Ngapel
Jumlah kata : 1.331
Note, kisah ini pernah di pakai di even bulanan MontaseAksara
Halo lagi kalian. Apa kabar kalian kali ini?
Sudah bahagiakah kalian kali ini? Sudah tertawakah kalian hari ini?
Tertawa merupakan salah satu bentuk ekspresi bahwa kalian bahagia. Dan cara untuk tertawa adalah dengan membaca cerita komedi.
Oleh karena itu aku akan menceritakan sebuah kisah komedi. Tapi aku tidak bisa memastikan kalian akan tertawa atau tidak. Karena kadar kelucuan sebuah cerita berbeda pada setiap orang.
-----------------------------------------------------------
malam minggu. Siapa yang tidak mengetahui malam keramat bagi para jomblo ini? Malam di mana para jomblo mulai melantunkan doa semoga turun hujan es sekaligus kulkasnya agar para pasangan kekasih tidak jadi pacaran atau pun mengapel di rumah pacarnya.
Lupakan nasib para jomblo ngenes itu dulu, kini kita akan menyorot kisah tiga pemuda tangguh yang akan melayat-eh menjumpai calon mertua mereka di malam minggu yang damai ini.
Sebut saja yang pertama Samatoki, si preman kampus yang entah kenapa emaknya memberi namanya seperti nama artis jepang dan dia merupakan holkay yang berhati hello kitty.
Lalu ada Juanda. Si polisi berkacamata yang suka menyelesaikan masalahnya dengan cara-cara kotor. Kerabat dekat komisaris polisi. Yang memudahkannya masuk polisi walau usianya masih sangat muda, dua puluh tahun. Juga jangan tertipu dengan wajah tampannya, dia itu bejad.
Terakhir dari kawanan itu ada Rio. Anak tentara yang juga sedang masuk sekolah militer. Mungkin hanya Rio yang paling waras dari kawanan ini. Tapi kau akan berubah pikiran jika melihat makanan yang dibuatnya.
Mereka yang merupakan trio gang MTC ini sedang dalam perjalanan menuju sebuah rumah. Di mana kekasih hati mereka sedang menanti dengan cemas. Ke kediaman Yudesha bersaudari.
Entah karana kebetulan atau memang takdir ingin membuat mereka selalu bersama, pacar mereka adalah kakak beradik yang merupakan adik tingkat di kampus Samatoki.
“Yosh! Kita telah sampai pada medan perang.” Juanda memulai pidatonya sebelum mereka menekan bel di depan gerbang rumah Yudesha.
“Perang? Kapan? Bukankah kita mau menjumpai orang tua Yudesha bersaudari?” Rio dengan polosnya bertanya. Kadang Juanda lupa kalau dia itu anak polos yang hanya tahu tentang sulvival life.
“Bukan bego!” Mamat-panggilan akrab Samatoki-sambil memukul kepala Rio. “Itu cuma kiasan.”
“Maaf.”
“Sudah, pokoknya kita sekarang berdoa dalam hati agar kita selamat dan bisa bisa mengambil hati orang tua Yudesha bersaudari.” Juanda berkata sambil menangkup tangannya, bersiap berdoa.
“Bukannya mereka akan mati jika kita mengambil hati mereka ?”
“Bangsat!” Samatoki sudah bersiap meninju Rio kalau bukan Juanda menahannya.
“Sabar Mat, sabar.”
“Emang saya berkata salah?” Rio masih memasang wajah polosnya. Membuat Samatoki sungguhan akan menghajarnya.
Tapi Dewi Fortuna membantu Juanda yang kesusahan menahan kuda ngamuk ini. Sebuah suara menginterupsi kegiatan absurd mereka.
“Oi kalau mau ngamen jangan depan rumah orang. Tuh di perempatan sana aja.”
“Siapa yang ngamen, bangs-” Kata-kata Samatoki tertahan di tenggoroka melihat sosok yang tadi mengatai mereka pengamen.
“Apa? Mau bilang bangsat’kan? Ayo bilang! Biar kita putus aja sekalian.” Kata seorang gadis bersurai hitam panjang di depan gerbang rumah Yudesha.
“Cih brengsek-” mulut Samatoki di bekap oleh Juanda sebelum terjadi pertengkaran yang menyebabkan kegagalan rencana ngapelan pertama mereka.
“Ha ha ha ha.” Juanda tertawa canggung. “Maafkan perlakuan Mamat ya, dek Icha. Dia memang begini kalau lagi gugup”
Samatoki yang dibekap tidak terima dikatakan demikian. Dia terus memberontak. Untung Juanda sudah biasa menahan Mamat. Kalau tidak, mungkin dia akan sulit menahan Samatoki yang keras kepala ini.
‘Diamlah, bro. Kau mau acara ngapelan kita gagal karena membuat Icha marah?’ bisik Juanda. ‘Nanti lu sendiri yang nyesal.’
Mendengar itu Samatoki diam, menurut.
“Nah dek Icha, bolehkan kami masuk?” Juanda tersenyum bisnis layaknya sales yang gencar memasarkan barang daganganya.
“Hum, masuklah.”
Ketiga pria itu bersorak tertahan dalam hati mendengar itu. Mereka mengikuti Icha ke dalam rumah. Ternyata di ruang keluarga, sudah lengkap duduk keluarga Yudesha. Menanti ketiga pria itu yang mulai ciut nyalinya.
Di tengah sofa utama yang terlihat empuk itu telah duduk seorang pria paruh baya berkaca mata hitam yang digunakan untuk menutupi bekas luka di mata kirinya. Dialah Reyan Yudesha, ayah dari Yudesha bersaudara dan juga calon mertua mereka.
Di sebelah kiri pak Reyan, duduk dengan anggun seorang wanita paruh baya namnya Julastri. Ibu mertua mereka ( calon! ). Bodynya yang goal membuat Juanda tidak fokus. Tapi lemparan kacang goreng dari pacarnya membuatnya segera sadar.
Di sebelah Bu Julasrti duduklah putri kedua Yudesha, Jirania. Gadis yang sudah memikat hati Juanda dengan sikap tomboinya. Jirania adalah mahasiswi fakultas perguruan olahraga yang sangat enerjik.
Di sebelah kanan pak Reyan duduk si kecil Yudesha. Namanya Sabrina. Merupakan mahasiswi cerdas fakultas kedokteran tingkat empat. Kecerdasanya bahkan membuat professor luar negeri bersujud untuk memintanya bergabung dengan mereka. Tapi bagaimanapun dia hanya gadis berusia delapan belasa tahun yang suka malu-malu kucing. Pacar kecil Rio.
Dan terakhir anak sulung Yudesha, yang baru datang sambil membawa minuman untuk tamu mereka. Icha. Gadis terampil yang bisa melakukan apa saja, bahkan berkelahi dengan laki-laki. Dan karena sikap ‘badas’-nya itulah membuat Samatoki jatuh cinta padanya. Dia duduk di sebelah Sabrina.
‘Njir, kek harem!’ teriak batin Samatoki dan Juanda yang melihat dengan iri kepala keluarga Yudesha yang duduk di kelilingi para perempuan.
“Jadi apa lagi?” Suara bariton pak Reyan mengagetkan ketiga pria tersebut. “Kenapa tidak duduk?”
Dengan tergesa mereka duduk ke sofa yang di tunjuk pak Reyan. Samatoki di depan Icha, Juanda di depan Jirania, dan Rio di tengah mereka, langsung di depan pak Reyan. Tapi berkat pelatihan militer oleh ayahnya, Rio sama sekali tidak takut atau pun tegang.
“Selamat malan Pak. Nama saya Juanda, ini Rio dan yang itu Samatoki.” Juanda memulai pembicaraan karena dia yang paling bisa bernegoisasi. “ Sebelum itu, terimalah buah tangan dari kami.” Juanda, Samatoki dan juga Rio meletakkan bawaan mereka di atas meja.
Juanda membawa martabak manis super spesial, makanan wajib saat ngapelan. Tapi sayang, ditolak calon mertua.
“Maaf nak Juanda. Bapak sedang mengurangi memakan makanan manis.” Mendengar itu membuat Juanda memundurkan kotak martabaknya. Sedangkan Jirania menepuk jidatnya karena lupa memberi tahu Juanda akan hal ini.
Selanjutnya Samatoki. Ia membawa makan mewah berupa pizza spesial sebanyak empat kotak. Tapi ditolak lagi oleh pak Reyan.
“ Maaf nak Samatoki. Bapak alergi makanan budaya luar negeri.” Membuat Samatoki hampir melempar kotak beserta pizzanya ke muka calon mertuanya, jika saja tidak di pelototi Icha dari seberang meja dan ditahan Juanda.
Terakhir Rio meletakkan sebuah kotak makanan bewarna navy green di depan pak Reyan. Membuat bapak berusia 49 tahun itu penasaran.
“Apa ini Nak Rio?”
“Maaf Pak, saya sebenarnya tidak tahu apa yang harus saya bawa.” Rio menundukkan kepalanya sopan. “Saya tidak seperti Juanda yang pengertian, atau pun seperti Samatoki yang kaya, saya cuman pria biasa yang ingin membuat Sabrina
bahagia.”
Kata-kata Rio yang-tanpa dia sadari-romantis membuat semua orang di ruangan itu tersentuh. Wajah Sabrina sudah semerah tomat. Malu karena kata-kata Rio dan bahagia karena niat tulus sang kekasih.
“Oleh karena itu saya cuman bisa membuat masakan sederhana.”
Mendengar itu, Samatoki, Juanda dan Sabrina serentak menatap horor kotak makan tersebut. Seolah ada aura mematikan yang mengguar dari dalamnya. Tidak jadi simpati.
“Wah baik sekali kamu nak.” Pak Reyan menerima pemberian Rio dengan senang hati. Tanpa ditunda dia membuka kotak makan tersebut. Sang istri pun ikut penasaran.
“Rendang!” kata Bu Julastri semangat.
Wajah pak Reyan mencerah. “Bagaimana kamu tahu saya suka rendang?” Pak Reyan langsung mencicipi masakan tersebut. “Enak!”
“Syukurlah jika anda suka Pak.” Rio tersenyum bahagia.
Samatoki dan Juanda iri sekaligus ngeri. Mereka berdoa untuk keselamatan calon mertua mereka.
“Kamu masak sendiri? Ini enak sekali loh. Rasanya sangat berbeda dari rendang yang sering saya makan. Daging apa yang kamu pakai?”
Samatoki berdoa semakin banyak, Juanda segera memanggil ambulans, sedangkan Sabrina berharap semoga ayahnya tidak mati.
“Saya hanya memakai daging TOKEK untuk membuat rendang tersebut.”
Dan setelahnya seperti yang telah diduga. Pak Reyan pingsan dengan mulut berbuih. Istrinya syok. Icha segera menahan Samatoki sebelum mengamuk. Jirania membantu Sabrina mengambil alat CPR-nya. Juanda membantu petugas ambulan yang datang dengan sangat cepat untuk mengangkut pak Reyan.
Sedangkan Rio hanya kebingungan. “Saya salah ya?”
-----------------------------------------------------------
Dan begitulah, kisah ini berakhir.
Apakah kalian terhibur? Aku sangat senang jika iya.
Dan pesan yang dapat kita petik dari kisah ini adalah, jangan memberi calon mertuamu dengan sesuatu yang berbahaya seperti itu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top