Bab 14 (REPOST!)
Nata de Coco
Kafe yang terletak tepat di samping lapangan basket menjadi pilihan setiap kali ia mengantar kedua anaknya untuk latihan basket, olahraga yang keduanya geluti semenjak masuk SMP. Ia bersyukur ketika Bagas mengenalkan Basket pada mereka berdua, menjadikan keduanya sibuk dan mengalihkan pikiran dari peliknya hubungan kedua orang tua mereka.
Ketika Bagas mengatakan akan mengenalkan calon nomor dua setelah ia menceritakan tentang tuduhan Aldy minggu lalu, ia merubah tempat untuk bertemu di sini. Karena syarat kedua anaknya yang harus kenal dengan siapapun yang akan dikenalkan Bagas.
Mengenal Bagas semenjak di bangku kuliah, waktu adalah kekurangan pria yang semenjak pagi mengirimkan pesan berisi ancaman untuk datang tepat waktu. Sepuluh menit sebelum waktu yang ditentukan, ia belum melihat batang hidung mantan pacarnya itu. Mitha memilih untuk membuka novel misteri yang belum diselesaikannya semenjak minggu lalu.
"Tha!" Karena terlalu larut dengan novel di tangannya, ia sedikit terlonjak ketika mendengar panggilan itu. "Udah lama? Sorry enggak bisa jemput," kata Bagas sambil menarik kursi di samping kanannya. Namun, matanya sesekali melirik kehadiran pria yang semenjak kedatangannya hanya senyum dan tidak berkata apa-apa.
"Sorry, tadi ajak Mas Saka," kata Bagas. "Karena kamu ganti ke sini, jadi sekalian aja aku ajak teman-teman Basket di sini."
"Apa hubungannya sama Mas Saka, sih, Gas?!" bisiknya sesaat setelah melihat Saka berdiri dan menuju counter, "Kebangetan kamu, Gas! Kenapa ajak Mas Saka kalau mau ngenalin aku sama teman kamu?!" tanyanya tidak percaya dengan kelakuan sahabat durhakanya tersebut.
Bagas melirik kakaknya lalu kembali memandangnya, "Mas Saka mau basket, Tha. Jadi sekalian, lah!" jawabnya enteng. Membuatnya ingin menggeplak kepala Bagas.
"Sekalian gundulmu! Kamu mau nyomblangin aku sama temanmu atau kakakmu! Urusan begini kok bawa Mas Saka!" Mitha mencecar Bagas yang tak terlihat keberatan mendapat omelan.
"Heh! Aku enggak mau punya kakak ipar tambahan. Lagian kamu bawa anak-anak, kan!"
"Beda kasus, dodol!" hardiknya bersamaan dengan Saka meletakkan nampan berisi tiga gelas minuman. "Mas Saka belikan aku minum juga?" Ia heran melihat sikap Saka bertolak belakang dengan Bagas yang tak terlihat merasa bersalah karena membawa kakaknya hari ini. "Makasih, ya. Mas."
"Minum dulu, baru hajar Bagas." Mitha tersenyum ketika melihat Saka melirik Bagas. "Saya enggak tahu kalau kalian ada janji hari ini. Kamu ngapain ke sini?" Tanya Saka heran.
Pria di depannya mengikuti arah yang ditunjuknya lalu mengangguk mengerti ketika melihat kedua anaknya mengangkat tangan ke arah mereka sebelum kembali memperhatikan pelatih menunjukkan gerakan yang harus mereka ikuti. Keseriusan keduanya seakan menjadi angin segar bagi Mitha yang tidak bisa berhenti menguatirkan mereka. Ia Selalu ingin tahu apa yang mereka pikirkan dan rasakan, karena sebagai perempuan yang gagal mempertahankan rumah tangganya, ia tak mau gagal menjadi ibu bagi mereka berdua.
"Ta, sini!" teriak Bagas membuyarkan lamunannya. Matanya mengikuti gerak Bagas yang berdiri ketika melihat salah satu dari beberapa pria yang memasuki kafe berjalan ke arahnya. "Itu temanku yang mau aku kenalin ke Mitha, Mas," kata Bagas tanpa mengalihkan pandangan dari orang yang ia maksud. "Namanya Adinata, semua manggil dia Nata. Tapi aku panggil dia Nata de coco," kata Bagas tanpa merasa bersalah menyamakan nama temannya dengan produk minuman.
Mitja hanya mengedikkan pundak ketika Saka memandangnya dengan alis terangkat, seolah-olah ia berkata, Bagas beneran comblangin kamu sama temen dia?
"Jangan tanya kenapa aku mau!" katanya. "Aku sudah pernah menolak adikmu. Tapi Mas Saka pasti tahu kalau terkadang Bagas itu enggak punya telinga." Mitha berusaha menjelaskan secepat yang ia bisa ketika mendapati pria yang Bagas panggil berjalan ke arah mereka.
Kesan pertama yang ia dapat ketika melihat teman Bagas adalah ramah, karena sepanjang pria itu berjalan menuju mereka bertiga, senyum di bibirnya tak berkurang sedikitpun. Entah pria itu bersemangat untuk berkenalan dengannya atau memang begitulah wajah teman Bagas.
"Gas, apa kabar?" tanya pria yang langsung menempati kursi kosong di samping Mitha. "Hai. Kamu Mitha, mantan pacar Bagas waktu kuliah, ya?" tanya Nata padanya yang terpaksa menerima uluran tangan pria itu. "Bagas sering banget cerita tentang kamu."
"O gitu. Bagas enggak pernah cerita tentang kamu." Entah apa yang membuatnya menjadi sinis, ketika menerima uluran tangan Nata, ia merasa sesuatu yang berbeda pada teman Bagas tersebut. Sesuatu yang membuatnya tidak nyaman dan menyesali kenapa setuju untuk berkenalan dengan calon nomor dua. "Maaf ketemuannya pindah ke sini. Karena sekalian anter anak-anak latihan."
"Enggak masalah. Kita memang ada jadwal untuk basket minggu ini, jadi sekalian," jawab Nata tanpa mengalihkan pandangan darinya. "Saka, ya? Saya ngenalin dari foto yang ada di ruang tamu rumah Bagas, tapi belum pernah kenalan sama kamu."
"Nata ini temen main basket, Mas. Umurnya enggak beda banget, lah, sama aku sama Mitha. Ya, kan, Ta?" tanya Bagas ke arah Nata yang mengangguk sebelum sibuk mengeluarkan beberapa barang dari duffel bag yang diletakkannya di dekat kakinya. Mitha melirik pria yang mengeluarkan dua buah ponsel, satu pak rokok dan pematik zippo berwarna silver.
Memandang kotak rokok, matanya melotot ke arah Bagas yang juga melihatnya. Karena semenjak hamil, Mitha tidak bisa bernapas setiap kali ada asap rokok di dekatnya. Ia masih bisa menolerir jika orang tersebut tidak duduk di sebelahnya, tapi paru-parunya segera protes jika asap rokok itu terlalu dekat, seperti yang hendak Nata lakukan jika tidak Bagas hentikan.
"Ta, Mitha enggak bisa kena asap rokok!" Bagas menghentikan gerakan Nata yang mengeluarkan satu batang dan bersiap untuk menyulutnya. Nata meliriknya sebelum meminta maaf, "Sorry, Gas, Tha. Aku belum ngerokok sejak pagi tadi," kata Nata. "Aku ke sana dulu, ntar balik lagi."
Bagas memandang Mitha dan Saka dengan senyum kikuk, karena ia tidak menyangka perkenalan yang direncanakan kacau sebelum dimulai. Saat ini yang ada di pikirannya adalah, Mitha pasti ingin menggorok lehernya karena mengenalkan orang macam Nata yang tidak memiliki sopan santun sama sekali.
"Yang bener aja, Gas! Kamu mau ngenalin laki enggak sopan seperti itu!" protes Mitha tak lama setelah Nata meninggalkan meja meraka. "Meski pilihanku terbatas, bukan berarti orang seperti itu yang kamu kenalin ke aku dong!"
"Sorry, Tha. Aku ngerti dia ngerokok, aku udah bilang jangan ngerokok dekat kamu," kata Bagas ke arah Mitha yang sesekali melirik pada kakaknya. "Sepanjang aku kenal Nata, orangnya selalu sopan dan engak serampangan seperti tadi." Bagas menatapnya dengan sorot penuh penyesalan di matanya. "Tunggu, aku ke sana dulu, Tha." Mitha mengedikkan pundak ketika Bagas meninggalkan meja menuju Nata.
Nata pria yang menawan. Badannya yang tinggi besar justru menarik bagi Mitha, berbeda dengan Bagas yang memiliki badan ramping dengan kulit sedikit coklat. Senyum Nata bisa membuat siapapun betah untuk melihatnya, tapi ada sesuatu yang membuatnya tidak nyaman. "Ganteng, sih ... tapi rasanya ada sesuatu yang bikin aku enggak nyaman," katanya tanpa mengalihkan pandangan dari Nata, Bagas dan beberapa pria yang baru saja memasuki kafe.
"Yang kamu lihat itu Bagas atau Nata?"
"Hah! Ya Nata, lah, Mas!" hardik Mitha yang terkejut karena mendengar suara Saka. Karena sebenarnya ia lupa keberadaan Saka di depannya yang mengulum senyum melihatnya. "Bagas bukan Nata, catet, Mas!"
Suasana kafe mulai ramai ketika latihan selesai dan beberapa anak berhambur menuju orang tua masing-masing yang sebagian besar menunggu. Keduanya mendengar panggilan dari arah belakang dan diikuti kemunculan Anjas dan Mara yang memberondongnya dengan cerita tentang latihan dan keberhasilannya mencetak dua angka. Bahkan ia mendengar tentang latihan di luar kota yang akan diadakan saat liburan sekolah tiga bulan mendatang. "Guys ... satu persatu, Mama enggak bisa dengar apa yang kalian omongin!" hardiknya. "Salim dulu sama Om Saka!"
Kedua anak yang bercucuran keringat bergantian mengulurkan tangan pada pria di depannya lalu mencium punggung tangannya. "Sebenarnya umur berapa kalian berdua ini?" tanya Saka.
"Tiga belas," jawab keduanya bersamaan.
"Dan kalian berdua sudah setinggi ini. Makan apa kalau di rumah?"
Mendengar pujian yang ditujukan pada kedua anaknya, Mitha tak bisa menahan rasa bangga yang menelisik ke dalam hatinya. Melihat keduanya tumbuh sehat dan menjadi remaja normal meski kehidupan kedua orang tuanya jauh dari kata normal, membuatnya tak henti-hentinya untuk bersyukur. Ia tersenyum dan mengucapkan terima kasih pada Ajisaka yang sudah membuat kedua anaknya bahagia hanya dengan pujian kecil seperti itu.
. "Sorry, aku enggak tahu kalau Bagas bakalan ngenalin kamu sama temannya hari ini. Aku minta maaf kalau sudah buat kamu enggak nyaman," Kata Saka ketika Anjas dan Mara berjalan menuju counter.
"Mas Saka enggak salah. Enggak apa-apa. Aku aja yang bodoh banget, mau-maunya di comblangin Bagas," jawabnya dengan senyum di bibir. "Aku sudah nolak adikmu itu, Mas. Tapi ... ya gitu itu. Lagian kedua anak itu mengajukan syarat, aku boleh kenalan sama siapapun, mereka berdua harus ikut."
Saka mengukuti arah pandangnya. Mitha tersenyum ketika melihat tawa ada di bibir kedua anaknya yang memiliki tinggi badan seimbang. "Saya setuju sama mereka," jawab Saka. "Aku tinggal dulu," kata Saka ketika melihat Nata berjalan menuju tempatnya duduk. Kedua pria yang memiliki tinggi badan sama terlihat berbeda saat berdiri bersisian, Saka memiliki badan seperti Bagas, bahkan kulitnya sedikit lebih gelap dibanding Bagas.
"Hai ... aku benar-benar minta maaf." Mitha menanggapi dengan senyum sebelum mengedarkan pandangan ke seluruh sudut kafe mencari keberadaan kedua anaknya. "Bagas bilang anak kamu latihan di sini?"
Mitha menunjuk kedua anaknya yang bercanda bersama Bagas dan Saka. "Anjas dan Mara," jawabnya.
"Wow, kembar. Aku selalu tertarik sama anak-anak kembar begitu, melihat wajah yang terlihat sama tapi berbeda. Atau melihat bagaimana mereka bisa saling melengkapi, membuatku kagum." Sepanjang mengatakan kekagumannya, Nata tak mengalihkan pandangan dari kedua anaknya. Berbeda dengan Denny manusia ikan, yang seolah takut berhadapan dengan Anjas dan Mara.
"Ta, ayok!" ajak Bagas. "Tha, kamu enggak apa-apa pulang sendiri sama anak-anak?" Mitha menyadari perubahan sorot mata Nata ketika mendengar pertanyaan Bagas untuknya. Ia bisa merasakan itu, tapi memutuskan untuk tidak menanyakannya. "Kabari kalau sudah di rumah!" Teriakan Bagas masih sempat didengarnya ketika langkahnya belum terlalu jauh meninggalkan mereka berdua.
Nah ... Ketemu Mas Nata yang menggemaskan.
Aku tergoda untuk nulis Mas Nata, tapi belum dapat Ide .... Simpen aja dulu deh
Happy reading guys
Love, ya!
😘😘😘
Shofie
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top