4. Pesta Tahun Baru

Matthew meregangkan tubuh besarnya di atas ranjang, mulut pria itu menguap lebar menandakan adanya rasa kantuk yang tersisa. Kemudian, sepasang bola mata birunya mengerjap beberapa kali, selagi suara kicauan seekor burung yang hinggap di pohon terdekat di luar rumah, tertangkap indra pendengarannya.

Tangan Matthew terulur meraih jam di atas nakas.

Pukul 07.35 pagi hari.

Disimpannya kembali jam tersebut sebelum Matthew bangkit menyibak selimut. Kaki panjangnya mengenakan sandal rumah kemudian dengan santai lelaki itu menuju wastafel di kamar mandi. Air di tangan ia siramkan ke wajah---rasa dingin yang menyegarkan---lalu melewati rambut hitam tembaganya.

Tampaklah di cermin tersebut sosok dirinya yang mengenakan kaos oblong polos abu-abu dan celana piyama bermotif garis-garis. Ketika sorot mata biru itu menatap ke bawah didapati satu sisi sandal sebelah kanan yang ia kenakan mulai sobek.

Sepertinya ia harus beli sandal baru. 

Matthew lantas mengoleskan krim berikut pisau cukur guna memangkas beberapa bulu halus yang tumbuh di rahang tegasnya. Mencoba membuat penampilannya lebih rapi untuk persiapan pesta tahun baru nanti malam.

Selagi menghabiskan waktu paginya di kamar mandi, suara percakapan istri dan anaknya di luar kamar tertangkap telinga Matthew.

"Alex! Apa kau sudah mengirimkan semua undangannya?" ucap seseorang dengan lantang yang langsung Matthew kenali sebagai suara Esme.

Kemudian, terdengar Alex menjawab, "Sudah semuanya. Apa masih ada lagi undangan yang harus kukirim?"

"Tidak. Hanya ingin memastikan. Kau kelihatan bersemangat sekali untuk pesta nanti malam, Anak Muda. Apa karena gadis manis bernama Cassidy yang baru kau kenal itu?" 

Mulut Matthew membentuk senyum lebar mendengar godaan yang dilontarkan istrinya.

"Ibu!" protes Alex kemudian menyusul, yang disambut oleh tawa Esme.

Matthew yang tengah mencukur sambil bersiul ikut terkekeh. Ia benar-benar bahagia dengan keluarga kecilnya. Hingga tanpa sadar ia salah mengarahkan pisau dan membuat sedikit luka di sekitar dagu.

"Ah ... sial," keluh pria itu sambil mengelap sedikit darah yang merembes ke luar.

Setelah selesai dengan segala kegiatannya di kamar mandi, Matthew berjalan ke luar dan menemukan sang Istri baru saja menutup pintu kamar.

"Hai ... aku pikir kau masih di dunia mimpi, baru saja aku hendak membangunkanmu," ujar Esme melipat kedua tangannya di dada. 

Matthew memangkas jarak di antara mereka, lalu tanpa ragu melingkarkan lengannya di pinggang ramping wanita yang paling ia cintai tersebut sebelum merunduk.

"Kau belum memberiku ciuman pagi," tagih Mattew yang disambut kekehan geli Esmeralda.

Belum juga bibir keduanya bertemu, mendadak Esmeralda mendorong dada lebar suaminya.

"Tunggu dulu ... kau terluka?" Mata cokelat hangat Esmeralda memperhatikan goresan kecil di rahang suaminya.

"Oh, ini hanya luka kecil, Sayang." Mattew menggenggam tangan Esme dan membawanya ke bibir. "Tidak perlu cemas, hanya tergores pisau cukur. Luka ini menunjukan aku seorang pria."

Esme seakan tidak terima, ia menarik tangan dari genggaman sang suami dan bersedekap sambil melayangkan tatapan tak suka. "Jangan begitu, kau seharusnya lebih berhati-hati lagi saat mencukur nanti. Aku tidak suka melihat kau bersikap sok kuat seperti ini. Bagiku kau sudah cukup jantan, kau tak perlu melakukan apa-apa untuk membuktikannya padaku."

Matthew tersenyum, senang dengan sikap protektif Esme. Maka, pria itu beringsut mendekat. Dengan kedua lengan kokohnya, Mattew kembali meraih tubuh sang Istri.

"Ingin melihat bagaimana seorang pria menunjukan kebahagiaanya?" tanya Matthew persis di depan wajah Esme.

Alis sang Istri kontan berkerut, apa hubungannya pertanyaan itu dengan pembicaraan mereka sebelumnya? Pikir Esme dalam hati sebelum memekik kaget merasakan tubuhnya diangkat sang suami.

Dengan sigap ia melingkarkan tangannya ke leher Matthew ketika pria itu mengangkat tubuhnya, berputar, dan keduanya tertawa.

"Aku mencintaimu," ucap Matthew, setelah putaran yang memusingkan itu berhenti.

"Aku mencintaimu," Esme mengulang, lebih berhasrat. Kening mereka beradu. Matthew mencium lembut bibir sang istri.

Sayangnya, keromantisan Esme dan Matthew di pagi hari harus terhenti karena interupsi suara anak mereka dari luar kamar.

"Ibu ... Ayah ... apa yang sedang kalian lakukan di dalam? Ada pesta besar yang harus kita siapkan, ingat? Banyak hal yang harus dilakukan hari ini, kita tak ingin membuat para tamu pesta kecewa, kan?" Alex memanggil seraya menggedor pintu.

Matthew mengerang frustasi. "Anak itu ... tidak saat masih kecil, tidak juga setelah dewasa, selalu saja mengganggu tiap kali kita bersama.”

"Ya, kami akan turun sebentar lagi." Esme menyahut dari dalam kamar, dan dengan lembut Matthew menurunkan tubuh sang istri dari pangkuannya.

"Ayo, turun!" ajak Esme pada Matthew. "Lagipula, kau harus membeli beberapa perlengkapan dan bahan untuk pesta barbekyu nanti malam."

Ketika mereka sudah sampai di lantai bawah, Esme menjulurkan secarik kertas berisi daftar barang yang dibutuhkan.

"Hmm ...." Mata Matthew bergulir membaca tulisan di kertas tersebut.

Tepat saat itulah bel pintu depan rumah berbunyi, deringnya bergetar seakan merambati dinding rumah. Esme dengan sigap membuka pintu, mendapati sosok perempuan berambut pirang panjang dengan mantel cokelat berdiri di ambang pintu.

"Selamat pagi," sapa sang tamu, tersenyum malu.

Ketika anggota keluarga Matthew Frederick Lehnsherr tampak terkejut, bukan hanya karena kedatangan tamu yang tak terduga, melainkan karena sosok yang datang adalah gadis yang sedang dekat dengan Alex akhir-akhir ini. Cassidy McHart, gadis kenalan Alex di sekolah, sekaligus salah satu tetangga baru karena jarak rumahnya hanya terpisah jarak beberapa meter saja.

"Hai Cassidy ... selamat pagi." Bibir Esme tersenyum ramah, tapi diam-diam ia mengerling pada putra semata wayangnya yang tampak salah tingkah. 

"Masuklah ke dalam. Di luar dingin." Mattew turut menyapa tamu mereka, dan ikut geli melihat sikap anaknya yang canggung.

Cassidy melangkah masuk. "Terima kasih Tuan Lehnserr, maaf mengganggu. Saya kemari atas inisiatif sendiri ... saya baru saja mendapat undangan dari Alex, bahwa kalian akan mengadakan pesta, jadi ... eh, barang kali ada beberapa hal yang bisa saya bantu untuk persiapan nanti malam?"

Senyum cerah berkembang di bibir Esme, merasa tersentuh atas penawaran bantuan tersebut. "Oh tentu saja sayang. Kami sangat berterima kasih kalau kau bersedia membantu."

Esme lantas menarik tangan Cassidy dengan lembut, di kepalanya langsung terpetakan kegiatan apa saja yang bisa mereka lakukan berdua. Dirinya pasti akan merasa sangat terbantu dengan kehadiran wanita lain dalam mempersiapkan segalanya.

Namun, sebelum Esme sempat mengajak Cassidy ke dapur, suara dehaman Alex yang berjalan mendekat mengalihkan perhatiannya.

"Khmm ... Bu? Bukannya kita masih memerlukan banyak hal yang harus dibeli untuk nanti malam?”

“Memang,” jawab Esme santai. “Ayahmu akan membeli itu semua sekarang.”

“Bagaiamana jika aku saja yang pergi ke toko?" tawar Alex cepat. Terlalu cepat. Semua orang bisa melihat bagaimana Alex terlihat gugup sekarang. “Ma-maksudku, aku bisa melakukan itu sekarang, dan Ayah lebih baik di rumah membantu Ibu, mendekorasi dan semacamnya.”

Matthew menengok pada Esme dan Cassidy yang mendadak terdiam juga sebelum kembali menatap putranya.

"Tentu saja," sahut Matthew mengizinkan. 

Namun, mata Alex tidak menatap pada ayahnya, melainkan pada tamu mereka.

"Cassy, bisakah kau ... menemaniku? Kau tahu, membeli barang-barang. Aku belum tahu banyak soal pusat perbelanjaan di sekitar sini. Nanti bisa-bisa aku tersesat."

Setelahnya, hening yang sebentar melanda tetapi terasa sangat lama bagi Alex, akhirnya Cassidy menjawab, "Oh ya, tentu. Aku ... bisa mengantarmu."

Esme tidak bisa menyembunyikan senyumannya, pun juga begitu dengan Matthew. Bocah kecil mereka sudah bisa mengajak anak gadis rupanya.

Kedua remaja itu pergi setelah Matthew menyerahkan daftar belanjaan. Esme serta Matthew pun bersiap memulai kesibukannya di dapur. Matthew berpikir mungkin dia bisa membantu istri tercintanya itu, atau justru menganggunya dan melanjutkan keromantisan yang tertunda. Selagi Alex tidak ada di rumah.

Persis ketika tubuh tegapnya itu berbalik, mata biru milik Matthew melihat sejenak ke arah jendela. Firasat ganjil bahwa seseorang di luar rumah mengawasi gerak-geriknya tiba-tiba muncul.

Apa yang kau pikirkan, Matt? Gumam lelaki itu dalam hati seraya menggeleng karena merasa konyol.

***

Alex dan Cassidy menata ruang tamu dengan berbagai pernak-pernik. Seperti beberapa balon dan tali hias berumbai warna-warni yang dipasang di berbagai sudut. Sesekali putra mereka memprotes karena semua ini terlihat seperti pesta ulang tahun anak-anak, lalu kedua orang tuanya dan Cassidy tertawa.

Matthew dan Esme juga mempersiapkan barbekyu di halaman rumah. Ini terasa melelahkan tetapi juga menyenangkan, mengingat sudah lama sekali Matthew tidak menghabiskan waktu bersama dengan keluarga kecilnya akibat jadwal kerja yang semakin sibuk.

Malam yang ditunggu pun pada akhirnya menampakkan diri, dan tepat setelah matahari terbenam, pesta sudah siap untuk diadakan. Keheningan yang melanda rumah perlahan sirna tatkala para tamu berdatangan. Beragam orang dengan bermacam-macam penampilan hadir, tapi tetap menunjukkan rasa antusias yang sama: bersemangat menyambut pergantian tahun yang akan terjadi beberapa jam lagi.

Berbagai canda tawa serta obrolan memenuhi ruangan rumah serta halaman belakang. Ada tetangga yang datang, ada juga teman sekolah Alex. Netra biru Matthew menelusuri kerumunan orang dan mendapati Alex tengah bersama Cassidy, keduanya tampak semakin akrab.

Pemandangan itu terlihat biasa bagi orang lain, tapi tidak untuk Matthew. Dalam hati Matthew mengucap penuh syukur atas kebahagiaan yang telah menyelimuti keluarga kecilnya selama sebulan penuh ini. Betapa semua urusan berjalan teramat lancar, bahkan Alex pun kini sudah tak pernah lagi mengeluhkan kepindahan rumah.

Matthew berpikir, akhirnya keadaan sudah benar-benar membaik bagi semua orang.

"Halo, Tuan Lehnsherr," sapa seorang pria di belakang, membuat Matthew tersetak kaget. Matthew berbalik dan mendapati seorang rekan kerja sedang menatapnya senang. 

"Ah, Martin Johnson, senang bisa melihatmu di sini. Apa Anda menikmati acaranya?"

"Oh ya, tentu saja. Ini pesta yang hebat. Orang-orang berkumpul. Istrimu memang yang terbaik dalam merencanakan segala hal."

Pujian itu harusnya membanggakan, tapi tidak ketika yang mengatakannya adalah pria lajang berusia lima puluh tahun, dengan status duda yang sudah lima kali menikah dan lima kali bercerai. Matthew sangat tahu bahwa rekan kerjanya ini lelaki mata keranjang, sekaligus memiliki reputasi tak sedap. Kegemaran seorang Martin Johnson pada alkohol dan gadis muda sudah diketahui oleh banyak orang.

"Terima kasih." Mattew sudah berniat meninggalkan ruangan itu dan menuju area taman di mana acara barbekyu diadakan. Namun, satu kalimat dari lelaki tua itu menghentikannya langkahnya sejenak.

"Jagalah keluargamu, Matt. Semoga kalian selalu bahagia," ujar Martin Johnson terdengar tulus.

Matthew kembali menatap tamunya dengan kening berkerut. "Tentu, aku pasti akan menjaga dengan baik semua yang kumiliki sekarang."

Satu balon mendadak meletus dan mengagetkannya. Ketika Matthew menoleh dilihatnya Alex dan teman-temannya tengah tertawa.

Cassidy menarik tangan Alex untuk menunduk. Gadis itu berbisik untuk meminta izin pulang terlebih dahulu, dia baru ingat harus segera mengirimkan tugas pada Tuan Jeon, gurunya di sekolah. Alex menawari untuk mengantar, tapi gadis itu menolak, berdalih karena jarak jumahnya yang dekat.

Di sisi lain Matthew kembali melangkah, tatapannya melihat sang istri sedang berbincang dengan ibu-ibu lain, pata tetangga yang baru dikenal selama sebulan. Segurat senyum terukir di wajahnya.

Esme selalu terlihat cantik, sama seperti delapan belas tahun yang lalu. Saat tatapan mereka pertama kali bertemu di lorong kampus, mampu membuat jantungnya berdebar. Begitu pun sekarang, dengan mengenakan gaun tebal berwarna merah marun, Esme tersenyum melihat ke arah Matthew, rupanya sdar bahwa dirinya sedang diawasi.

Tatapan keduanya terkunci seperti pasangan yang baru dilanda asmara masa muda. Matthew melangkah dan di ujung sana pun Esme menghampirinya, keduanya menepikan diri dari kerumunan. Waktu seakan berhenti, hanya menyisakan sunyi. Seolah tak ada anak-anak tetangga yang berlarian, tak ada para pria yang tengah sibuk menyiapkan arang panas untuk mulai memanggang daging. Hanya ada mereka berdua.

Hingga suara ledakan mengalihkan perhatian mereka. Entah bagaimana arang-arang yang dibakar itu seolah meloncat dari tungku. Orang-orang di sana memekik kaget, bahkan sebagian ibu-ibu menjerit panik. Matthew segera menarik istrinya menjauh. 

Dua orang anak kecil yang berkejaran tak menyadari keributan yang terjadi dan malah berlari ke arah tungku.

Matthew dan pria dewasa lainnya yang menyadari hal itu segera menyongsong bocah-bocah tersebut. Melindungi tubuh keduanya dari arang panas, lalu berguling ke rerumputan.

Satu pria di sana dengan sigap meraih kain lap terdekat lalu menutup tungku tersebut. Orang tua bocah itu tampak khawatir dan menghampiri anak mereka. Namun, keduanya tidak ada yang menangis dan malah tertawa senang.

"Sayang kau tidak apa-apa?" tanya Esme khawatir. Membantu Matthew bangkit dari tanah.

"Aku baik-baik saja."

"Paman, itu keren. Ajari kami berguling seperti itu," pinta salah satu bocah yang Matthew selamatkan.

"Kalian benar-benar pemberani ya!"

"Terima kasih Tuan Lehnsherr," tutur salah satu ayah anak itu. “Untung saja kau bisa sigap tadi.”

"Sama-sama. Maaf ada kekacauan sedikit," sahut Matthew tenang. Hanya petaka kecil, bukan masalah besar.

"Mari silakan mencicipi hidangan lain. Ada beberapa kue kering dan minuman segar di sebelah sana." Esme menggiring yang lain untuk menikmati pesta lagi.

Matthew berjalan ke arah meja panjang, lalu meneguk air putih. Dilihatnya keadaan di sekitar yang mulai normal, seakan kejadian tadi sudah terlupakan. Kain lap yang menutup pemanggang sudah dilepas, dan yang lain mulai menyalakan api kembali untuk membakar arang. Dengan lebih hati-hati kali ini.

Setelah rasa hausnya hilang, ia kembali bergabung bersama yang lain.

*****************************

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top