Bab 5

Pertemuan

Mitha menatap sebal ke arah pintu ketika melihat seorang pria terlihat memasuki kafe dengan tangan merangkul pundak perempuan yang berjalan bersisian dengannya. Senyum tak lepas dari bibir keduanya, membuatnya semakin muak melihatnya. Ia bukan iri melihat kebahagian pria itu, tapi marah karena Aldy membawa istrinya untuk bertemu siang ini. Pasalnya Aldy meminta bertemu untuk membicarakan masalah anak-anak mereka.

“Sudah lama, Tha?” tanya Aldy yang menarik kursi untuk perempuan yang menatapnya dengan ragu. Mitha hanya mengedikkan pundak ke arah pria yang masih tidak merasa bersalah setiap kali bertemu dengannya.

“Mari kita berpisah,” ucap Aldy setelah menyelesaikan makan malam mereka. Mitha sengaja menitipkan kedua anak mereka di rumah keluarganya agar ia memiliki waktu berdua dengan suaminya untuk merayakan hari pernikahan mereka.

Tangan yang memegang gelas air minum berhenti di udara ketika ia mendengar suara pelan dan tanpa ada keraguan sama sekali keluar dari pria yang menikahinya dua belas tahun lalu. Dengan tangan gemetar, Mitha meletakkan gelas sebelum menatap Aldy. Ia membutuhkan waktu beberapa menit untuk mengatur napas dan berdoa semoga telinganya salah mendengar.

“Mas bilang apa?” tanyanya pelan.

“Aku ingin kota berdua bercerai!”

Napasnya tercekat, dan tak lama kemudian keringat dingin mulai bermunculan. Ia bahkan bisa merasakannya mengalir di sepanjang tulang punggung yang ia tegakkan begitu mendengar permintaan yang tidak masuk akal dari bibir Aldy. Pria tinggi, gagah, berkulit putih dengan lesung pipi di sebelah kanan. Pria yang selama ini ia sebut di setiap akhir sujudnya. Pria yang berselingkuh di belakangnya semenjak tahun lalu. “Karena kamu mau nikahi kekasihmu yang sudah hamil dua bulan, iya, kan, Mas?”

Wajah pias pria yang selalu terlihat sempurna tak luput dari pengamatannya saat ini. Ia bisa melihat bibir Aldy mengeras dan sorot mata penuh kemarahan tertuju kepadanya. “Enggak usah marah gitu. Aku tahu kok, hanya pura-pura enggak tahu, dan saat ini aku menyesali keputusanku itu.”

“Kalau kamu tahu, kenapa diam selama ini?!”

Sesak di dadanya semakin terasa mendengar nada penuh kemarahan yang Aldy tujukan padanya. Bahkan saat ini ia bisa merasakan detak jantungnya semakin tidak beraturan. Mitha meraba dada kirinya dan berharap ia tidak pingsan saat ini. Karena ia harus menjadi perempuan kuat, bukan untuk diri sendiri, tapi untuk kedua anak-anaknya. “Kenapa harus aku yang mengatakan sesuatu? Di antara kita siapa yang enggak bisa nahan nafsu! Aku? Enggak, kan?!”

Mita melonjak ketika Aldy menggebrak meja dan menunjuk dirinya dengan mata memerah menahan marah, “Kam—"

“Kamu yang sselingku,” sela Mitha. “Jadi laki-laki jantan dan akui kesalahanmu, bukannya berharap aku yang mengatakannya. Aku hanya berharap papa yang jadi panutan kedua anakku akan bersikap seperti layaknya seorang laki-laki dan memulai sesuatu setelah mengakhiri apapun yang kita punya. Namun, ternyata aku salah. Kau tidak cukup punya nyali untuk itu.” Mitha berdiri dan meninggalkan meja makan di mana Aldy masih terdiam. “Kirim gugatan ceraimu ke rumah Ibu, aku enggak akan menghabiskan satu malam lagi di rumah ini. Kalau Mas mau kasih rumah ini untuk selingkuhan kamu, silahkan.”

“Tha, ada apa sama anak-anak?!” suara keras Aldy membuat ingatan malam itu menghilang, terganti dengan wajah pria yang masih membuatnya marah. Sosok pria yang berhasil mengelabuhi semua orang dengan senyum menawannya. “Kamu pasti cerita sama mereka. Iya, kan?!” tuding Aldy ke arahnya tanpa merasa berdosa.

“Maksud kamu apa, sih, Mas?! Sepanjang kamu selingkuh sama dia,” kata Mitha tanpa menoleh ke arah perempuan yang menundukkan kepala semenjak keduanya duduk di depannya. “Bibirku terkunci dan enggak pernah mengatakan satu patah katapun tentang itu pada mereka. Aku harus menelan semua kelakuan kamu sebelum dan setelah kamu menceraikanku!”

Mitha berdiri bersiap meninggalkan mereka berdua, “Aku enggak tahu apa yang terjadi semalam saat anak-anak di rumah kamu, Mas. Yang pasti, enggak seharusnya Mas nuduh aku cerita aib kamu ke anak-anak!” Mitha marah dan merasa dipermalukan. Tanpa mempedulikan panggilan Aldy yang mengundang perhatian, ia menuju pintu keluar dan mengarahkan kakinya menuju deretan kursi yang ada di bagian outdoor kafe tersebut. Ia terlalu marah untuk menyetir dan membahayakan nyawanya dan orang lain. Setelah memilih kursi yang sedikit tersembunyi dari pandangan orang, ia duduk, menumpu siku di atas lutut dan mencoba untuk meredakan amarah yang ada di hatinya. Ia bahkan tidak memperhatian sekelilingnya, hingga tidak menyadari Saka yang juga berada di tempat yang sama.

Pria yang duduk tak jauh dari pintu masuk kafe itu terkejut ketika mendapati Mitha melewatinya tanpa melihatnya. Pasalnya posisi duduknya saat ini paling mudah untuk dikenali. Namun, saat Saka melihat arah yang Mitha tinggalkan, ia mengerti kenapa sahabat adiknya terlihat berbeda.

“Kamu di mana?” tanya Saka saat Bagas menjawab teleponnya.

“Di Blitar, Mas. Kenapa to?” tanya Bagas yang terdengar terganggu dengan pertanyaan kakaknya. “Bukannya kamu ada rapat sekarang?” Saat memutuskan untuk memulai usaha ini, Saka hanya memikirkan satu nama untuk dia ajak bekerja sama, dan Bagas terbukti menjadi rekan kerja yang berharga baginya. Meski terkadang membuatnya jengkel dengan kelakuan dan kebiasaan telatnya. “Kenapa, Mas?”

“Pacarmu di sini, kelihatan kacau.”

Mitha di sana? Ngapain?” Saka mengulum senyum ketika mendengar Bagas langsung menyebut nama Mitha saat ia menyebut kata pacar. “Dia sama siapa, Mas?”

“Sendiri. Tapi aku lihat pria yang datang waktu pembukaan Mamita minggu lalu,” jawab Saka.”

“Bisa temani dia Mas? Jangan biarin kemana-mana dulu, dia pasti lagi marah jadi nunggu sampai tenang baru nyetir.”

Saka terkadang heran melihat kelakuan adiknya. Terkadang dia bisa menjadi laki-laki santai tanpa ada target yang harus dikejar, tapi berubah ketika berhadapan dengan Mitha. Perhatian yang Bagas berikan kepada Mitha dan kedua anaknya membuatnya Saka bertanya-tanya dalam hati.

Kopi di cangkirnya sudah tandas semenjak ia melihat Mitha melewatinya, ia berdiri dan masuk untuk memesan sesuatu sebelum menuju perempuan berambut panjang dengan wajah kotak yang masih terlihat menahan marah. “Silahkan,” katanya. “Untuk mengurangi apapun yang ada di kepalamu saat ini.”

Ia mundur satu langkah ketika Mitha mengangkat kepalanya dan membelalakkan mata ketika pandangan keduanya bertemu. Tidak ada senyum di bibir mereka, bahkan ia hanya diam menanti perempuan yang terlihat terkejut itu mengatakan sesuatu.

“Mas Saka ….” Kata Mitha lirih.

“Aku bisa pergi kalau kamu merasa enggak nyaman,” kata Saka tanpa mempedulikan Mitha yang masih terlihat terkejut ke arahnya. “Sepertinya aku gang—"”

Saka mundur bersiap untuk memutar badan ketika mendengar kembali suara Mitha. “Stay, please. Setidaknya kehadiran Mas bisa membuatku enggak berubah menjadi Hulk.” Ia menahan senyum mendengar suara itu, karena ia tak bisa membayangkan perempuan cantik berambut panjang itu berubah berwarna hijau seperti tokoh dari Marvel yang Mitha sebut.

Ia memutuskan untuk duduk di depan Mitha yang saat ini mengalihkan pandangan ke arah cangkir berisi teh dengan irisan lemon dan mengamati perubahan wajah yang ditemuinya beberapa kali akhir-akhir ini. Meski sinar mata perempuan di depannya telah berubah, tapi Mitha tetap terlihat cantik dan ia bisa mengerti kenapa Bagas tidak bisa jauh dari perempuan di depannya. “Kamu … baik-baik saja?” tanyanya. Saka tak bisa melepas pandangan dari Mitha yang masih tertunduk dan tak terlihat ingin menjawab pertanyaannya. Ia pun diam menanti tanpa berusaha menganggu ketenangan perempuan di depannya.

“Selama ini … aku selalu berusaha untuk menjadi ibu yang baik bagi mereka berdua,” kata Mitha masih setia memandang cangkir di depannya. “Aku kira dengan tidak mengatakan yang sejujurnya adalah pilihan yang bijak, tapi ternyata aku salah. Tuhan ingin aku berhenti untuk memperlakukan mereka berdua seperti anak-anak, karena mereka sudah bisa menerima apapun keadaan kedua orang tuanya.”

Helaan napas Mitha yang masih enggan mengangkat kepala terdengar jelas. “Hari ini, ada seorang pria yang menganggapku enggak becus mendidik anak. Menuduhku sudah membuka aib pada kedua anaknya dan yang paling membuatku muak adalah, pria itu enggak merasa bersalah sama sekali!” Kebencian bisa Saka rasakan di tiap kata yang Mitha ucapkan. “Kenapa aku yang harus menanggung semua rasa bersalah ini.”

Merasa bahwa curhatan Mitha tidak memerlukan jawaban, Saka hanya diam dan menanti hingga perempuan di depannya selesai memuntahkan semua unek-uneknya. Sesekali Saka mengecek ponselnya untuk melihat pesan dari Bagas yang semuanya berisi dengan kekuatiran untuk sahabat-mantan rasa pacarnya.

“Apakah aku salah menyimpan semuanya, Mas? Bukan karena aku merasa paling kuat, tapi karena aku enggak ingin orang di sekitarku merasakan apa yang ada di hatiku. Aku salah, ya, Mas?” tanya Mitha.

“Kamu sibuk mengusahakan kebahagiaan semua orang. Namun, siapa yang akan mengusahakan kebahagiaanmu, Tha?” tanyanya dengan hati-hati, karena tak ingin menimbulkan masalah baru bagi mantan kekasih Bagas.

“Tuhan yang akan mengusahakan kebahagiaanku, Mas,” jawabnya setelah mengangkat kepala dan memandangnya tepat di kedua bola matanya.

Saka tersenyum mendengar jawaban Mitha, “Saya tahu Tuhan yang mengusahakan kebahagiaanmu, tapi bukan berarti kamu tidak berusaha untuk bahagia, kan?”

Happy reading guys
Love, ya!
😘😘😘
Shofie

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top