Bab 8
Good to go
Mitha melirik jam di dinding kamarnya, pukul sepuluh malam dan matanya masih enggan untuk terpejam. Karena sepanjang sore hingga malam hari, pikirannya penuh dengan penerimaan Anjas dan Mara pada rencana Bagas, walaupun mereka terlihat keberatan jika ia menikah lagi. Mitha merasa semua orang memintanya untuk beranjak dan kembali mencoba untuk membuka hati, sesuatu yang sebenarnya sulit ia lakukan saat ini.
Sekian menit langit kamarnya menjadi satu-satunya yang ia lihat dengan pikiran melayang ke segala arah. Hubungan tidak sehatnya bersama Aldy yang berpengaruh pada kedua anak mereka. Rencana Bagas yang membuatnya tak bisa berkutik dan harus menerima tawaran sahabatnya tersebut. Ada keraguan yang menggelitik hatinya, tapi Mitha memutuskan untuk meraih ponsel di atas meja nakas dan menghubungi pria yang ada di daftar panggilan cepat.
Gas
Bagas Aditya
Opo! Tumben malem-malem ngechat, kangen?
Males banget, Gas!
Bagas Aditya
Ya terus kenapa Mamita?
Dengan sangat berat hati, aku memutuskan benar-benar ikhlas menerima tawaran kamu.
Bagas Aditya
Kedawan, Tha. Bilang aja kalau anak-anak udah kasih izin!
Mitha segera bangun dari posisinya dan menatap ponsel di tangannya dengan mata membulat tidak percaya. Ia membanting ponselnya karena merasa kecolongan. Ia lupa kedekatan kedua anaknya dengan pria yang akhir-akhir menjadi lebih menjengkelkan. Ia yakin kedua anaknya pasti sudah menghubungi Bagas sepulang tadi. Mitha pun curiga selama ini Bagas sudah mengatakan rencana liciknya pada Anjas dan Mara.
Mulai kapan kamu cerita sama anak-anak, Gas?
Bagas Aditya
Pembukaan Mamita, waktu kamu sembunyi di workshop
Mitha jadi bertanya-tanya kenapa hidupnya menjadi tidak terkendali semenjak pembukaan Mamita. Meski semua pekerjaannya berjalan dengan baik, tapi hidupanya yang berjalan naik turun bagai di atas roller coaster, semenjak Bagas berniat untuk mencarikan dia suami.
“Heh, Gas elpiji, kamu udah males hidup, ya! Ngapain cerita anak-anak?!” Mitha mendamprat Bagas ketika pria itu menjawab teleponnya di dering kedua. “Harusnya kamu enggak cerita ke anak-anak. Karena aku enggak mau mereka berharap emaknya bakalan dapet bapak baru, Gas!” napasnya memburu mengingat semua kekacauan hidupnya semenjak ide gila Bagas muncul.
Gelak tawa menyambut omelannya, bahkan Mitha harus menunggu beberapa menitt hingga Bagas selesai dengan tawa penuh kemenangannya. “Aku cuma bilang, kalau kamu memiliki terlalu banyak cinta yang bisa di bagi untuk orang lain,” jawaban yang didengarnya masih membuatnya meradang. “Tadi Mas Saka cerita kamu ketemu papanya si kembar, kamu enggak apa-apa?” Nada menjengkelkan yang beberapa menit lalu di dengarnya berganti dengan nada kuatir yang membuat air matanya mengambang keluar.
Mitha harus menahannya karena ia berjanji pada dirinya sendiri tidak meneteskan air mata untuk Aldy. Ia merasa cukup sudah cukup semua air mata dan kesedihan yang dirasakannya tiga tahun lalu, ia tak ingin merasakannya lagi. “Aku capek, Gas! Kenapa Mas Aldy enggak ngebiarin aku hidup tenang?”
“kawin maneh, Tha!”
“Nikah, dodol! Nikah lagi, mbok kiro aku kucing!” jawab Mitha sengit yang langsung menutup telepon tanpa mengucap salam. Setiap kali suasana hatinya buruk, Bagas selalu datang dan membuatnya jengkel. Namun, yang tidak disadarinya adalah pria tersebut selalu berhasil membuat suasana hatinya berubah.
Bagas Aditya
Besok aku jemput!
Mau ngapain, Gas?
Besok aku ada ketemuan sama orang di GC
Bagas Aditya
Ketemu dengan calon nomor 1
Mitha tergoda untuk menolak ajakan Bagas, tapi mengingat permintaan kedua anaknya, ia tak sampai hati untuk melakukannya. Karena Anjas dan Mara, Mitha mencoba untuk menerima apapun yang semesta lemparkan padanya.
Kamu pasti sudah tahu syarat anak-anak. Jadi selain hari Minggu dan Sabtu, enggak ada pertemuan apa-apa.
Bagas Aditya
Ya wis, lah! Tapi besok tetep aku jemput. Ketemuan jam berapa sama orang itu?
Mitha sudah terbiasa dengan sikap Bagas yang semaunya selama ini, seperti saat ini. Ia memilih menjawab pertanyaan dari pads harus berdebat kenapa dia harus menjemputnya atau untuk apa pria itu ikut bersamanya seperti perdebat di awal-awal Mitha mengambil alih usaha ibunya.
“Aku anter, Tha!” kata Bagas setelah ia menutup sambungan telepon dari salah satu toko kain batik pelanggan ibunya yang terletak di jalan Ahmad Yani. Kening Mitha mengernyit mendapati sikap over protektif Bagas yang akhir-akhir ini muncul. Khususnya setelah ia resmi bercerai.
“Kamu kerja, aku enggak mau dimarahi Mas Saka karena partner kerjanya kelayapan,” ejek Mitha. “Lagian aku bisa kemana-mana sendiri, Gas!”
Bagas mengambil kotak rokok dan pematik hadiah darinya lalu berdiri dan menatap Mitha tajam, “Besok aku jemput dari pada kamu digondol kucing.”
Semenjak hari itu, jika Bagas mengatakan akan menjemputnya, Mitha malas untuk mendebatnya. Karena berdebat dengan pria itu hanya akan membuatnya semakin jengkel. Terlebih lagi saat Bagas tertawa penuh kemenangan karena ia tak membantahnya.serial ka
Gas
Bagas Aditya
Opo maneh, se, Tha?
Enggak jadi
Mitha hampir mematikan ponselnya ketika melihat nama Bagas muncul di layarnya. Sejenak ia ragu untuk menjawabnya, tapi mengingat kegigihan sahabatnya setiap kali menginginkan sesuatu, Mitha pun memutuskanuntuk menjawabnya.
“Apa?!” jawabnya.
“Yang biasanya ngegas, kan, aku. Kenapa tadi enggak jadi?” Ia sudah bisa menduga apa yang akan dikatakan Bagas. Pria itu tak bisa tidur jika ada sesuatu yang masih mengganjal di pikirannya, terkadang Mitha menggodanya dengan menggantung cerita lalu memutuskan sambungan. Akibatnya Bagas muncul di depan pintu rumahnya pagi-pagi, bahkan ketika ia masih belum sepenuhnya sadar. Mitha masih mengingat kejadian itu terjadi, beberapa bulan setelah perceraiannya.
“Kamu yang gantung. Kalau mau ngomong, ya, ngomong aja!” suara tegas dan berat Bagas membuatnya menutup bibir. Semua kekuatiran yang beberapa saat lalu membuatnya bingung menghilang dengan sendirinya. “Apa, mamita!”
“Aku mau bilang, kalau besok mau ketemuan sama calon nomor satu kamu, bisa kalau sepulang sekolah. Karena aku udah janji sama mereka, kan.”
Mitha mendengar napas lega lolos dari bibir Bagas, “Oke. Besok aku jemput di mana?”
“Ya enggak perlu di jemput, Gas. Aku jemput anak-anak lalu ke sana,” pinta Mitha. “Gas ….”
“Apa?”
“Besok aku harus pake baju yang gimana? Takut salah kostum, kan!” kali ini Mitha mendengar dengusan dari bibir Bagas. “Gas … itu kan temenmu. Aku pengen tahu biar enggak malu-maluin kamu, lah!”
Mitha menunggu beberapa menit hingga terdengar jawaban Bagas. “Jangan pakai lingerie, kalau perlu pakai daster biar kelihatan keibuan banget! Ojok dandan ayu-ayu, seng biasa ae!” jawab tegas Bagas sebelum memutuskan sambungan telepon tanpa salam seperti kebiasaan pria itu kalau sedang sibuk.
Ia kembali merebahkan badan dan memandang langit kamar. Mitha percaya Tuhan sudah menentukan jodoh untuk dirinya, tugasnya hanya satu. Berdoa meminta yang terbaik untuk kehidupannya dan juga kedua anaknya.
Maaf kalau belum bisa balas satu persatu komen teman-teman semua, thank you yang sudah sempat mampir dan meninggalkan jejak.
Hampir enggak update hari ini ... Karena keremponganku seharian ini.
Happy reading
Love, ya!
😘😘😘
Shofie
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top