Part 12

Pria bermata biru itu hanya menatap Bella dengan ekspresi datar. Sementara orang ditatapnya sudah hampir stroke mendadak karena kehadiran nya, yang tiba-tiba berdiri didepan pintu kamar itu.

"Kamu terkejut?" Ujar Diftan. Entah itu sebuah pertanyaan ataupun sebuah pernyataan, susah untuk dijelaskan karena nada intonasi Diftan benar-benar sangat datar.

"Te-tentu saja tuan, saya terkejut sekali." Balas Bella, lalu dia melirik kearah spring bed untuk memastikan ibunya tidak mendengar suara mereka.

Setelah yakin ibunya tidak terganggu, dia pun menutup pintu kamar itu dengan pelan-pelan.

"Mengapa tuan berdiri didepan pintu kamar ini?" Tanya Bella bingung.

"Saya ingin bicara."

"Oh... tapi mengapa tuan tidak mengetuk pintunya?"

Gadis itu bingung, kalo memang Diftan ingin berbicara padanya. Mengapa hanya berdiri dan tidak mengetuk pintu saja?

"Mengapa saya harus mengetuk pintu di apartement saya sendiri?" Tanya Diftan balik.

Bella terlihat berfikir sejenak, untuk meresapi ucapan dari pria tersebut.

"Iya juga ya, kamar ini kan milik tuan juga, kenapa harus diketuk?" Ucap Bella cengengesan sambil menggaruk hidung nya yang tidak gatal sama sekali.

Lalu gadis kecil itu tampak berfikir lagi. "Tapi tuan, kalau tuan tidak mengetuk pintu nya? Saya pasti tidak akan tahu kalau tuan sedang berdiri disini."

"Saya pikir kamu sudah tidur, jadi saya urungkan niat untuk mengetuknya."

Entah mengapa jawaban dari Diftan itu membuat Bella sedikit bingung, sebenarnya arah kemana pembicaraan ini.

"Emm... saya sudah bangun. Tuan mau bicara apa?" Tanya Bella.

"Saya tidak bisa tidur."

"Hah?"

Bella terbelalak mendengar empat kata itu.

"Saya menunggumu dikamar, tapi kamu tidak datang." Kata Diftan lagi.

Sekarang Bella tahu maksud dari ucapan pria tersebut.

"Oh itu... emm.. saya pikir tuan sudah bisa tertidur sendiri." Ucap Bella sambil menundukkan kepala nya.

Dia yakin saat ini wajah nya pasti sudah sangat memerah seperti tomat gara-gara mendengar perkataan dari Diftan.

"Sekarang bisakah kamu menemaniku? Hanya sampai saya tertidur, setelah itu kamu bisa balik lagi ke kamar."

"Ba-baiklah." Ujar Bella sambil tetap menunduk.

"Mengapa kamu menunduk seperti itu? Apa wajahku terlihat menyeramkan?"

Bella tetap menunduk sambil  menggelengkan kepala nya." Mata saya hanya kelilipan tuan, emm... tuan masuk saja dulu kedalam, saya mau minum air putih. Nanti saya akan menyusul." Ucapnya sambil menunduk berjalan kearah dapur.

Dia hampir saja menyandung kursi yang ada didepan nya karena terlalu menunduk. Rambut pendeknya tidak dapat menutupi wajahnya yang memerah.

Setelah mendengar suara pintu kamar Diftan tertutup, barulah dia menegakkan kembali kepala nya. Gadis itu langsung memegang wajahnya yg merah.

"Astaga, astaga, astaga... mengapa wajah ini tidak bisa diajak kompromi sih?"

Lalu dia memegang debaran jantung nya yang mirip seperti gebukan sebuah drum.

"Sepertinya aku bakalan terkena penyakit jantung kalau begini ceritanya."

Bella pun mengambil air putih dan meminumnya, lalu dia menghirup udara dan membuangnya lagi. Dilakukan nya berulang-ulang untuk menghilangkan rasa grogi dan debaran jantungnya itu.

Setelah dia rasa cukup, akhirnya dia pun masuk kedalam kamar yang agak gelap itu. Dilihatnya Diftan yang duduk dipinggir tempat tidur sambil memegang ponsel nya.

Pria itu pun meletakkan ponsel keatas meja setelah melihat orang yang ditunggu-tunggu datang.

"Mengapa lama sekali? Kalo kamu tidak berniat, harusnya tolak saja. Jadi saya tidak akan menunggu." Ujar Diftan dengan dingin dan ketus sekali.

"Maaf tuan, tadi saya kekamar mandi sebentar." Jawab Bella terpaksa berbohong.

"Pergilah, saya sudah tidak berminat lagi." Kata Diftan.

Bella bingung harus berbuat apa, dia tahu kalau Diftan hanya emosi karena sudah menunggu lama. Saat dia hendak berfikir, tiba-tiba Diftan sudah berjalan ke arah pintu. Dia pun refleks merentangkan kedua tangan nya di depan pintu itu, agar Diftan tidak bisa keluar.

"Minggir."

"Tuan mau kemana?"

"Saya mau keluar, jadi minggir."

"Tapi ini sudah tengah malam, tuan mau pergi kemana?"

"Bukan urusan kamu!"

"Tidak, tuan harus tidur. Tidak baik pergi larut malam begini, tuan bisa masuk angin nanti." Kata Bella sambil membelakangi Diftan dengan memeluk pintu itu, supaya pria itu tidak jadi keluar.

Diftan hanya menghembuskan nafas nya dengan kasar, lalu berbalik dan menjatuhkan tubuhnya sendiri keatas spring bed itu.

"Cepatlah kemari, sebelum aku berubah pikiran!"

Mendengar suara bass itu, Bella pun langsung naik ke tempat tidur dan ikut berbaring disana. Diftan langsung memeluk gadis itu dan mendekatkan wajahnya kebagian leher Bella. Diftan suka dengan aroma bayi yang ada ditubuh gadis itu.

"Mengapa tubuhmu kecil sekali? Jika aku menekan sedikit saja dengan tenagaku, aku yakin tulang-tulang mu pasti akan patah." Diftan sudah tidak memakai bahasa formal lagi.

"Tuan berniat ingin mematahkan tulang yang ada ditubuhku?"

"Ya, kalau kamu adalah musuhku."

Bella dengan susah payah menelan saliva karena mendengar ucapan Diftan. Bisa dia bayangkan bagaimana seorang Diftan jika sedang marah dan emosi. Sudah dua kali Bella melihat pria itu melakukan adegan kekerasan didepan mata nya, saat dihotel dan saat di kantor tadi.

"Terimakasih tuan."

"Untuk?"

"Tuan sudah menolong saya di kantor tadi."

"Aku tidak menolongmu."

"Tapi tadi tuan memukul pria tua itu."

"Memang."

"Itu artinya tuan menolong saya."

"Tidak. Aku memukulnya bukan karena ingin menolongmu."

"Jadi?" Tanya Bella bingung.

"Aku hanya tidak suka ada orang yg mengotori kantorku seperti itu."

"Oh...." Jawab Bella dengan pelan, entah mengapa jawaban dari Diftan membuat gadis itu sedih. "Tapi, saya tetap mengucapkan terimakasih tuan. Karena tuan sudah menghajar pria tua itu, walaupun bukan karena niat untuk menolong saya."

Diftan tidak menjawab, hanya terjadi keheningan didalam kamar itu. Lalu beberapa menit kemudian, Diftan bertanya pada gadis itu.

"Ara?"

"Tuan memanggil nama saya?" Bella menunduk untuk melihat wajah pria itu yg berada di bawah lehernya.

"Bukankah itu namamu?" Jawab Diftan sambil mendongakkan kepala nya keatas.

Mereka saling menatap beberapa detik, lalu gadis itu langsung mengembalikan arah wajahnya seperti semula. Dia tidak berani menatap Diftan dengan jarak sedekat itu, karena itu tidak baik untuk jantung nya yang sering berdebar tidak karuan.

"Iya itu memang nama saya, tapi biasanya orang memanggil Bella saja."

"Aku tidak suka, nama Bella terlalu panjang."

"Emm... baiklah terserah tuan saja." Jawab Bella.

Walaupun sebenarnya dia bingung dengan alasan Diftan itu. Hanya lima huruf, B-E-L-L-A. Tapi bagi Diftan itu sangat panjang, sungguh tidak masuk akal sebenarnya.

"Aku ingin bertanya padamu."

"Baik, akan saya jawab."

"Kamu mengenal Juan Benito?"

"Juan Benito?" Ulang Bella seperti beo.

Gadis itu sedang berfikir, sepertinya nama itu tidak asing untuknya. Diftan memperhatikan raut wajah Bella yg sedang berfikir.

"Oh pria yang tampan itu, iya saya kenal. Dia pernah menolong saya dengan membeli semua kartu yang saya jual. Dia sangat baik tuan, apa tuan mengenalnya?"

"Aku tidak menyuruhmu untuk bertanya."

Bella menutup mulutnya dan tidak berani bicara lagi.

"Aku tidak akan mentoleransi sedikitpun jika sampai aku tahu, kamu memiliki hubungan dengan nya. Kamu dengar itu?"

Bella mengangguk kan kepala nya, walaupun dia bingung dan tidak paham maksud ucapan Diftan.

****

Di pagi hari Diftan bersiap pergi ke kantornya, dia terlihat tampak segar. Mungkin sudah beberapa hari ini dia sudah bisa tertidur.

Sementara gadis itu masih tidur nyenyak diatas tempat tidur King size tersebut. Diftan memperhatikan cara tidur Bella yg unik. Kaki kanan terlentang, kaki kiri ditekuk, dan kedua tangan nya berada diatas kepalanya. Sementara bibirnya sedikit terbuka, pokoknya tidak ada manis-manisnya sedikitpun.

Pria bermata biru itu mendekati tempat tidur dan menurunkan kaos baju Bella kebawah, untuk menutupi kulit perut gadis itu yg tadi terbuka.

Lalu Diftan keluar dari kamar dan melihat ibunya Bella yang sedang berdiri didepan pintu kamarnya.

"Apa putriku tidur di dalam?"

"Hem...." Hanya gumaman yang diberikan pria itu sebagai jawaban.

Ibunya Bella melihat Diftan yang sudah berpakaian rapi, tetapi anak gadisnya belum keluar juga dari sana.

"Mengapa dia belum bangun?"

"Putrimu masih tertidur."

"Saya ingin masuk kedalam."

"Tidak ada yang boleh masuk tanpa seizinku!"

"Tapi, dia putriku!"

"Jangan berlebihan, dia tidak sedang dalam bahaya. Dia hanya tertidur di dalam!"

"Tolong jangan permainkan putriku, dia itu masih sangat lugu dan polos. Jika tuan memperlakukan nya seperti ini, saya takut dia menyalah artikan semuanya. Saya tahu, anda tidak menyukainya. Hanya anda kasihan padanya, dan pada akhirnya putriku yg akan terluka, dia yang akan tersakiti karena sudah berharap tinggi kepada anda."

"Bukan salah saya jika putrimu menyukaiku. Saya tidak bisa melarang orang untuk berhenti menyukaiku, karena itu hak mereka sendiri. Dan masalah dia akan tersakiti, bukankah itu hal yang wajar? Jika dia berani menyukai seseorang, maka dia juga harus berani untuk patah hati."

Diftan pun pergi meninggalkan ibu Bella, setelah mengucapkan kata-kata tersebut. Apa yang di katakan Diftan itu benar, dia tidak bisa melarang siapapun jika ada orang yang menyukainya.

Tapi masalah nya yang membuat Ibu Bella bingung adalah, mengapa dia tidak boleh masuk kedalam kamar, sementara putrinya bisa masuk dan tidur nyenyak disana.

Apakah putrinya itu spesial?

Ataukah sebenarnya Diftan juga memiliki sedikit perasaan terhadap Bella?

Entahlah, hanya pria bermata biru itulah yang tahu jawaban nya.

Tidak berapa lama Bella keluar dari kamar dengan wajah bantalnya. Tadi dia terbangun dan melihat tuan nya itu tidak ada lagi.

Bella melihat ibunya yang sedang duduk melamun di kursi.

"Ibu, tuan Diftan udah pergi ya?"

Ibunya hanya mengangguk.

"Kenapa melamun gitu bu?"

"Apa tidak sebaiknya kita pergi dari sini Bel?"

"Ibu tidak nyaman tinggal disini?"

"Bukan begitu, kita tidak mungkin terus menumpang dan jadi benalu disini. Tinggal disini dengan seorang pemuda yang masih lajang itu salah nak, apalagi kamu beberapa hari ini tidur dengan nya, ya walaupun kalian tidak melakukan apapun tapi itu tetap salah di mata Tuhan. Kalian tidak sedarah, kalian juga tidak suami istri. Maka nya kita harus keluar dari sini, sebelum semuanya terlambat. Sebelum perasaan kamu jauh lebih dalam lagi nanti."

"Semua yang ibu bilang itu benar, tapi kita mau tinggal dimana bu? Kita bahkan tidak punya uang."

"Ibu masih punya mas, kita bisa menjualnya."

"Ibu, kita gak bisa pergi gitu aja. Paling tidak Bella harus udah kerja dulu. Uang hasil penjualan emas tidak akan bisa menutupi kebutuhan kita sehari-hari, itu hanya cukup untuk bayar sewa rumah saja."

Bella menarik nafasnya sebentar, lalu berkata. "Yaudah, hari ini Bella cari kerja dulu. Kalau Bella udah dapat, kita bisa langsung pergi dari sini."

Ibu Bella pun langsung memeluk putrinya itu. Ibunya berharap suatu hari nanti Bella bisa bahagia dengan pria yang bisa mencintai segala kekurangan Bella, dan bisa terus menjaga putrinya itu.

Beberapa jam kemudian Bella keluar dari apartement itu untuk mencari kerja. Tadi dia mencari kartu nama yang pernah diberikan oleh pria yang bernama Juan Benito, namun dia tidak menemukan nya. Padahal dia berniat ingin meminta kerjaan dari pria tersebut.

Sementara itu, di lain tempat Diftan sedang sibuk membaca berkas-berkas yang ada didepan nya dengan sangat teliti. Pria ini selalu fokus dan tidak pernah bermain-main dalam menangani pekerjaan.

TOK...TOK...TOK!!!

Pintu kerja Diftan terbuka setelah diketuk.

"Bos, ada Reza diluar." Ucap perempuan itu.

"Suruh masuk."

"Baik."

Tidak berapa lama, Reza pun masuk.

"Apa sudah dapat informasinya?"

Reza menganggukkan kepalanya dan berkata. "Apa bos ingat pria tua yg kita bunuh karena berhianat dikelompok kita waktu itu?"

"Maksudmu pria yang nenjadi mata-mata dari Juan Benito?"

"Iya bos, pria itu adalah ayah dari gadis itu."

"Jadi gadis itu juga mata-mata dari Juan?" Tanya Diftan

"Sepertinya tidak bos, karena gadis itu sendiri tidak tahu kalau ayahnya sudah mati ditangan kita."

Diftan menghusap wajah dengan kedua tangan nya. "Aku yakin Juan pasti tahu kalau gadis itu adalah anak dari pria yang sudah kita bunuh. Dan aku yakin, selama ini dia sudah memantau gadis itu."

"Saya rasa juga begitu bos, Juan pasti berfikir kalo bos akan melenyapkan gadis itu juga."

"Baiklah, kau boleh pergi. Aku sudah mentransfer uang untuk kalian bulan ini, beritahu pada yang lain."

"Baik bos, terimakasih." Lalu Reza pun berbalik hendak pergi.

"Reza." Panggil Diftan.

Pria itu menoleh. "Iya bos?"

"Bagaimana kondisi ibumu?" Tanya Diftan dengan canggung.

Reza terkejut mendengar bos nya itu menanyakan kabar ibunya.

"Ibu saya sudah membaik bos."

"Yasudah pergilah." Ujar Diftan lagi.

Reza tersenyum sendiri melihat tingkah bos nya itu. Lalu dia pun menutup pintu itu dan pergi dari ruangan kerja Diftan.

Malam hari nya Diftan pulang ke apartement penthouse nya. Saat masuk kedalam dilihat nya Bella sudah tertidur di kursi dengan TV menyala.

Diftan sudah memutuskan sesuatu dan dia harus berbicara dengan gadis itu.

"Hei, bangun." Diftan menggoyang bahu Bella.

Gadis itu membuka mata nya dan langsung bangun saat melihat Diftan berdiri didepan nya.

"Tuan ingin makan? Kami tadi menunggu tuan untuk makan malam."

"Saya tidak ingin makan. Saya hanya ingin kamu dan ibumu pergi dari apartement ini."

"Hah?" Gadis itu terkejut mendengar ucapan Diftan.

"Kamu tidak dengar? Saya ingin kalian keluar dari sini. Saya sudah berbaik hati memberikan tumpangan selama 3 hari, jadi sekarang pergilah."

"Ta-tapi tuan ini sudah larut malam, dan saya belum menemukan tempat tinggal."

"Saya tidak peduli. Saya sudah memberimu uang jadi pakailah uang itu."

Bella langsung berlutut di kaki pria itu. "Saya mohon tuan, beri waktu beberapa hari lagi. Tadi saya sudah mencoba melamar tapi belum diterima. Tolong beri kami waktu beberapa hari lagi."

"Dengar gadis kecil, ini apartement bukan tempat penampungan untuk orang seperti kalian!" Ucap Diftan dengan kasar.

Bella tertegun mendengar perkataan pria itu. Kata-kata yang terlalu menyakitkan. Gadis itu pun berdiri dari posisi nya dan melihat wajah Diftan. Dia bingung mengapa Diftan berubah menjadi sangat kasar seperti waktu pertama kali bertemu.

"Apa maksud tuan dari perkataan 'orang seperti kalian' bisa tuan jelaskan?" Tanya Bella dengan mata yg sudah memerah karena menahan air mata nya.

"Kamu ingin mendengarnya? Baiklah, maksud saya adalah orang miskin yg sangat menjijikkan. Sudah dengar?"

Kata-kata itu terlalu menyakitkan.

Kata-kata itu terlalu menghina.

Adakah kata yang lebih buruk dari kata miskin?

Gadis itu ingin menangis, tapi ditahan nya. Dia tidak mau terlihat menyedihkan didepan pria itu.

Tangan Bella meremas ujung baju bawahnya untuk menahan emosinya. Dia mengarahkan mata nya keatas, berharap bisa mengurangi genangan air yang ada dipelupuk matanya itu. Dia yakin jika sekali berkedip saja, pasti air mata itu akan menetes.

"Ba-baiklah, kami akan pergi dari sini." Ujarnya dengan suara sedikit serak.

Dia pun langsung berbalik dan pergi menuju kamarnya.

Setibanya dikamar, akhirnya air mata itupun tumpah. Dia menangis sambil menggigit tangan nya agar suara tangisnya tidak terdengar.

Lalu dihapusnya kedua air matanya dengan ujung kaos bajunya. Kemudian dia membangunkan ibunya yg sudah tertidur.

"Bu... ibu bangun."

Ibunya pun terbangun mendengar suara serak dari putrinya.

"Ada apa nak?"

"Kita harus pergi dari sini." Ucap Bella sambil mengemasi barang-barang mereka yg tidak begitu banyak.

"Tapi ini kan masih malam Bel, bukan nya kamu bilang kita bakalan pergi kalo kamu udah kerja? Kamu kan belum dapat kerja," Kata ibu nya bingung.

"Kita udah diusir bu. Dia bilang orang seperti kita ini tidak pantas ada disini," Ujar Bella sambil menghapus air mata nya yangg terus menerus menetes.

"Dia bilang ini adalah apartement, bukan tempat penampungan orang miskin. Mengapa ucapan itu terdengar sangat menyakitkan bu? Rasanya lebih sakit dari sekedar tamparan."

Ibunya memeluk tubuh putrinya dan mengelus punggung nya.

"Mengapa kamu menangis Bel? Bukan nya kita sudah biasa mendengar kata-kata menyakitkan seperti itu? Sekarang lihat ibu." Tangan ibunya menangkap wajah Bella dengan kedua tangan nya.

"Ibu tahu kamu menangis bukan karena ucapan itu, tapi karena Diftan yg mengucapkan kalimat itu. Iya kan?"

Bella menarik tangan kanan ibunya itu menuju kearah atas dada nya. "Disini sangat sakit bu, rasanya seperti tertusuk-tusuk pisau yg tajam."

Ibunya menangis mendengar ucapan dari anaknya itu. Baru kali ini dia melihat Bella menyukai seorang pria. Tapi pria yg disukainya malah menyakiti putrinya itu.

"Sudah, jangan nangis lagi. Kita harus pergi kan? Jadi ayo sebelum terlalu malam dan sepi nanti dijalan." Kata ibunya.

Setelah selesai berkemas, mereka berdua pun keluar dari kamar. Bella melihat tidak ada Diftan diruang tamu itu. Lalu dia mengetuk pintu kamar Diftan sambil berkata. "Terimakasih sudah memberi tumpangan pada orang seperti kami disini. Emm... kami pergi tuan Diftan."

Setelah mengucapkan kalimat itu, mereka pun pergi meninggalkan apartement penthouse nya Diftan.

9-Juli-2016

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top