Lover
Jumlah kata : 1.772
Halo, kita berjumpa lagi.
Apa kabar kalian kali ini? Bahagiakah? Sedihkah? Atau keduanya?
Apa pun itu, teruslah hidup dan berjuang. Karena kau tidak sendirian mengalaminya.
Seperti kisah ini, apakah kau yakin kau tidak sendirian?
-----------------------------------------------------------
Aku hanyalah seorang pelajar menegah atas yang akan segera lulus. Tapi hidup membuat semuanya terasa sulit. Apakah hidup sangat membenciku?
Namaku Cael. Berumur delapan belas tahun dan sedang berusaha keras dalam pendidikan.
Orang bilang, kalau masa-masa inilah yang akan menentukan arah hidup. Oleh karena itu aku akan berjuang semaksimal mungkin agar bisa mencapai kata sempurna.
Tapi aku hanya manusia. Tidak ada yang sempurna dari manusia, begitu pula diriku.
Demi mendapatkan nilai yang bagus, aku belajar mati-matian. Dengan artian yang sebenarnya.
Karena terlalu memaksakan diri, aku masuk rumah sakit selama dua minggu. Dan aku harus menunda rencana belajarku karenanya.
Tadi kupikir aku akan stres di sana, tapi aku malah menemukan sesuatu yang tak pernah kurasakan selam ini. Aku menemukan cinta. Seorang gadis yang menjadi cinta pertamaku.
Namanya Luna. Setahun lebih tua dibanding diriku. Rambut cokelatnya dan kulit pucatnya membuatku terpesona. Belum lagi hati yang baik dan penyayang.
Kami berkenalan karena ruangan kami bersebelahan. Dia banyak membantuku, mendengar setiap kisahku, menasehatiku, dan menyemangatiku. Dalam waktu singkat kami menjadi dekat.
Dia berkata kalau dia masuk rumah sakit karena kecelakaan yang menimpanya setahun lalu. Tapi dia tidak pernah berputus asa. Dia percaya bahwa keajaiban itu ada. Apa lagi ada kakaknya yang selalu menjenguk. Dia ingin sehat agar bisa tinggal bersama kakaknya lagi. Dia adalah orang yang optimis.
Tentu saja aku terus mendukungnya.
Tapi ada pertemuan ada perpisahan. Itulah takdir manusia yang tak bisa dihindari. Hari aku keluar dari rumah sakit telah tiba.
Dengan berat aku mengucapkan perpisahan padanya.
“Luna, aku sudah diizinkan keluar.”
“Waaah. Selamat Cael!” riangnya. “Kalau kau ada waktu, seringlah menjengukku. Aku pasti kesepian karena tidak adanya dirimu.”
“Pasti! Aku pasti akan datang!”
“Terima kasih mau mengabulkan permohonanku yang egois ini.”
Melihat senyumnya, aku sudah tidak bisa menahan perasaanku lagi. Dengan lantang aku berterus terang padanya.
“Luna, aku suka padamu!”
Dia tampak terkejut dengan pernyataanku. Tapi aku tidak boleh lari. Lebih tepatnya tidak bisa lari, kakiku gemetaran.
“Jujur, sejak pertama bertemu aku juga menyukaimu,” katanya lembut.
Mendengar itu darinya, bukan main senangnya diriku. Tanpa sadar aku memeluknya. Dia menangis bahagia di pelukanku.
Hari itu resmi kami berpacaran.
Sebagai pacar yang baik, aku selalu datang menjenguknya dengan bunga daffodil kesukaanya. Dan dia selalu menyambutku dengan hangat.
Suatu hari kala hujan melanda, aku datang menjenguknya seperti biasa. Tapi wajahnya sangat murung, seperti langit.
“Maaf Luna, aku terlambat. Susah mencari taksi karena hujan apalagi didekat perpustakaan.”
“Kamu dari perpustakaan? Habis belajar?”
“Iya.”
“Bagitu ya,” katanya sendu.
“Ada apa? Cerita aja sama aku.”
Dia diam. Enggan menceritakannya. Membuatku semakin risau.
“Kumohon Luna, jika ada yang membuatmu menjadi sedih katakanlah padaku.”
“Cael,” dia akhirnya berbicara setelah lama berdiam. “Sebaiknya kita sudahi saja hubungan ini.”
Bagai petir menyambar, kalimatnya membuatku terkaget.
“Ta-tapi kenapa?”
“Ak-aku.” Luna tergagap. Air matanya mengalir.
“Luna?”
Tangisnya pecah. Dia memelukku dengan kencang. “Aku minta maaf. Aku tidak ingin menjadi penghalang masa depanmu. Tapi aku tidak ingin meninggalkanmu.”
“Apa maksudnya?”
“Ibumu datang. Dia bilang karena aku, kau jadi membuang waktu belajarmu. Aku tidak ingin menjadi seperti itu.”
Dengan lembut aku menghelus kepalanya. “Jangan khawatir. Aku mencintaimu, dan akan tetap seperti itu. Aku tidak pernah menganggapmu sebagai suatu penghalang.”
“Sungguh?”
Aku mengangguk.
“Cael tidak akan meninggalkanku apapun yang terjadi, kan?”
Sekali lagi aku mengangguk.
“Berjanjilah.”
Aku menautkan kelingkingku ke jari kelingkingnya. Dan juga bersumpah di hatiku bahwa aku tidak akan pernah meninggalkannya.
“Terima kasih Cael, karena mau mengabulkan permintaan terakhirku.”
Lalu lusanya aku tidak bisa bertemu Luna lagi di rumah sakit.
Dokter berkata kalau Luna sudah tidak dirawat di rumah sakit ini lagi. Dan tidak ada lagi informasi yang dapat aku peroleh. Seolah mereka menyembunyikan sesuatu dariku.
Begitu pula dengan keluargaku. Mereka tidak ingin berbicara mengenai hilangnya Luna. Mereka tidak pernah peduli. Tidak, seolah mereka mencoba untuk tidak peduli.
Aku berniat mencari kakak laki-laki Luna. Aku pernah bertemu dengannya sekali dan aku mengingat dengan jelas wajah dan perusahaan dia bekerja. Tapi saat aku pergi mencarinya di tempat kerjanya, mereka bilang kalau dia telah lama dipecat.
Buntu. Aku tidak dapat mencari informasi tentang Luna maupun kakaknya. Seperti mereka hilang ditelan bumi.
Beberapa bulan sejak Luna menghilang. Hidupku kembali kelam.
"Luna,” kataku di pinggir danau. Aku berniat bunuh diri. “Maafkan aku. Aku sudah tidak sanggup lagi.”
Aku sudah mencapai batas.
Aku sudah siap menerjunkan diriku ke danau, namun sebuah pelukan hangat menghentikanku.
Dia Luna.
“Luna! Dari mana saja kamu?”
“Cael,” dia menyebut namamku setelah sekian lama. Sungguh menenangkan. “Tolong jangan bertindak ceroboh.”
“Tapi Luna, aku-”
Luna meletakkan jari telunjuknya di bibirku. “Cael adalah orang yang kuat. Aku percaya itu.”
Dia menangkup kedua pipiku yang tirus. Aku menjadi semakin kurus Karena kurang makan.
“Dengar Cael, aku akan selalu ada di sini,” katanya sambil menunjuk dadaku. “Aku tidak pernah meninggalkanmu.”
“Iya, begitu pula aku.” Lalu aku menangis di pelukannya.
Seperti katanya, dia tidak pernah menghilang lagi. Dia selalu ada untukku. Setelah aku pulang sekolah atau les, dia akan menjemputku. Atau saat aku hendak keluar rumah membeli sesuatu, Luna pasti akan menemaniku. Berkat itu kehidupanku mulai membaik. Aku semakin fokus dalam belajar. Ujian akhir sekolah dan tes masuk universitaas kulewati dengan mudah. Apakah ini kekuatan cinta?
Tapi ada sesuatu yang membuatku heran. Kenapa dia tidak mau kuajak ke rumah? Atau dia tidak pernah mau menjawab saat aku bertanya ‘dimana kamu tinggal sekarang? Sama siapa?’ atau ‘bagaimana kabar kakakmu?’
Aneh.
Di suatu malam, saat makan malam di rumah, ibu bertanya padaku. “Cael, ibu lihat kau semakin semangat. Apa yang terjadi?”
“Benar, wajahmu semakin bersinar. Apa kau punya pacar baru?” Kakakku ikut menggodaku.
“Apaan sih? Mana mungkin aku punya pacar baru.”
“Jadi apa yang membuatmu bangkit dari kesedihan?” Tanya ayah.
“Aku tidak punya pacar baru. Dan yang membuatku bangkit dari kesedihan adalah Luna. Dia sudah kembali.”
Hening. Mereka menatapku dengan pandangan aneh.
“Oi oi. Apa maksudmu?” kata kakak.
“Kan sudah kubilang kalau Luna kembali. Kau kenapa sih?”
“Nak…” Aku mendengar ibu menangis.
Apa yang salah? Kenapa ibu menangis? Kenapa kakak menatapku dengan pendangan horror?
“A-ada apa ini? Kenapa kalian menjadi heboh?”
“Cael,” ujar ayah sambil menatapku dengan wajah sendu. “Lupakanlah Luna. Relakan dia.”
Dengan kasar aku mengebrak meja. “Kalian kenapa sih? Bukankah kalian yang bertanya padaku? Kenapa kalian sekarang seperti melihat hantu? Jelaskan padaku!”
Mereka saling pandang. Lalu kakak menjawab peratnyaanku.
“Cael, Luna sudah lama mati.”
“Ha? Kau bercanda kan?” kataku dengan cengiran. Kulihat wajah kakakku untuk memastikan dia berbohong, tapi tidak ada kebohongan di matanya.
“Cael, sadarlah dan terima kenyataan,” katanya dengan wajah serius. Ibuku masih menangis, dan ayah menenangkannya.
“Ha ha ha. Kau selalu saja bercan-”
Sebelum aku selesai berbicara, tinju kakak menghantam wajahku. Dengan kasar dia mencengkram kerah bajuku.
“Dengar Cael!” bentaknya. “Luna sudah mati tertabrak truk bersama kakaknya. Dan kau melihatnya dengan mata kepalamu sendiri! Haruskan aku menyeretmu ke makamnya?!”
Aku membatu mendengar penjelasanya.
“Ka-kapan itu?” gagapku sambil berharap semua ini hanya candaan yang di buat semua keluargaku.
Dengan berat kakakku menjawab, “beberapa bulan lalu. Satu hari setelah ibu datang dan memarahi Luna.”
Aku ingat. Itu adalah satu hari saat aku berjanji akan selalu bersama Luna. Tapi besoknya, saat aku hendak menjenguknya, kakaknya melarikan diri menggendong Luna sambil berteriak kalau dia sudah tidak punya apa-apa lagi dan dia akan menjual Luna untuk melunasi hutangnya. Aku mencoba menghentikan mereka, tapi karena itulah kakaknya lari ke jalan dengan gegabah dan tertabrak truk.
Semua ingatan itu memaksa masuk ke kepalaku. Seluruh tragedi yang otakku tidak bisa menerimanya. Kepalaku kesakitan.
“Saat itu juga Luna mati. Dokter berusah menyelamatkannya dan kakaknya, tapi mustahil. Kau yang melihat tubuhnya berlumur darah langsung pingsan. Dan saat kau sadar, kejadian akan kematian Luna hilang di kepalamu. Seolah memang tidak ada kejadian itu,” jelas ibu. Entah sejak kapan dia selesai menangis. “Saat semua orang mengingatkanmu, kau akan menyangkalnya dan kau akan kesakitan seolah ada yang akan memukul kepalamu lalu kau pingsan.”
“Karena kami tidak ingin kau menjadi menderita, kami merahasiakannya hingga bisa menemukan waktu yang pas.” Ayah ikut menjelaskan.
“Benar, apa lagi kau harus belajar, maka-”
“Belajar, belajar, belajar terus! Aku bukan mesin belajar, Bu!” Sekali lagi aku membentak. Aku menangis. “Jangan bilang kalau selama ini aku hanya berhayal soal Luna yang selalu menemaiku. ”
“Maaf Cael, itulah kenyataanya.”
“Brengsek!” Dengan kasar aku menampik tangan kakakku dan berlari keluar rumah.
Aku berlari tanpa arah. Setelah kakiku lelah aku berhenti. Dan tanpa diduga aku berhenti di danau tempaku bertemu dengan Luna.
“Luna!” Aku berteriak frustasi di tepi danau. Karena malam, suaraku terdengar sangat jelas. “Aku, aku ….”
Suaraku tersendat di kerongkongan. Tampaknya aku akan menghabiskan malam di sini dengan menangis. Betapa memalukannya.
“Cael.” Samar tapi pasti, aku mendengar suara Luna memanggilku.
Langsung kuhapus air mataku, dan celingukan kesana kemari mencarinya. Lalu kulihat dia tengah berdiri dengan wajah yang mendung, sama seperti waktu itu.
“Cael … jangan menangis lagi,” rintihnya.
“Lu-Luna, kumohon kembalilah padaku. Dan katakan pada mereka kalau mereka salah.”
Dia hanya menggeleng.
“Ta-tapi Luna, ka-kau tidak mati kan? Kau hidup dan bukan hayalanku kan?”
Dia terseyum sendu, dan melangkah kearahku. “Caelum Rossvelt, cael sayang, aku telah mati.”
Mendengar langsung dari mulut kecilnya, hanya membuatku semakin terpuruk. Aku bahkan tidak sanggup lagi berdiri.
“Kalau kau mati, kenapa kau kembali kepadaku!” Dengan kencang aku membentak padanya. Aku bodoh. Padahal aku yang mencarinya, tapi aku yang mempertanyakan kehadirannya.
“Karena.” Dengan lembut dia menarikku berdiri. “Aku telah berjanji untuk terus menjaga senyumanmu.”
Aku berhenti menangis.
“Cael, pertama kali kita bertemu, aku telah jatuh cinta padamu. Aku suka saat kau tertawa dan terseyum. Aku selalu ingin menjaga itu semua. Tapi Tuhan menakdirkan kematianku. Aku tidak dapat menghindarinya. Namun dengan kasih-Nya, aku diizinkan untuk menemanimu lebih lama.”
“Kumohon, jangan tinggalakan aku lagi Luna.”
“Maafkan aku. Karena kau sudah mengetahui kebenaran tentangku, aku harus kembali.”
“Tidak Luna! Jangan pergi!” Aku menggampai tangannya yang mulai memudar. “Setidaknya bawa aku pergi! Luna!”
Lalu pandanganku menggelap.
***
“Hai Cael. Kami datang lagi.”
Cael melihat kearah orang yang mengajaknya berbicara.
“Luna? Kau kembali?” katanya dengan pendangan nanar.
Wanita tua yang bersama orang itu hanya bisa menangis dalam diam. Pria tua disampingnya hanya bisa menenangkanya sambil ikut menangis.
“Bukan Cael. Ini aku, kakakmu, ibu, dan ayah.”
“Tidak! Kau pasti Luna! Ya aku yakin. Jangan berbohong!” Cael membentak. Dia mulai mengamuk.
Ketiga orang itu dilarikan petugas keluar ruangan. Mereka melihat Cael dari balik kaca sedang diikat ke kasur dan disuntik agar tenang. Mereka hanya bisa bersedih untuknya.
Maafkan aku, karena aku, Cael menjadi gila. Karena aku kalian kehilangannya.
Maafkan aku.
-----------------------------------------------------------
Oke, kita selesai.
Waah ini sangat panjang. Dan sangat miris. Aku turut sedih.
Bahkan Luna ikut menangis melihat kondisi Cael. Tapi siapa yang salah di kisah ini?
Bagaimana menurutmu?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top