{{{ 01 }}}
Hai, here we go again. Satu tahun Bye-Ology dan mengambil momentum ini saya sengaja merilis Die-Ology. Entah nanti bakal rutin atau nggak, yang penting tanggal ini harus rilis.
Bye-Ology sedang cetak ulang memakai sampul baru dengan ilustrasi keren banget. Yang belum dapat kiriman bukunya nanti kemungkinan besar kebagian yang sampul baru. Dengan catatan persediaan terakhir sudah habis. Hehehe. Tapi untuk pemesan sejak Mei bisa dipastikan dapat yang sampul baru. Link pemesanan ada di bio.
Oke, hmmmmm. Kangen nggak sama Nagashima?
Nah, sekarang saya bakal selalu nambahin rekomendasi lagu nih. Kali ini lagu berjudul Goodbye dari Cage The Elephant. Kalau pengin good cry sambil dengerin lagi ini deh bacanya.
Langsung saja, selamat membaca.
Ramaikan komentar. Jangan lupa like dan share. Biar cerita ini semakin besar.
***
**********
BAB 01
[NAGASAKI]
Nggak kurang dari seratus orang duduk di kursi yang disediakan oleh pengelola auditorium toko buku di sebuah mal Surabaya. Mereka sedang hikmat mengikuti bedah buku karya Hiro yang naskahnya dirampungkan oleh Mama. Sebuah buku fiksi yang Hiro tulis berdasarkan inspirasi dari keluarga kami. Buku itu berjudul Bye-Ology.
Semua pembaca Mama yang hadir itu juga kebanyakan sudah memegang Bye-Ology. Sisanya yang belum punya sudah disediakan setumpukan untuk dibeli dan ditandatangani secara langsung. Ini tur buku hari terakhir dan bertepatan dengan hari ulang tahun gue sama Hiro.
Gue, Mama, dan Papa ada di setiap agenda tur untuk menjadi narasumber. Kami memakai kaos yang sama dari merchandise buku itu.
Meski setiap perjalanan tur sama artinya gue harus membuka luka yang kayaknya nggak akan pernah kering, tapi ini demi sebuah kenang yang harus tetap hangat di kening. Hiro akan suka kalau gue turut melakukan ini. Apalagi semua royalti buku dan pendapatan merchandise akan dijadikan sebagai dana awal investasi pembangunan sebuah yayasan untuk para penyintas CPVT seperti Hiro. Orang tua gue mungkin punya uang yang banyak. Tapi kami ingin investor pertama dari pembangunan yayasan ini adalah adik gue sendiri. Hiro. Bye-Ology adalah karyanya. Semua yang dihasilkan dari ini juga berarti milik Hiro.
Ro, lihat, ini semua untuk kamu. Gue aja seneng. Pasti kamu juga seneng.
Pemandu acara cewek bernama Kak Tari membawa sebuah bowl berisi kertas-kertas bertuliskan pertanyaan. Di tur sebelum-sebelumnya pertanyaan diajukan langsung oleh audiens. Tapi kali ini penyelenggara memiliki ide lain biar lebih kondusif.
"Pertanyaan pertama langsung untuk Aga, nih," ujar Kak Tari melalui mikrofon. "Kayaknya malah sebagian besar pertanyaan buat Aga, deh. Tadi aku ngintip," ujarnya lagi yang langsung disambut tawa ramai audiens.
"Padahal Papanya nggak kalah ganteng, ya, tapi di mana-mana Aga yang dapat atensi paling banyak," Papa tiba-tiba menyeletuk berlagak cemburu. Tawa semakin menggelegar mengisi ruangan.
Gue lalu mengangkat mikrofon dan berujar, "Yang tua ngalah." Semakin meledaklah tawa yang ada.
Mama yang duduk di sebelah gue ikut tertawa dan merangkul sambil mengecup pipi gue.
"Okey. Ini pertanyaan dari ... oh iya, anonim semua. Pertanyaannya, apa yang nggak akan pernah bisa kamu lupakan dari Hiro?"
Karena sesi ini pakai tulisan, kayaknya bakal ada lebih banyak pertanyaan menohok lainnya.
"Mau dijawab sekarang?" tanya Kak Tari. Gue mengangguk.
Lalu gue berdiri dari kursi dan sedikit melangkah ke depan. Ini pertanyaan yang nggak biasa. Di awal tur gue agak malu untuk berbicara di depan publik seperti ini. Tapi semua rasa malu itu lenyap setiap kali gue membayangkan Hiro akan senang dan tertawa melihat gue berbicara kayak orang pinter di depan orang banyak.
Gue sudah berdiri menghadap audiens. Memaksakan sebuah senyum. Lalu menggenggam erat mikrofon di dekat dagu. Tangan kiri gue masukkan ke saku celana jins. Gue terdiam beberapa saat karena berusaha untuk TIDAK menghadirkan wajah Hiro sementara saja. Atau sesi jawaban gue akan menjadi curhatan panjang dari seorang kakak yang ditinggal pergi adiknya sendiri.
"Nggak bisa dijawab secara singkat kalau ditanya apa yang nggak akan pernah gue lupain dari seseorang yang sudah menemani gue sejak di dalam perut Mama," kata gue yang langsung membuat ruangan sepi.
"Gue akan ingat dia sebagai orang yang membosankan, si Petapa rumahan, terlalu serius, ... jenius, ... adik yang pinter, ... ngeyelan, ... dan mungkin satu-satunya orang yang akan gue dengerin omongannya lebih dari orang tua gue sendiri."
Gue memaksa tersenyum. "Intinya banyak. Meski kami pernah melawatkan tahun-tahun yang sepi tanpa komunikasi satu sama lain, tapi secara nggak langsung gue sama Hiro terus berkomunikasi. Misalnya lewat dvd yang selalu gue beliin buat dia. Bahkan kalau kebetulan Mama bikin satu loyang pai nanas dan tersisa setengah loyang aja, yang artinya itu tinggal buat gue sama Hiro, terus gue lihat pai yang setengah tadi tinggal seperempat, yang artinya Hiro sudah mengambil jatahnya dan menyisakan seperempat yang lain buat gue. Bagi gue itu juga bentuk komunikasi dari Hiro ke gue."
Audiens semakin terbungkam. "Dan yang seperti ini baru gue sadari setelah dia benar-benar nggak ada," senyum gue mulai getir. "Tapi jangan khawatir. Sampai saat ini gue masih suka menyisakan seperempat pai yang lain karena ... siapa tahu malam-malam dia kabur dari surga dan menyelinap ke dapur cuma buat ambil sepotong pai yang gue sisain. Dan bener, besok paginya udah nggak ada." Semua yang menyimak terkejut. Lalu gue lanjutkan, "Papa yang ngabisin."
Senyap yang menggantung lantas diledakkan oleh tawa dan tepuk tangan yang riuh.
"Itu saja," tutup gue.
"Jangan dulu duduk. Tanggung, ini ada pertanyaan yang lain buat Aga," cegah Kak Tari.
"Oke," jawab gue.
"Umm ...," Kak Tari seperti ragu mengucapkan pertanyaan kedua. "Apa yang ingin kamu katakan pada Hiro saat ini?"
Kali ini gue tahu akan kalah. Gue menoleh ke belakang untuk melihat orang tua gue yang tentu penasaran juga sama jawaban gue.
"Um, nggak banyak," Banyak. Banyak banget. "Cuma mau bilang, Ro ... sekarang gue nggak iri sama kamu yang sudah dapat surga. Tapi, gue justru iri sama surga yang sudah dapat kamu. Surga pasti sekarang jadi tempat yang jauh lebih seru semenjak kedatangan kamu. Bahkan gue selalu mengatakan ini hampir setiap kali ketika gue keinget dia." Dan itu pertama kalinya kenangan tentang Hiro menyelinap di mata gue dan meluncur di pipi ketika tur.
Ada sepuluh pertanyaan lagi yang sisanya dijawab oleh Papa sama Mama.
Selagi mereka menjawab pertanyaan yang tersisa, gue menunggu iseng sebentar buka ponsel untuk mengalihkan fokus gue saat ini. Gue mengusap bar notifikasi karena ada banyak banget notifikasi yang kebiasaan nggak gue cek semuanya. Saat itulah, jantung gue mulai berdebar hebat ketika melihat salah satu notifikasi di baris paling bawah. Sebuah email yang rupanya sudah berada di sana sejak pukul satu malam tadi. Pengirim superhiro@-.com dengan subyek Seventeenth of Ours.
Gue beranjak dari kursi untuk sambil pura-pura hendak mengangkat telepon penting. Lalu segera melesat ke toilet mal. Padahal sambil berjalan gue sudah gugup bukan main. Tangan gue gemetar.
Sampai di toilet ternyata di sana sedang ramai. Gue langsung kepikiran untuk berganti arah ke basement. Karena kunci mobil masih dipegang Papa, gue malah nggak bisa masuk dalam mobi. Tapi situasi sedang cukup sepi. Hanya ada beberapa orang saja. Gue lantas duduk menggelosor di dekat mobil. Mengatur napas sampai tenang dan kembali berusaha memberanikan diri untuk mengeklik notifikasi itu. Ya, gue rencananya pengin buka semua notifikasi ucapan selama ulang tahun di ujung hari biar nggak capek bilang makasih. Makanya gue nggak ngeh sama sekali dengan satu email itu.
...
From: superhiro@-.com
To: dragones@-.com
Ga, kalau kamu baca email ini, bisa dipastikan aku sudah mati. Karena kalau aku masih hidup, pasti semua email yang sudah aku siapkan untuk kamu di setiap tanggal ulang tahun kita sampai 50 tahun yang akan datang, sudah aku batalkan. So, here I was. Happy birthday, my bestest brother in the world! This is our seventeenth.
Aku menyiapkan semuanya karena antisipasi untuk hal-hal seperti ini. Aku nggak tahu saat ini kamu sedang di mana, atau sedang apa. Tapi aku harap kamu oke, bahagia, dan aku seneng banget kalau kamu juga lagi kangen sama aku. Sori kalau ini lebay.
Aku tahu kamu punya cita-cita yang bagus. Tapi cita-cita kamu cuma akan jadi dengung kekecewaan kalau kamu nggak ada usaha apa pun untuk mewujudkannya. Udahan main-mainnya. Atau kurangin. Ambil les khusus biar nilai kamu bagus dan bisa enteng pas masuk perguruan tinggi. Ini demi diri kami sendiri, kan?
Ga, aku seneng akhirnya kita bisa jadi saudara yang dekat lagi. Makasih sudah menghabiskan banyak waktu buat aku di hari-hari terakhir. Pada akhirnya aku merasa beruntung yang nemuin aku sekarat di halte adalah kamu waktu itu. Bukan orang lain.
Titip Mama sama Papa, Ga. Mereka udah nggak perlu cemasin aku lagi. Yang artinya sekarang semua cinta mereka buat kamu. Kamu memiliki semua yang diperlukan untuk sampai ke cita-cita kamu itu. Jangan banyak malas.
Ga, aku juga nitip pacarku, Emili. Aku belum pernah mencium dia. Mungkin kalau dia menyusulku nanti maka ciuman pertama kami akan terjadi di surga. Semoga. Tolong titip dia dan kasih dia perhatian. Tetap anggap dia sebagai pacar aku karena kami berdua nggak pernah putus. Emili janji nggak akan punya pacar lagi setelah aku. Dia sedang sekarat juga.
Dan Rin. Kamu sayang dia, kan? Pacarin aja sampai nikah. Aku setuju kok.
Oh, iya. Email ini aku edit karena aku baru tahu sesuatu tentang kamu. Ternyata selama ini kamu berjuang untuk tetap hidup juga. Tapi aku yakin kamu akan bisa hidup lebih lama dan menjaga tiap tetes darahmu. Bahkan dalam keadaan punya kelainan genetik pun kamu tetap keren, ya, Ga. Gue bersyukur jadi adik tiga belas menit kamu. Apa dosa kita di masa lalu, ya, kenapa Tuhan ngasih kita hal yang indah sekaligus mengerikan ini? Apa karena aku sama kamu waktu di perut Mama sering berantem, ya? Duh. Kasihan Mama.
Jangan sungkan main ke makamku, Ga. Kalau bisa tiap hari. Kalau sulit seminggu sekali. Asalkan jangan sampai kamu biarin makamku ditumbuhi rumput liar saking nggak pernah kamu datangi.
... menurut kamu aku dapat surga, nggak, Ga? Kalau iya maka kamu akan jadi salah satu orang yang aku pinta untuk nemenin aku di sini. Kalau dapat sebaliknya, ya, kamu yang masih hidup tolong usahakan surga untukku.
Aku minta maaf untuk tahun-tahun yang senyap itu. Tapi tanpanya kita nggak akan pernah belajar tentang arti saling memiliki sebagai saudara, kan? Tanpa itu kita nggak akan pernah bisa merasakan betapa berartinya Mama sama Papa, kan? Dua orang hebat yang akan aku persaksikan ke Tuhan betapa baiknya mereka.
Ga, aku nulis ini sambil nangis. Bukan cengeng, meski aku sudang sering nangis karena nahan sakit. Aku cuma sedih tiba-tiba membayangkan kamu lagi baca ini sambil nangis juga karena di sana aku udah nggak ada. Itu bagus kalau kamu nangis. Itu artinya kamu kehilangan apa yang pernah kamu miliki. Dan aku berterimakasih untuk setiap air mata kamu. Malaikat akan mengutipnya dan mengantar tiap tetesnya ke aku.
Ada hadiah yang aku titipkan di Mama sama Papa. Semoga suka. Itu hadiah paling berharga yang pernah aku miliki. Sekarang aku serahkan semuanya untuk kamu.
Panjang umur, persaudaraan.
Dari adikmu.
.............
Kemeja gue basah. Badan gue terguncang. Air mata berjatuhan bahkan sejak kata pertama dan terus meluncur hingga titik terakhir email itu.
Gue menekuk lutut dan menangis tersedu-sedu di sisi mobil. Ini lebih menyakitkan dibanding hari ketika Hiro pergi. Sebab hari ini adalah ketiadaan yang sebenar-benarnya.
Masih dalam keadaan tersedu. Gue menekan ikon mikrofon di layar untuk menjawab email itu secara singkat. "Sialan kamu, Ro. Gue kangen banget sama kamu," ucap gue nggak terdengar jelas. Lalu mengirim suara itu secara langsung entah siapa yang bakal menerima suara gue.
Kemudian gue lanjut menghamburkan air mata. Setelahnya gue menghabiskan waktu untuk melihat semua foto-foto Hiro. Hingga satu jam berikutnya, Mama dan Papa menyusul ke parkiran. Mereka secara bersamaan memeluk gue dengan senyum songar dan mata memerah pula.
"Hiro sialan banget, Ma, Pa," rengek gue di pelukan mereka.
Papa mencium kepala gue. "Ini hadiah dari Hiro. Pelukan Mama sama Papa."
Gue seperti nyaris melebur. Tapi lekas memeluk mereka semakin erat. Memeluk hadiah paling berharga di dunia. Hiro benar, Mama dan Papa adalah harta paling berharga kami.
Gue kangen, Ro.
***
**********
Nangis nggak kalian pada. Hahahha. Meler saya maha.
Bagaimana komentar kamu untuk bab ini?
Siap dengan kelanjutannya?
Padahal ini sudah ditulis lama tapi pas ngedit masih kerasa sakitnya.
Hah, yakin nih mau diseriusin unggah Die•Ology? Unggahnya kalau saya pengin aja ya. Yang penting ini saya udah ambil momentum untuk unggah di tanggal yang sama. Kasihan kalau mereka beda tanggal.
Bang TSK kapan? TSK mah naskahnya udah kelar. Kemarin pas puasa kedistrak macam-macam makanya gagal. Nanti saya teruskan lagi kok. Tadinya malah mau langsung PO. Tapi kurang afdol.
Ini belum memakai sampul baru yah. Masih sampul amatir. Nanti saya ganti kalau sudah tepat waktunya. Pantengin saja instagram saya di @sahlilge dan @writtenby.sahlilge.
Ada link grup pembaca di bio writtenby.sahlilge.
Oke, sampai jumpa di next chapter.
Tetap berdetak. Kamu berharga. 💛
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top