Sang Gadis Angin
Jumlah kata : 1.499
Hai semuanya! Aku ingin tahu kabarmu. Apa kalian baik-baik saja? Kuharap demikian.
Lalu silahkan menikmati kisah yang akan kubacakan.
-----------------------------------------------------------
Apa yang membuatmu marah dan kesal? Kalau aku karena berat badanku. Bukan karena kelebihan, tapi justru kekurangan.
Namaku adalah An. Kakekku memberikan nama itu karena dia suka angin. Ya benar, namaku artinya angin. Bukankah itu aneh?
Karena nama ini juga aku suka kesal. Dan ini berhubungan dengan berat badanku.
Pagi itu hujan turun dengan angin yang liar. Sial sekali.
“An jangan lupakan payungmu!” Ibu berlari mengejarku yang sudah di depan rumah hanya untuk menyerahkan payung.
“Ibu … sudah kubilang kalau aku tidak ingin menggunakannya.”
“Tapi nanti kamu kebasahan sampai sekolah.”
“Tapi aku sudah menggunakan jas hujan. Jadi tenang saja.”
“An ….”
Ugh, wajah penuh harap itu. Aku tidak bisa menolakkya.
“Hah! Oke oke!”
Dengan agak kasar aku mengambil payung putih itu dan membukanya. Aku harus cepat-cepat pergi dari hadapan ibu.
Setelah berlari dan masuk kesebuah tikungan aku berhenti. Memastikan ibu tidak mengikutiku. Kadang dia suka melakukan hal yang tidak perlu.
“Sepertinya aman.”
Belum sempat aku menutup payung, segerombolan teman-temanku muncul. hal yang paling aku hindari malah muncul.
“hei lihat! Itu An dan payungnya!” seseorang berteriak.
“Ah … kau benar.”
“Apa dia mau terbang?”
Mendengar itu yang lainnya tertawa. Membuatku kesal saja.
“Ow ayolah An. Jangan pasang wajah seram begitu.” Laguna, teman dekatku ikutan muncul. “Kau hanya tinggal botakin kepalamu dan gambar panah. Maka kau akan jadi pengendali angin sejati.”
Semakin keraslah tawa semua orang.
“Ah, dasar si brengsek ini.” Aku mencipratkan air genangan ke wajah bodonya. “Kau sendiri, tinggal warnai rambutmu menjadi biru dan jadilah Laguna si pengendali air.”
“Ha ha ha. Kau ini.” Dia menepuk bahuku sambil tertawa.
Memang kami saling menghina. Tapi itulah bukti pertemanan kami yang kuat. Intinya ‘semakin akrab, semakin kasar ucapannya’.
Dalam tawa kami semua, tiba-tiba angin kencang menerpa. Aku yang kurus dan memegang payung yang terbuka langsung terhempas ke langit. Terbang terbawa payung.
“An!” teriak teman-temanku di bawah sana. Wajah mereka khawatir sekali.
Berbeda denganku yang sudah pucat. Ah semoga aku tidak mendarat di tempat yang berbahaya, lagi.
Angin kencang membawaku ke halaman belakang sekolah. Banyak pohon apel tumbuh di sana. Anak-anak suka mengambilnya jika sudah masuk musim panen. Dan tampaknya aku akan mendarat di salah satu pohon.
“Waaa!” teriakku kala aku tersangkut di sebuah batang pohon. Aku tergantung.
Bagaimana caranya aku turun dari atas sini?
“Adakah seseorang di sana?” sebuah suara lembut terdengar olehku.
Suara itu berasal dari seorang gadis berpayung biru. Dengan takut-takut dia mendekatiku.
“Hei tolong bantu aku untuk turun dari sini.”
“Tapi bagaimana?”
Pertanyaan bagus.
Aku berpikir sebentar di tengah hujan yang mulai mereda. Lalu terlihat olehku tangga kayu yang biasanya digunakan kepala sekolah untuk memetik apel.
“Hei kau, bawakan tangga itu.”
Dia masih tidak bergerak. Wajahnya berubah datar. “Mana kata ‘tolongnya’?”
Ah, merepotkan sekali gadis ini. “Hah … tolong, kumohon.”
Dengan senyum lebar dia mengambil tangga kayu itu dan membawanya kepadaku.
“Hati-hati turunnya, nanti jatuh.”
“Iya bawel-”
Perkataanya menjadi kenyataan. Aku terjatuh dan menimpa gadis itu karena terpeleset.
Dan lebih sialnya, posisiku menimpanya yang membuat wajah kami terlalu dekat.
“Kyaa!”
Sebuah tampara telak mendarat di pipiku. Setelah berteriak, gadis itu berlari meninggalkan aku dan payung birunya.
Pertemuan yang tidak elit sekali. Ah, aku lupa bilang terima kasih. Siapa namanya ya?
Pagi itu hujan telah reda seutuhnya, tapi langit masih mendung. Aku datang terlambat karena insiden pagi ini. Saat ditanya aku kenapa, aku hanya menjawab jika aku terbang.
“Bro, lain kali ajak aku terbang ya.” Laguna melucu saat guru belum datang.
“Ya, kuajak terbang tinggi lalu kujatuhkan ke tanah.”
“Njir, sakit. Kek cewek aja kau,” katanya sambil tertawa.
Kadang aku bingung dengan temanku ini, suka sekali buat candaan garing.
“Baiklah anak-anak. Tolong tenang, kita kedatangan anggota kelas baru. Dia akan bersama kita untuk sementara.” Bu guru masuk bersama seorang murid baru.
Dan tebak siapa dia. Yap, dia gadis tadi pagi.
“Oh bukankah itu anak yang menyangkut di pohon tadi pagi?” katanya dengan enteng.
Semua orang tertawa mendengarnya, terutama Laguna.
“Bwa ha ha. Jadi kau nyangkut ya? Seru sekali.”
Oh shit! Jika tidak ada guru, aku pasti akan menendang pantatnya.
“Sudah, jangan ribut. Nah sekarang perkenalkan dirimu.”
“Baiklah. Selamat pagi semuanya. Namaku Fuuka, yang artinya angin. Semoga kita bisa berteman baik kedepannya.”
Bertambah kuat tawa semua anak kelas.
“Arti namamu angin? Sama seperti nama An,” kata seorang anak sambil menunjukku.
“Wah, kebetulan yang sangat indah.” Bu guru ikut menimpali. Aku tidak tahu dia menghina atau apa, tapi itu membuatku kesal dan malu. “Fuuka kalau ada apa-apa, bertanyalah dengan An, ya?”
“Ya buk.”
Semenjak itu, munculah desas-desus kalau pasangan pengendali angin telah lahir di kelas VII-1 ini.
Aku selalu menghindari kontak dengannya, tapi Tuhan selalu mempertemukanku denganya. Saat tugas kelompok, saat ke kantin, saat pelajaran olahraga, aku selalu melihat mukanya.
Lama kelamaan, aku jatuh cinta dengan gadis angin itu.
Aku tidak paham kenapa perasaan ini muncul, tapi kusingkirkan pun tidak bisa. Jadi aku hanya bisa menerimanya apa adanya.
“Bro.” Laguna mengagetkanku saat makan siang. “Ngapain kau bengong sambil melihat Fuuka?”
“En-engak …”
Kuharap si pelawak ini tidak menyadarinya, pasti akan bahan ledekan jika dia tahu.
“Bro, kau suka Fuuka ya?”
Kusemburkan minumanku ke wajah Laguna saat dia berkata demikian.
“Ba-bagaimana kau tahu?!”
Aku memberinya tisu untuk mengelap wajahnya yang penuh dengan air. “Kau temanku, jadi tidak sulit mengetahuinya. Dan tenang saja bro, aku ngak akan mengejekmu atau membocorkannya.”
Walau dia kadang kampret, tapi Laguna tetap teman terbaikku.
“Jadi kau sudah mengungkapkan perasaanmu?”
Aku hanya menggeleng.
“Sebaiknya kau cepat, atau kau akan menyesal.”
Kata-kata Laguna terus tergiang di kepalaku hingga pulang sekolah. Bukannya aku tidak ingin mengungkapkannya, hanya saja aku tidak tahu bagaimana dan kapan untuk melakukannya.
Karena terlalu sibuk berpikir, tanpa sadar aku menabrak seseorang. Saat aku lihat ternyata itu adalah Fuuka. Dia menangis.
“Eh?! Fuuka ada apa? Apa kau terluka karena aku tabrak? Maafkan aku.”
Dia menggeleng. “Bu-bukan hanya saja …”
“Fuuka!” dari kejauhan terdengar suara perempuan memanggilnya. Aku rasa itu ibunya.
Fuuka menegang mendengarnya. Aku yang tidak bisa melihatnya seperti itu. Dan tanpa pesetujuan otakku, tanganku menariknya pergi.
“Ayo pergi.”
“Ta-tapi kemana?”
Angin lembut meniup kami saat kujawab, “Ke tempat angin membawa.”
Kami berdua berlari mengikuti suara angin. Kabur dari kejaran orang dewasa. Kabur dari kenyataan untuk sebentar itu tidak masalahkan?
Lama kami berlari, kaki kami membawa kami ke padang rumput terlupakan di ujung kota. Tempat sunyi dan arsi.
“Sejuknya…”
Aku hanya berguman mengiyakan kalimatnya.
Kami terduduk dibawah pohon pinus tua yang besar. Entah keberanian apa yang merasukiku, tanganku tidak pernah lepas menggenggam tangannya. Dan semakin lama genggaman itu semakin kuat.
“Hei, kenapa kau berlari?” tanyaku saat dia sudah tenang.
“Aku … aku tidak mau pergi.”
“Pergi?”
“Ya. Karena kesibukan orang tuaku, aku harus pindah. Tapi aku sudah sangat betah disini. Ada bu guru yang baik, eman-teman yang perhatian, Laguna yang lucu…” dia terdiam untuk sebentar dan melanjutkan dengan malu-malu. “Juga karena adanya dirimu, An.”
Aku tersentak kaget mendengarnya. “A-apa maksudnya?”
Dia tidak kunjung menjawab. Dengan perlahan dia berdiri. Aku mengikutinya.
“Lihat An.” Dia menunjuk cakrawala yang menguning. “Sunset!”
Benar saja, dari tempat kami berdiri matahari terbenam terlihat dengan jelas dan indah.
“Aku suka An.”
Perkataanya yang seperti guntur sore hari, membuatku syok sebentar.
“Eh?! Kau suka padaku?!”
Dia mengangguk.
Ah sial, kali ini aku tidak bisa menghindar lagi. Setelah menarik nafas aku memantapkan niat.
“Aku juga. Aku suka padamu, Fuuka.”
Air matanya kembali turun saat mendengar jawabanku. Tapi ini adalah tangis bahagia.
“Terima kasih An.” Dengan kecupan ringan di pipiku, dia berlari pulang. Meninggalkanku yang mematung.
Besoknya kutahu kalau dia telah pergi. Bu guru bilang ini sangat mendadak, tapi tidak bisa dihindari.
Kami semua kecewa dan sedih kehilangan teman baik hati kami. Terutama diriku, yang baru saja berhasil menyatakan cinta. Seharian aku murung.
Laguna menyerah menghiburku. Akhirnya dia memberikan aku waktu sendiri.
“An, bisa temui ibu sebentar?” Bu guru menyapaku saat aku hendak pulang.
“Ya bu …”
“Jangan murung terus An. Kamu itu anak yang lebih cocok ceria dan berkata agak kasar dibanding diam dan bersedih sendiri. Bahkan Laguna risau melihatmu.” Dengan lembut bu guru menghelus kepalaku.
Aku hanya menunduk. Tidak tahu harus menjawab apa.
“Ini.”
“Surat?”
“Ya. Sebelum pergi, Fuuka meminta ibu menyerahkan ini padamu.”
Semangatku langsung terangkat saat mencium aroma gadis yang kusuka di surat tersebut.
“Terima kasih bu guru.” Aku langsung berlari menuju padang rumput terlupakan.
Di sini aku membuka suratnya. Aku ingin merasakan sekali lagi momen bersamanya.
‘Hallo An. Maaf aku pergi tanpa mengucapkan salam perpisahan.
Aku bukan membencimu, aku hanya takut jika aku melihatmu aku akan menangis lagi. Jadi tolong maafkan aku.
Dan lagi, kenangan yang kubuat disini bersama kalian adalah kenangan terbaik yang pernah ada. Kuharap aku bisa bertemu kalian lagi.
Hei An, aku sangat senang bertemu denganmu waktu hujan pagi itu. Aku bahagia sekali.
Aku sudah bertemu dengan angin cintaku. Kuharap kau demikian.
Sampai jumpa lagi, pangeran angin.
Fuuka.’
Ya kuharap kita bisa bertemu lagi, anginku.
-----------------------------------------------------------
Dan berakhirlah kisah kedua remaja yang bernama angin itu.
Kau tahu, kisah ini agak berantakan. Aku harap kalian menikmatinya.
Sampai jumpa.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top