{{{03}}}


Play: Olivia Rodrigo - hope ur ok

Kalau sebelum 24 Jam udah tembus 1500 komentar, bab 4 bakal saya unggah besok, bukan Minggu.

NAGASAKI

(1)

Pagi ketika gue menyadari era baru hidup gue akan dimulai, ditandai dengan sebuah terusan email Hiro dari Mama. Iya, email itu Hiro tujukan untuk Mama, tapi Mama meneruskannya ke gue karena Mama pikir gue lebih bisa diajak bicara soal ini.

"Papa tahu soal email itu?" tanya gue sambil menuang susu dingin ke gelas dan menahan pintu kulkas agar tetap terbuka.

Mama sedang mengetik sesuatu ditemani satu mug teh panas dan sandwitch berbentuk segitiga di spot konter favoritnya. "Kalau Mama kasih tahu, pasti Papa nggak akan mau membahasnya. Kamu kan tahu, ini kaitannya sama Emily. Pasti itu akan mengguncang perasaan Papa sebelum kemudian melakukan apa pun yang Hiro mau di email itu."

"Papa dapat email juga?"

"Tentu. Hiro menyampaikan banyak hal yang terlalu pedih untuk Papa baca. Asal kamu tahu, Papa itu nggak lebih tegar dari Mama, Ga. Tapi kita sudah sepakat untuk nggak akan berlarut dalam duka lagi, kan? Dan, Mama yakin kalau sampai Papa kamu tahu tentang email itu. Dia akan memburu anak yang bernama Aaron ini, sampai ketemu."

Gue bergabung di kursi seberang Mama dan mencomot sandwitch miliknya. "Kenapa dia harus melakukan ini?"

"Siapa?"

Gue tidak menjawabnya.

"Kamu kayak nggak tahu Hiro aja. Dia itu seperti ingin semua orang tetap baik-baik saja bahkan ketika dia udah nggak ada."

Gue berdecap. "Terus menurut Mama gimana? Kita penuhi permintaannya?"

Mama mengernyitkan dahi. Untuk sesaat gue merasa Hiro masih ada di rumah ini. Dan gue baru sadar kalau ini cuma sisi nyebelinnya aja yang nggak ikut terbawa pergi.

"Kalau Mama pikir-pikir, ini lebih baik nggak usah."

"Kenapa?" tanya gue.

"Kita, termasuk Emily, masih berusaha kembali dari kehilangan ini, Ga. Dan bukan hal yang sederhana kalau kita harus nemuin Aaron untuk Hiro."

"Ini situasi sekarang. Kalau nanti semuanya sudah membaik, apa kita bisa pertimbangkan permintaan Hiro?"

"Kalau pun kita setujui, nggak mungkin Mama dong yang akan bergerak?"

"Tapi Hiro ngasih email itu ke Mama. Berarti dia mau Mama yang urus."

"Gimana kalau kamu aja yang urus?"

Gue tidak langsung menjawab. Berpikir sejenak. "Mungkin memang sebaiknya kita tunggu sampai semua orang siap untuk memulai semuanya. Kita kehilangan anggota keluarga. Tapi Emily kehilangan cintanya."

Tangan Mama merayap di atas meja untuk menggenggam punggung tangan gue. Kemudian Mama tersenyum. "Gimana kalau hari ini kamu tengok Emily? Dia sudah di rumah loh."

Gue turun dari kursi dan meregangkan badan. "Boleh. Mungkin nanti sekalian pacaran sama Rin."

Mama mengerjap lalu menyeruput tehnya.

(2)

Edith sudah DM gue berkali-kali untuk menanyakan apakah jadi bertemu karena dia sudah tiba duluan di kedai roti terkenal sesuai janji. Gue tidak membalas DM-nya karena sedang dalam perjalanan. Setibanya di sana gue tidak perlu mencari-cari. Karena dari tiga pengunjung yang ada, satu-satunya cewek cuma seseorang yang gue kira itu adalah Edith. Dia melambaikan tangan dengan ekspresi wajah yang ragu.

Edith berdiri untuk salaman sama gue. Mau tidak mau gue menjabat tangannya meski tanpa tersenyum. Hanya sebuah anggukan.

Gue bisa merasakan ketegangan di wajahnya. Dia seperti ketakutan gue bakal marah atau mempersulit kesempatannya untuk menjelaskan apa saja. Karena gue iba dan tidak ingin berprasangka buruk, lalu gue inisiatif untuk berbicara lebih dulu.

"Rumah kamu jauh dari sini?"

"Nggak," jawabnya lirih.

Gue mengangguk pelan.

Edith menundukkan wajahnya ke meja. Gue cuma bisa mengamatinya dari dekat untuk nyari tahu apakah ada sesuatu yang patut gue curigai dari sikapnya yang sepertinya tampak tak bersalah.

Kemudian dia gugup mengais tasnya untuk mengeluarkan buku itu. Dia meletakkannya di atas meja. Gue bisa melihat jarinya sedikit gemetar. "Aku menandainya di beberapa halaman yang perlu aku klarifikasi. Kamu mungkin nggak ingin mendengarnya. Tapi aku perlu jelasin."

Gue membuka buku itu. Edith sudah melingkari beberapa paragraf dengan pulpen bertinta hijau.

"Aku nggak tahu kalau saat itu Hiro suka sama aku," ujarnya cepat dengan suara gemetar. Gue sontak mendongak dari halaman buku ke arahnya.

"Dan demi Tuhan, aku sama sekali nggak tahu Hiro punya kondisi yang berbahaya kalau dia keluar rumah," lanjutnya, "Dia juga nggak pernah bilang tentang kondisinya. Lalu sekarang semua orang yang baca buku ini salah paham karena Hiro nggak menceritakan semuanya."

Gue langsung menutup buku itu karena sepertinya lebih jelas kalau gue mendengar penjelasannya secara langsung. Hiro nggak menceritakan semuanya?

"Apa maksudmu Hiro nggak menceritakan semuanya?"

"Dia tahu aku pernah satu kelas sama kamu sebelum aku keluar. Lalu dari sana kami ngobrol. Panjang banget. Ada satu minggu lebih sebelum kami janjian untuk ketemu yang nggak pernah terwujud."

"Dulu kamu panggilannya bukan Edith, kan?"

"Edith Mariabel. Aku dulu dipanggil Abel di sekolah. Dan aku nggak nyalahin kamu kalau nggak begitu ingat. Aku juga nggak begitu ingat kalian. Tapi mungkin karena memang aku yang nggak akrab dengan anak kelas. Tapi aku lumayan ingat kamu setelah kenal Hiro."

Gue mengingat-ingat sebentar. "Kamu yang berhenti sekolah karena kecelakaan, kan?"

Edith mengangguk. "Ga, I'm so sorry fo Hiro," ucapnya lirih.

Gue nggak tahu harus merespon gimana.

"Aku sama sekali nggak tahu Hiro punya perspektif seperti itu tentang aku. Aku juga nggak mengira akan ada nama dan akun Instagramku yang disebut di sana tanpa sensor. Mungkin Mama kamu yang melanjutkan tulisan Hiro nggak tahu. Jadi aku juga nggak bisa menyalahakan."

Kemudian Edith menunjukkan kolom DM-nya yang berisi pesan-pesan tak terbaca. "Hari ini udah ada tiga orang yang bilang aneh-aneh di DM tentang aku. Dan terkadang ada yang sampai memaki."

Dia menaruh ponselnya di meja. "Aku bingung aja."

Gue lebih bingung lagi buat menanggapinya.

Edith mengelap matanya yang tanpa gue sadari dia menahan itu sedari awal.

Sekarang di dalam kepala gue seolah muncul satu gerbong baru yang penuh tanda tanya tentang Hiro. Apa dia selama ini memang hanya di rumah dan tidak melakukan hal lain yang nggak gue atau Mama dan Papa ketahui?

Faktanya, email tadi pagi pun berisi tentang seorang cowok bernama Aaron yang Hiro minta untuk dicari oleh Mama. Hiro bilang, dia kenal cowok ini karena Hiro berlangganan konten blognya dan beberapa kali pernah terlibat dalam acara donasi meski Hiro nggak pernah ketemu langsung sama Aaron. Hiro cuma menuliskan alamat blog Aaron saja. Tujuannya, Hiro pengin jika setelah dia pergi, ada orang lain yang bisa menggantikannya untuk Emily. Dengan kata lain, Hiro udah nyiapin kandidat cowok pengganti untuk Emily, dan yang dia percayai adalah seorang cowok bernama Aaron, yang bahkan belum pernah dia temui. Bagaimana bisa dia sepercaya itu?

Gue mengembuskan napas kesal.

"Apa lagi yang kamu tahu tentang Hiro?" tanya gue masih agak skeptis.

"Hiro sangat paham tentang apa yang terjadi sama keseharian kamu. Dan dari buku itu aku baru tahu kalau kalian lama sekali nggak saling akrab. Tapi, entah kenapa Hiro tahu banyak tentang kamu," Edith menjeda sebentar, "Sampai akhirnya aku nemuin ini."

Edith mengusap-usap layar ponselnya sebelum kemudian menunjukkan sebuah profil akun Instagram.

"Ini akun Instagram Hiro yang lain. Dia mungkin nggak bergaul dengan banyak orang di kehidupan normal. Tapi di sosial media, kamu mungkin nggak tahu kalau dia ... adalah orang lain ... yang terkenal. Maksudnya aku juga baru tahu nggak lama setelah aku sama Hiro gagal ketemu."

Gue terkesiap.

"Dari sini dia punya urusan sama seseorang yang ada di sekolah kamu. Dan itu belum selesai."

Edith mengatakan itu dengan sangat serius. Ketika gue bahkan masih belum bisa yakin dengan pasti apakah akun @sendugurau yang terkenal sering unggah kutipan itu milik Hiro. Atau Edith cuma mengada-ada.

Lalu gue cek unggahan terakhirnya yang membuat gue membantah omongan Edith.

"Kamu kalau mau bohong yang pinter dikit dong. Lihat, unggahannya yang terakhir itu kemarin!"

"Kemarin, setiap hari, dan di waktu yang sama, pukul sembilan malam, persis. Itu pola terjadwal!" Edith sedikit tegas dengan pendapatnya. "Nggak peduli pemilik akunnya sudah meninggal berapa lama, kalau kontennya terjadwal secara rutin untuk setahun atau dua tahun atau selama apa pun. Itu nggak ngaruh."

"Kalau pun iya, bukti apa yang bisa kamu pakai buat meyakinkan aku kalau itu milik Hiro?"

Edith kemudian menatap gue dengan serius. Dia mengerjap dan menarik napas dalam-dalam sebelum berkata, "Pertama, kamu jawab pertanyaanku dengan jujur. Apa kamu masih menerima email dari Hiro setelah dia nggak ada?"

Gue seketika tersentak dari dalam. Alis gue terangkat perlahan dan

"Karena aku juga dapat. Dan itu Hiro tulis setelah operasinya berhasil."

Di sini gue nggak bisa menyimpulkan apa pun. Apalagi runutin utasan benang-benang merah Hiro ujungnya dari mana ke mana.

***
*****************
***

Tulis komentar satu hal yang paling kamu ingat dari Hiro di sini.

Tulis komentar nama-nama tokoh yang kamu ingat ada di Byeology.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top