Bab 9

Denny Manusia Ikan


Bagas melihat Mitha memasuki kafe di jalan Opak bersama kedua remaja yang langsung mengenalinya dari kejauhan. Anjas dan Mara berlari meninggalkan Mitha yang terlihat ragu untuk melangkah. “Hai guys … laper?”

“Banget. Aku boleh makan apa aja, kan, Om?” tanya Anjas yang sudah sibuk membaca buku menu yang Bagas dorong ke arah anak lelaki yang bertubuh tinggi itu. “Ra, kamu makan apa?” Bagas selalu tersenyum melihat perhatian Anjas pada adiknya, bahkan saat ini anak itu sudah memesankan minuman untuk Mitha yang baru saja menjatuhkan badan tepat di sampingnya.

“Temen kamu, mana?”

“Telat, tapi udah di jalan, kok,” jawab Bagas sambil mendengarkan pegawai kafe kembali mengulang pesenan Anjas dan Mara. “Mama udah di pesenin, Mas An?” tanyanya ke arah Anjas yang mengangguk menjawab pertanyaannya.

Bagas bisa melihat wajah Mitha terlihat gugup, tidak ada warna di pipinya yang terkadang terlihat memerah bukan karena make up. Karena ia mengenal Mitha, perempuan itu paling malas harus menghabiskan waktu di depan cermin untuk bermake up. “Enggak usah gugup gitu,” kata Bagas yang mendekatkan kaki kirinya ke kaki Mitha yang bergerak naik turun setiap kali gugup menderanya.

Senyum gugup Mitha terlihat jelas, “Aku enggak gugup. Hanya saja, aneh rasanya ….”

“Kenalan sama orang tapi ngajak kedua anak kamu?” tanya Bagas setelah menyesap kopi hitam yang hanya tertinggal separuh di cangkirnya.

Mitha menggeleng, “Karena kenalan sama orang tapi bawa kamu. Kesannya seperti bawa pengawal pribadi gitu, lho, Gas.”

Keduanya tertawa menyadari kekonyolan yang mereka lakukan saat ini. Bagas mencoba membuat Mitha sesantai mungkin dan melupakan kenyataan untuk apa mereka bertemu di sini. Ia tak mau sahabatnya merasa terpaksa untuk bertemu dengan temannya meski Bagas tahu Mitha melakukannya hanya karena ia memintanya.

Suasana kafe yang ramai tak membuat mereka berempat terganggu. Bagas melihat Anjas sudah tenggelam di buku komik yang selalu ada di mobil Mitha. Sedangkan Mara mencoret-coret buku gambar yang selalu ada di dalam tas kemanapun dia pergi. “Aku bakalan temeni kamu ketemu sama calon-calonku. Mau dianggap pengawal, teman atau pengawas juga enggk apa-apa. Yang penting bukan mucikari.”

Mitha melayangkan pukulan telak di lengan kirinya, seketika ngilu Bagas rasakan. Meski ia tahu buku jari perempuan di sebelahnya pasti lebih terasa sakit. “Mayak!” umpat Mitha pelan. Sebelum Bagas sempat membalas Mitha, terdengar deheman dan terlihat teman yang ia nanti di sana.

“Den,” sapa Bagas sebelum meminta teman lamanya untuk duduk tak jauh dari Mitha. “Denny, kenalin ini Mitha, Anjas dan Mara.”

Bagas mengikuti gerakan tangan Denny menerima uluran tangan Mitha dan kedua anak yang tak melepas pandangan dari Denny. “Tha, Denny ini temen waktu SMP. Kita baru ketemu lagi dua bulan lalu, itu juga enggak sengaja.”

Mitha hanya mengangguk mencoba terlihat sopan di depan teman Bagas. Ia meneliti pria dengan jas warna hitam melapisi kemeja kuning pucat yang dipakainya. Dari tempatnya duduk, ia bisa menghidup wangi parfum yang Denny pakai. Sepatu pantofel mengkilat melapisi kaki berbalut celana jeans berwarna gelap.

“Mitha kerja di mana?” Tanpa basa basi, Denny melayangkan pertanyaan tentang pekerjaannya tak lama setelah pria itu duduk dan memusatkan perhatian pada Mitha.

“Eh, gimana?” tanyanya gugup karena ketahuan meneliti Denny.  “Kerja, ya … anu, aku punya usaha sendiri.”

“O gitu. Kalau boleh tahu di bidang apa?” tanya Denny lagi. “Kalau saya saat ini lagi handle salah satu usaha orang tua.” Pria yang semenjak duduk tidak melihat ke arah kedua anak Mitha kembali menanyakan pertanyaan seputar pekerjaan.

Mitha terlihat tidak nyaman mendapat perhatian seperti itu dari orang yang baru dikenalnya, terlebih lagi ketika mendapati mata Denny yang tak lepas darinya. “Oh … aku punya butik, Mas.”

“Dan kamu sahabatan sama Bagas mulai kapan?”

Mitha bernapas lega ketika mendengar Bagas menceritakan tentang awal perkenalan mereka saat hari pertama ospek. Tawa sesekali ia lontarkan ketika mendengar cerita lucu Bagas yang sudah sering di dengarnya. “Sempat jadian berarti waktu kuliah, ya?” tanya Denny kembali memperhatikannya.

“Sempat, kurang lebih dua tiga tahunan, Mas,” jawab Mitha dengan senyum memandang Bagas yang terlihat mengerutkan kening. “Dari teman, jadi pacar, dan sekarang jadi sahabat. Jadi aku sudah kenal Bagas dari mulai dia kurus sampai agak berisi begini.”

“Enak aja berisi!” jawab Bagas sengit. “Proporsional ini. Lihat aja, enggak ada lemak yang bergelantungan, kan?! Kamu aja yang kekurusen, Tha!”

Tawa  terdengar dari kedua anak remaja yang semenjak kedatangan Denny tak melepas pandangan dari pria yang terlihat lebih tertarik untuk mendekati Mitha. Sesuatu yang bagus di mata Bagas, tapi ia tidak merasa ada kecocokan di antara Mitha dan Denny.

“Mitha enggak kekurusan, kok. Kalau buatku, malah pas. Proportional seperti yang Mitha bilang.” pujian Denny terdengar aneh di telinga Mitha. “Untuk perempuan berumur, udah pas lah ini.”

Bagas menutup mulutnya menutupi  tawanya ketika mendengar Denny menyebut Mitha berumur. Karena ia tahu perempuan di sebelahnya tidak suka jika ada yang membahas umur dengannya semenjak dia menjadi paling tua dalam keluarganya.

Senyum Mitha tidak menyentuh mata, dan bukan hanya Bagas yang mengetahui itu. Karena Anjas dan Mara pun memandangnya sambil menahan senyum. “Kalau boleh tahu, Mas Denny usianya berapa?”

Denny tidak terlihat keberatan dengan pertanyaan Mitha, “Aku tahun ini empat puluh lima, kalau Mitha.”

“O gitu, aku kira Mas Denny ini sudah lima puluhan.” Mitha melirik Bagas yang terlihat membelalakkan mata padanya. “Aku masih di bawah Mas Denny, kok. Belum setua Bagas juga.” ia menunjuk pria yang hanya berbeda beberapa bulan usianya dengannya.

Bagas bersyukur ketika salah satu pelayan mengantarkan minuman pesanan Denny. Memberinya kesempatan untuk membriefing Mitha lewat tatapan mata. Kebiasaan yang mereka lakukan sejak dulu saat keduanya telibat perang dingin saat masih  menjadi sepang kekasih.

“Mereka anak-anak Mitha?” tanya Denny. Mitha memandang kedua anaknya dengan senyum di bibir. Berbeda dengan Denny yang tak terlihat tertarik pada Anjas ataupun Mara. “Kelas berapa mereka?”

Ada sesuatu pada sikap Denny yang terlihat acuh pada kedua anaknya yang membaut Mitha semakin tidak tertarik pada pria berkulit putih di sebelahnya. “Mereka SMP kelas 1, Mas? Kalau Mas Denny, ada putra atau putri mungkin?” tanya Mitha yang masih mencoba untuk seramah dan sesopan mungkin.

“Enggak ada. Aku kurang bisa akrab sama anak-anak, mungkin karena anak tunggal ya. Tidak terlalu bisa berinteraksi sama orang lain, dan kebawa hingga setua ini.”

Mitha bersyukur ketika ponsel Denny berbunyi nyaring di atas meja, dan tak lama setelah pria itu meminta izin dan berdiri keluar kafe untuk menjawab telepon, ia membalik badan dan bersedekap. “Kamu ngenalin aku sama laki-laki anti anak-anak, Gas!”

Bagas tak bisa menahan tawanya lebih lama lagi, bahkan Anjas dan Mara pun terlihat mengikuti jejaknya. “Sumpah, Tha! Wajah kamu sampai merah nahan marah waktu Denny sebut kamu berumur.”

“Jengkelin banget, sih! Tau git--”

“Maaf … aku benar-benar minta maaf karena harus pergi. Ada masalah di kantor,” kata Denny sambil mengulurkan tangan pada Mitha dan Bagas, tapi tidak pada kedua anak remaja berseragam putih biru di depan meraka berdua. “Next time kalau boleh, bisa ketemu Mitha lagi. Ini kartu namaku, kasih tahu kapan Mitha ada waktu kosong. Makan malam mungkin.” Mitha menerima kartu nama Denny dengan senyum lega di bibir yang di salah artikan teman Bagas, terlihat dari senyum cerah yang ada di wajahnya. “Bagas, makasih, ya.”

Keempat pasang mata mengikuti gerak langkah Denny menuju pintu keluar dengan perasaan lega. Mereka berempat merasa pertemuan yang hanya berlangsung tidak lebih dari lima belas menit tersebut seperti angin lalu. Karena mereka sepakat Denny bukan calon yang mereka cari.

“Om itu anti anak-anak, apa, ya? Padahal kita kan enggak gigit, ya, Om,” kata Mara pada Bagas.

Bagas mendorong gelas minum Mitha yang masih utuh, “Enggak, lah! Cuma emak kalian yang sukanya gigit.” Mitha melempar tissue bekas ke arah pria yang  belum bisa meredakan tawanya.

“Kamu kenal Denny Manusia Ikan itu di mana, sih, Gas? Enggak jelas banget teman kamu itu!” tawa kedua remaja yang geli melihat kelakuannya seakan menjadi mood booster setelah bertemu dengan calon pertama Bagas yang langsung Mitha coret dari daftar. “Mbok ya golek calon yang bener gitu, lah, Gas!”

Aku ngakak sendiri bikin judul bab ini, maafkan ketidakjelasanku yaak 😂😂😂😂

Love, ya!
😘😘😘
Shofie

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top