarnya. Hide mulai merasa tidak nyaman dengan keheningan yang ada. Yah, Sawada Hideyoshi memang tidak menyukai suasana yang canggung dan hening mendadak, terutama dirinya lahir di keluarga yang berisik. Yup! Berisik karena ayahnya yang selalu berisik.

"Jadi, kenapa senpai pindah ke sini?"

"Aku disuruh oleh seseorang. Yah, perjalanan dari Italia ke Jepang itu melelahkan. Syukur kalau dia mengizinkanku libur saat ini."

Hide tidak terlalu mengerti maksudnya, tapi ia cukup terkejut pada satu hal.

"Dari Italia?"

"Ya, tapi tenang saja. Aku Jepang asli, lho."

Hide menyipitkan matanya. Ia menatap perawakan dari pemuda di sebelahnya. Rambut merah agak berantakan, mata hijau di balik lensa kacamata, tubuhnya tidak gemuk ataupun kurus, dan ia memakai kaos putih biasa dengan setelan celana panjang berwarna hitam. Oh, jangan lupakan sandal jepit yang dipakainya.

"Kalau boleh tahu, nama Anda senpai?"

"Bukannya tidak sopan? Kau harus memperkenalkan diri dulu."

Ah, lagi. Hide merutuki kebodohannya, lagi.

"Saya Hide, Sawada Hideyoshi. Dan Anda? Umm..."

"Panggil saja Shoichi. Irie Shoichi."

Different Sky

Tsuna menghela nafas. Ia menatap langit di luar jendela. Saat ini dirinya di kelas, entah bagaimana ia bisa selamat dari Kyoya yang seakan-akan bisa menemukannya dimanapun dirinya berada.

Sungguh, awannya itu patut diwaspadai.

"Aku benci Onii-san."

Ucapan Hide sempat terngiang di pikirannya, namun ia tepis itu untuk meringankan bebannya sedikit. Walau ia tahu itu tidak efektif.

Karena beban yang ia tanggung tak lain adalah Sawada Hideyoshi itu sendiri.

Lagi, Tsuna menghela nafas. Pikirannya melayang pada kejadian lalu, dimana dirinya belum yang masih hidup di kehidupan pertama. Kehidupannya bersama keluarga, teman-teman, bahkan musuhnya sekalipun melintas dalam benaknya.

Namun, semua itu hancur karena kecelakaan itu. Ah, tidak, pembunuhan berencana itu.

Tsuna tidak tahu ia harus bersyukur atau justru mengumpat kesal. Tentu ia bersyukur karena hidup kembali, walau di dunia berbeda. Dan ia juga kesal karena meninggalkan keluarganya begitu saja.

Yah, mau bagaimana lagi? Di sinilah dirinya berada sekarang. Sebuah dunia baru, kehidupan baru, dan...seorang keluarga yang baru.

Sangat jelas yang ia maksud adalah adiknya di dunia ini, Sawada Hideyoshi.

Ah, perkataan Giotto muncul begitu saja tanpa ia minta.

"Kau akan terlahir kembali."

"Aku berharap terlahir menjadi orang yang lebih baik lagi, Giotto."

Tsuna menyunggingkan senyum. Entah mengapa kata-katanya barusan mengingatkannya pada sosok bayi yang selalu menghantuinya.

Ia menatap ponsel pintarnya yang menampilkan sebuah pesan baru. Dengan cekatan tangannya membuka pesan itu, menyadari mendapat kiriman dari seseorang yang ia kenal. Sebuah gambar ia terima, menampilkan dua sosok berbeda usia. Pemuda berambut merah itu cukup mencolok membuat Tsuna tahu siapa orang tersebut. Irie Shoichi. Orang pertama yang ia lihat di gambar sekaligus orang yang mengirimnya gambar tersebut.

"Jadi, dia sudah kembali, ya?"

Yah, Tsuna mengetahui kepulangan Shoichi dari Hibari Kyoya tentunya.

Matanya bergulir ke samping, melihat seseorang yang mendampingi Shoichi dalam gamabrnya. Ia terbelalak melihatnya.

"Hi-Hide?!"

Dalam gambar, terlihat Hide yang tersenyum malu. Di bawah gambar, terdapat beberapa kata yang membuat dahi Tsuna berkerut seketika.

'Aku bertemu adikmu di taman. Seprtinya ia bolos sekolah^^'

Sebagai ganti untuk tidak meremas ponsel hingga hancur seperti dulu, Tsuna meremas buku yang tidak bersalah di atas mejanya.

Sementara sang buku hanya bisa menangis meratapi nasib sialnya di tangan seseorang yang menahan kedutan kesal di pelipis matanya.

Different Sky

Hibari Kyoya menatap jam dinding di ruang kerjanya. Matanya beralih pada segunung tumpukan kertas yang berdiam diri di sudut meja kerjanya, menunggu untuk diisi beberapa data.

Ia menghela nafas.

"Tetsu."

Kasukabe Tetsuya yang berdiri di sampingnya menunduk hormat, "ya, Kyo-san?"

Mata tajam bagaikan elang itu tampak berkilau dan mengerikan di saat bersamaan.

"Bunuh Sawada Tsunayoshi sekarang dan bawa mayatnya padaku."

"Baik."

Tanpa ragu Tetsuya menjawab. Ia tahu, tidak mungkin Ketuanya melakukan hal sekejam itu pada Sawada Tsunayoshi. Yah, pengecualian tentang kamikorosu dan pemberian tugas Ketua Komite pada Sekretarisnya, mungkin bagi sebagian orang itu hal mengerikan dan kejam. Tidak ada yang tahu bahwa seseorang lebih kejam dari Hibari Kyoya.

Tentu saja, siapa lagi memangnya yang dimaksud Tetsuya. Dialah Reborn.

Ah, Tetsuya melenceng dari topik. Sekarang, ia hanya harus mengambil inti dan kesimpulan dari perintah sang Ketua Komite.

'Bunuh' sama dengan 'temukan'.

'Bawa mayat' sama dengan 'bawa orang'.

Jadi, Hibari Kyoya memintanya untuk menemukan Sawada Tsunayoshi dan bawa orangnya menghadap padanya. Itu tidak sesulit yang ia kira. Yap, bagi Kusakabe Tetsuya, tapi tidak bagi orang lain yang justru akan salah paham tentang itu.

Dan, dilaksanakanlah tugas Kusakabe Tetsuya dari Ketuanya tercinta. Mari kita berharap Tsuna kita yang imut masih bisa muncul di chapter selanjutnya~ /authordibekukandenganzerochikentoppafirstedition\

Different Sky

Yamamoto Takeshi mengayunkan shinainya. Ia tidak memakai pelindung atau apapun. Tentu saja, keahliannya di atas rata-rata. Tidak, melebihi atas rata-rata. Bahkan ia bisa mengalahkan Mochida dengan mudahnya. Itupun menahan diri.

Dan sekarang, hubungan mereka menjadi dekat entah karena apa.

"Yo, Takeshi!"

Takeshi menoleh, mendapati orang yang ia bicarakan dengan reader sekalian muncul di ambang pintu. Tangannya terangkat, "Mochida-san."

Jujur, Takeshi tidak pernah mau memiliki hubungan dengan senpai itu, mengingat dia salah satu dari sekian banyak orang yang menghina Tsuna. Tapi, ini dunia lain. Hei! Tentu saja ada perubahan, dan Tsuna juga salah satu dari perubahan itu.

Dulunya mereka seumuran, satu kelas, dan selalu pergi bersama. Sekarang banyak perubahan, mereka berbeda kelas, tepatnya dirinya menjadi kouhai dan Tsuna menjadi senpai. Dan juga, waktu yang mereka habiskan sedikit. Dirinya lebih banyak berkumpul dengan Hide daripada Tsuna. Mereka berkumpul hanya saat Hibari Kyoya memanggil atau dirinya ada kesempatan untuk berbicara empat mata dengan Tsuna.

Benar, 'kan? Banyak perubahan.

"Takeshi?"

"Ah?"

Takeshi mengerjapkan matanya, kemudian tertawa renyah. Tidak biasanya ia kehilangan fokus saat ingin latih tanding.

"Maaf, senpai. Aku memikirkan Hide yang tadi tidak hadir di kelas."

"Oh, kata Sawada-senpai, dia izin saat ini. Baru saja disampaikan di kelas."

Takeshi mengernyit mendengarnya, namun mengacuhkannya ketika memikirkan bahwa Tsuna memiliki maksud dari izinnya Sawada Hideyoshi. Ah, dirinya terlalu memikirkan Hide karena permintaan Tsuna sendiri.

Ya, Tsuna memintanya untuk mengawasi Hide dari hal bahaya yang bisa terjadi di sekitarnya.

"Takeshi?"

"Ah? Oh, ahahaha. Ayo mulai, senpai."

Different Sky

Sicily, Italia.

Sosok bayi itu berjalan memasuki ruangan dengan berbagai pasang mata menatap ke arahnya. Seseorang menatapnya dari jauh, memicingkan mata ketika bayi itu melewatinya.

"Hei, hei, bukankah dia..."

"Gawat! Mengapa dia berada di sini?!"

"A-aku tidak ingin mati!"

Semua orang perlahan berlari menjauhinya, tapi bayi itu tampak tidak peduli dengan hal yang terjadi di sekitarnya. Ia menatap pesawat yang akan membawanya menuju tempat tujuannya, Jepang.

"Aku datang―"

Kemudian, ditatapnya lekat pada foto anak laki-laki yang menjadi 'target'nya kali ini.

"―Sawada Hideyoshi."

[1 hari sebelum kedatangan Reborn]

ToBe Continued

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top