Bullet 3 : "Rain and Cloud"
"Decimo,"
Sawada Tsunayoshi menatap sosok di hadapannya yang sangat ia kenali.
"Primo, dimana ini?"
Ia menatap ke sekitar, kenyataan bahwa dirinya tidak berpijak di tanah, melainkan melayang di udara membuatnya yakin ia tidak berada di dunia nyata. Pemandangan di sekelilingnya hanyalah langit biru yang sangat luas, entah sampai dimana batasnya.
Tsuna menatap dirinya, tidak terlalu terkejut mendapati bahwa ia kembali ke sosok anak SMP berusia 14 tahun. Apa karena jiwa orang dewasanya? Entahlah, ia tak terlalu memikirkan wujud anak kecilnya saat ini. Ia lebih memilih memikirkan generasi pertama yang menatapnya sedih. Ah, ia tahu akan hal itu, mengapa Primo menatapnya seperti itu.
"Aku...sudah mati, 'kan?"
Different Sky
"Selamat pagi, Sawada-kun,"
Hide terlonjak kaget mendengar suara feminim yang sangat ia kenali. Dengan cepat ia berbalik dan tersenyum menatap gadis pujaan hatinya, "Se-selamat pagi, Kyoko-chan!"
Sasagawa Kyoko membalas dengan tersenyum dan berjalan beriringan dengan Hide yang gugup melihatnya, "Kyoko-chan?" Sementara yang dipanggil menatapnya, "Maaf, bisakah kita berangkat sekolah bersama? Onii-chan sedang lari pagi hari ini,"
Hide mengangguk mengerti dan mencoba sebaik mungkin menghilangkan degupan jantungnya. Namun sayang, ia tak bisa menyembunyikan rona merah di wajahnya.
"Sawada-kun, apa kau sakit? Wajahmu merah, lho,"
Hide kembali gugup mendengarnya, "Ti-tidak! Ini hanya...hanya...ah, ya! Pedas! Aku sarapan dengan saus yang pedas tadi," jawabnya asal, berharap gadis di sampingnya itu percaya. Ia tidak bisa seperti kakaknya yang pandai membuat berbagai macam alasan. Mungkin ia harus berguru pada Tsuna pulang sekolah nanti.
"Benar juga, dimana Sawada-senpai?" tanya Kyoko yang menyadari tidak hadirnya Sawada sulung itu. Biasanya Sawada bersaudara selalu berangkat dan pulang bersama, kecuali jika ada tugas piket masing-masing.
"Ah, Onii-san berangkat lebih awal. Seperti biasa, Hibari-san menghubungi pagi-pagi sekali,"
Hide berjalan memasuki gerbang, sebelum akhirnya ia berhenti karena seseorang memanggilnya,
"Hide, tangkap!"
Dan dengan reflek ia menangkap baseball yang melambung ke arahnya. Hide menatap orang yang tersenyum lebar sambil mengayunkan tongkat baseball-nya, mengisyaratkan untuk melempar bola itu dan ia akan memukulnya.
Hide tersenyum, kemudian mengambil ancang-ancang untuk melempar baseball yang dengan cepat melaju pada pemukul yang memukul dengan sekuat tenaga.
"Homerun!" serunya sambil menatap bola yang melambung tinggi itu dan ditangkap oleh anak-anak lainnya. Hide berjalan mendekatinya, "Pukulan yang bagus, Yamamoto!" ujarnya dan melakukan toss dengan Yamamoto Takeshi yang tersenyum lebar, "Lemparan yang bagus, Hide!"
"Sawada-kun, sampai jumpa di kelas," Kyoko datang menghampiri. Hide mengangguk, "Ya! Sampai jumpa, Kyoko-chan," balasnya dan melambai pada Kyoko yang berjalan menjauh. Ia menatap Takeshi yang tidak pernah terlepas dari senyumannya. Terkadang, ia merasa aneh melihat kawan baiknya itu terus tersenyum seperti itu.
"Omong-omong, dimana Tsuna?"
"Ah, Onii-san dipanggil Hibari-san pagi-pagi sekali. Mungkin tugas Komite lagi," ujarnya sementara Takeshi mengangguk mengerti. "Kalau begitu, mau ikut ke kantin? Aku belum sarapan," ujarnya masih dengan senyuman.
Hide menghela nafas. Sang maniak baseball itu selalu lari pagi mengelilingi Namimori. Karena hal itu juga dia sering tidak sarapan. Hide sangat paham dengan kebiasaan teman masa kecilnya itu.
"Baiklah. Tapi, bayar sendiri,"
"Tenang saja, aku bawa dompet,"
Hide menghela nafas lega, sekarang uang sakunya terselamatkan. Ia menatap Takeshi yang tak pernah berhenti tersenyum, membuat Hide bertanya-tanya, 'apa dia tidak pernah merasa sedih?'. Hide tidak pernah melihat Takeshi tanpa senyuman. Pertama kali mereka bertemu juga, dia selalu tersenyum.
Bahkan ketika kematian Ibunya, Hide tak pernah melihatnya lagi selama beberapa hari. Kemudian dia muncul dengan senyuman, seakan tidak ada beban yang ditanggungnya.
Apa itu memang menjadi sifatnya?
Atau itu hanya topeng untuk menutupi kesedihannya?
Hide tidak pernah tahu jawabannya. Ingin ia tanyakan, namun takut jika pertemanan mereka hancur karenanya.
"Ada apa, Hide?"
Hide terkejut ketika Takeshi bertanya padanya. Dengan cepat Hide menggeleng, "Tidak ada. Sushi yang kemarin, terima kasih," ujarnya membicarakan hal lain. Takeshi tersenyum, "Tidak masalah. Datanglah ke restoran keluargaku, ya?'
"Baiklah, aku akan datang dengan Onii-san nanti,"
Different Sky
Tsuna menutup mata dengan lengan tangannya, wajahnya terperangah ke atas dengan sandaran sofa. Sementara itu, anak berambut hitam menyajikan teh di meja untuk mengistirahatkan otak yang terus bekerja sejak fajar menyingsing.
"Minumlah, aku tidak mau kau sakit hanya karena tugas ini," ujarnya dingin namun penuh perhatian. Tsuna menatapnya sebentar dan tertawa kecil, "Kenyataannya, aku sering mengerjakan hal seperti ini sampai begadang untuk menyelesaikannya," sindirnya pada diri sendiri.
Hibari Kyoya mendengus kasar dan duduk di sofa. Ia meminum tehnya sambil membaca berkas yang ada, "Cukup sulit untuk mendapatkan semua info ini," ucapnya. Tsuna duduk kembali dan mengambil kertas lainnya, "Ya, sangat beruntung untuk Shoichi-kun yang berhasil meretas jaringan mafia tanpa menimbulkan masalah. Keamanan di dunia ini lebih ketat daripada di dunia yang sebelumnya,"
Tsuna menghela nafas, "Tapi, kita masih belum menemukan Famiglia yang melakukan semua masalah ini. Sangat melelahkan jika yang mengerjakannya hanya lima orang," ujarnya dan menenggelamkan dirinya pada sandaran sofa. Kyoya kembali mendengus dan berjalan menuju meja kerjanya, "Bagaimana dengan kejadian tujuh tahun yang lalu?"
"Ah, mereka tidak ada kaitannya dengan ini. Hanya mafia yang mengincar anak kecil untuk dijual di pasar gelap. Kau mengerti maksudku, 'kan?"
Kyoya meminum tehnya sedikit, "Kau pernah memberiku misi untuk menyelidiki jual-beli perbudakan itu, Omnivore," ujarnya sarkastis. Tsuna tertawa kecil, "Itu maksudku,"
Hening di antara keduanya. Kyoya menatap para siswa yang memasuki gerbang. Sesekali ia mengesap teh hijau buatannya. Sementara Tsuna memikirkan sesuatu yang sering mengganggu pikirannya.
"Benar juga. Kapan 'dia' datang, ya?"
Kyoya meliriknya, "Kau merindukannya?" Tsuna tertawa mendengarnya, "Ya, mungkin saja," kemudian menyentuh dahinya, "Dia selalu menembak tanpa aba-aba," ujarnya. Kyoya kembali menatap para siswa. Matanya hanya fokus pada dua orang yang berjalan beriringan menuju kantin.
"'Dia' akan datang, tapi bukan untukmu,"
"Ya, aku tahu. Aku sangat tahu itu,"
Different Sky
Yamamoto Takeshi menguap dengan rasa bosan dan hanya diam menatap langit. Hari begitu cerah, seakan tidak ada tanda-tanda hujan yang menjadi ciri khasnya tersendiri. Oh, walau ia seorang 'Hujan', bukan berarti ia pawang hujan.
"Yamamoto-kun,"
Sang bintang olahraga Namimori itu hanya tersenyum membalas sapaan mereka. Setelah itu, ia akan memasang wajah 'datar' tanpa ekspresi yang terungkap. Ia tertawa geli memikirkannya, "Akhir-akhir ini lebih banyak topeng yang digunakan, huh?" gumamnya. Ia memangku kepalanya pada tangan kanannya, memikirkan sesuatu.
Tentang masa lalu yang begitu 'kejam'.
"Ah, aku mengingatnya lagi,"
Mungkin karena ia mulai menikmati kehidupan keduanya? Entahlah, Takeshi tidak merasa demikian. Karena apa yang ia alami 'di sini' tidak jauh berbeda dengan yang dialamiya 'di sana'.
Contohnya, kematian Ibunya.
Yah, kematian memang tidak bisa dihindari. Namun, Yamamoto Takeshi berharap setidaknya ada satu kecil perubahan dalam hidupnya. Itu terhitung dengan dirinya yang bermain kendo. Tentu saja ia sering mengikuti lomba kendo karena dirinya dulu mengajar teknik berpedang itu. Kemudian akhirnya berganti baseball karena itu yang lebih sesuai dengan tipenya.
Dan sejak itu, tidak ada yang berubah lagi.
"Ah, masih ada satu lagi,"
Takeshi menatap Sawada bungsu yang sedang berbicara dengan gadis pujaan hatinya. Jika dulu Sawada Tsunayoshi yang seperti itu 'di sini', Sawada Hideyoshi yang menggantikan posisinya. Ia mendengus, mengingat bagaimana dulu ia selalu memperhatikan Tsuna yang selalu ceroboh, tidak pernah berani mengungkapkan perasaannya, bodoh dalam olahraga dan pelajaran. Takeshi ingin tertawa, kenyataannya dulu ia tidak beda jauh dari Tsuna, bodoh dalam pelajaran.
Takeshi tersenyum kecut memikirkannya. Ia merasa tidak berhak memiliki kesempatan kedua. Setelah gagal melindungi Langitnya, kemudian mati terbunuh dalam misi, dan sekarang ia dilahirkan kembali(?). Takeshi mendengus kasar mengingat sang Rain Guardian generasi pertama yang menginginkannya untuk menjalankan misi bersama Langitnya di dunia yang baru.
Dan ia merasa sudah cukup untuk terus bermain-main. Ia sadar bahwa ini bukan permainan mafia yang dianggap candaan olehnya. Ini adalah dunia dimana 'sekali masuk tidak bisa kembali'. Tangannya telah kotor setiap kali ia menebas seseorang dengan Shigure Kintoki. Ia tidak ingin memikirkan kata-katanya pada 'Hujan Varia' yang berisik itu bahwa ia tidak akan 'membunuh'. Namun sejak saat 'itu', saat pertama kalinya ia melakukan sesuatu bernama 'membunuh', hidupnya mulai berubah..
Langitnya terus mengurung diri di kamar, sang Badai hanya diam dan melakukan tugasnya, sang Petir tidak banyak bicara seperti biasanya, Matahari masih beraktifitas seperti biasanya, dua Kabut pergi entah kemana, dan Awan hanya memasang wajah tidak peduli.
Dirinya, sang Hujan hanya bisa terus membasahi dirinya dengan air merah. Ia tahu bukan hanya dirinya yang merasa seperti itu, tapi temann se'keluarga'nya juga merasakan hal yang sama.
Terutama Langitnya.
Tapi, Yamatoto Takeshi mengerti itu, karena 'mereka' telah bersumpah di naungan sang Langit, bahwa 'mereka' akan terus melindunginya.
Walau harus mengotori tubuh dengan membunuh.
Different Sky
Hibari Kyoya menatap tumpukan kertas yang memenuhi ruang kerjanya. Ia menghela nafas, rasanya tidak ada yang berbeda. Dulu, ia juga harus melakukan semua ini. Dan sekarang, ia juga harus melakukan pekerjaan ini.
Haruskah ia memanggil Sawada Tsunayoshi?
"Kyo-san,
"Tetsu, cari Sawada Tsunayoshi dan penggal kepalanya,"
Hanya singkat, ia langsung memutus percakapan sebelum Kusakabe Tetsuya membalas perkataannya. Ia membanting diri pada sofa di belakangnya, lelah dengan pekerjaannya yang sekarang. Jika boleh memaksa, ia akan menarik Sawada Tsunayoshi dari rumah persembunyiannya dan meng-kamikorosu hingga setiap inchi tubuhnya tak dapat bergerak.
Jujur saja, Kyoya tidak pernah peduli
Tapi, kejadian 'itu' membuatnya tak bisa melakukan semuanya sendiri. Ketika pertama kalinya ia melihat darah di tangannya.
Aneh. Padahal ia selalu bertarung, bahkan hingga terluka dan berdarah. Tapi, ketika ia melakukan sesuatu yang bernama 'membunuh', rasanya jauh berbeda dibanding ia bertarung dan terluka.
Kyoya menggelengkan kepalanya. Mengapa ia mengingat hal itu sekarang? Yang harus di lakukannya adalah menyelidiki dan mencari tahu tentang keluarga mafia yang mengincar Vongola saat ini.
Yang mengincar keluarganya.
Kyoya tersenyum kecil begitu kata 'keluarga' muncul di benaknya. Pada akhirnya, ia menganggap para herbivore itu keluarganya. Kenyataannya ia tidak menolak hal itu. Hidupnya yang dulu damai dan tenang dipenuhi dengan suara berisik dari orang-orang yang suka membuat kekacauan itu.
Namun, ia merasa tidak terganggu sama sekali. Walau ia sering meng-kamikorosu mereka semua, membuat Langitnya hampir membakar mansion, dan berakhir dengan biaya perbaikan yang setara dengan harga berlian, itu sama sekali tidak menganggunya.
Ia justru menikmatinya.
Dan karena itulah, ia akan menjadi Awan yang selalu bersama Langit dan 'keluarga'nya.
Different Sky
"Aku...sudah mati, 'kan?"
Kenyataan itu cukup pahit, dan Tsuna telah merasakan itu selama menjadi Decimo. Jika boleh jujur, Tsuna ingin mengutarakan perasaan yang sudah dialaminya selama 20 tahun ini. Dan justru kematian yang menghampirinya hingga perasaan itu kembali terkubur jauh dari lubuk hatinya.
Apakah dirinya menyia-nyiakan kesempatan yang sudah diberikan?
Ia mengepalkan tangannya, kemudian memukul udara di depannya. Hampa, tidak ia rasakan sensasi ketika memukul udara dengan tangannya itu.
"Jadi, inikah kematian itu?"
Tsuna menatap Giotto yang masih senantiasa menunggunya selesai beradaptasi dengan kondisi barunya. Seperti langit yang harmonis, mental Tsuna terlihat tak terguncang mengetahui keadaannya saat ini.
"Bisa ku katakan 'ya', dan juga ku katakan 'tidak',"
"Langsung ke intinya, Primo. Aku tahu kau ingin mengatakan sesuatu," ujar Tsuna sambil menghela nafas. Mungkin sang generasi pertama itu tidak ingin membuatnya dalam kondisi 'tidak menerima kenyataan'. Tsuna hanya tersenyum kecil memikirkan bahwa ia selalu mengurung diri di kamar ketika menolak kenyataan yang sulit diterima ini.
Rasanya bodoh ketika ia mengatakan akan mengubah dan menghancurkan tradisi Vongola, tapi kenyataannya ia pernah melakukan tradisi itu yang membuat dirinya begitu terpukul setelah melakukannya. Teringat bagaimana para guardiannya yang membantu menghilangkan beban yang terus ia tanggung selama ini.
Kau tahu? Menjadi Don Vongola itu sulit, dan Tsuna telah merasakan semua itu sendiri.
"Jadi, apa yang ingin kau katakan, Primo?"
Giotto menatapnya, "Kau memiliki misi yang harus di lakukan, Decimo,"
"Misi?"
Tsuna menghela nafas. Baru saja ia mengalami kematian, dan sekarang ia diberi misi(?). Tapi, mustahil Tsuna menolaknya karena sang Primo yang memintanya.
"Aku...tidak, 'kami' menduga kematianmu bukan sekedar 'kecelakaan' biasa, tapi ini disengaja oleh seseorang yang mengincarmu, Decimo,"
Different Sky
"Sawada Tsunayoshi memiliki rambut coklat mengikuti gen dari Ibunya, Sawada Nana. Sementara Sawada Hideyoshi memiliki rambut pirang mengikuti gen dari Ayahnya, Sawada Iemitsu,"
Sosok yang kecil itu membaca berkas data pribadi 'target' selanjutnya. Senyuman terukir di wajah mungilnya.
"Kau tertarik dengan anak itu, huh?!"
Pandangannya kini berpindah pada pria di hadapannya yang duduk dengan santai sambil menghisap rokok. Pria itu melihat foto anak yang akan menjadi 'anak didik' dari kawan lamanya itu.
"Anak itu tidak terlalu menarik bagiku. Masih lebih baik melihat gadis muda dibanding pemuda yang terlihat lemah itu,"
Sosok kecil itu menurunkan topinya hingga tak terlihat wajahnya,
"Jangan menilai dari luarnya, Shamal. Jika Nono telah memilihnya, itu berarti dia memiliki potensi untuk menjadi penerus selanjutnya,"
Sosok itu menatap matahari di langit senja yang sebentar lagi akan terbenam,
"Lagipula, aku adalah tutornya,"
[2 hari sebelum kedatangan Reborn]
To Be Continued
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top