[BAB 1]
Febuari, 1850
"... Pau—"
Paul menegakkan tubuhnya, napasnya terengah-engah, dan setetes air turun melewati pelipisnya. Kepalanya seketika dilanda rasa pening, hingga membuatnya meringgis kecil.
Mimpi itu lagi,—batinnya.
Sudah hampir tiga tahun Paul melewati malam terkutuk yang menewaskan keluarganya, dan selama itu pula bayangan pembunuh keji itu terus berputar-putar dalam pikirannya.
Paul mengelap pelipisnya yang penuh keringat, lalu beranjak menuruni ranjangnya. Dengan penglihatan yang minim diakibatkan tidak ada cahaya, dia berjalan menuju jendela dan membukanya.
Paul kemudian mendongak, menatap nanar pada langit yang masih gelap, kemudian menghembuskan napasnya lemah.
"Apakah kalian bahagia di sana?" tanyanya—masih menatap pada langit gelap.
"Aku harap kalian bahagia," jawabnya sendiri, menahan air mata yang sudah mengumpul di pelupuk matanya.
"Apa kalian masih mengingat janjiku tiga tahun yang lalu?" tanyanya lagi—dan masih menatap pada langit gelap itu. "Janji bahwa aku akan menemukan siapa pembunuh keji itu dan menghancurkan kehidupannya sampai dia merasakan penderitaan yang kita rasakan ...,"
Paul tertawa kecil dan air matanya berhasil jatuh turun melewati pipinya yang sudah memerah akibat menahan kemarahannya—tepat saat mengingat pembunuh keji dan malam terkutuk yang menimpa keluarganya.
"Tentu saja aku akan menepatinya," dan lagi, dia menjawabnya sendiri.
Dia menghapus air matanya, kemudian tersenyum miring. "Kalian akan mendukungku dari sana, kan?"
Paul melihat satu bintang bersinar dengan terang di atas langit gelap itu. "Aku yakin, kalian pasti akan mendukungku. Terimakasih," sekali lagi, dia menjawab pertanyaannya sendiri.
Ting ...
Bunyi *burglar alarm miliknya, mengusik Paul dari kenangan yang tadi dia rasakan.
Secepat kilat, Paul menutup jendelanya.
Ting ...
Paul berbalik, melesat dengan cepat ke belakang pintu kamarnya, berdiri dengan tegak, dan dengan sikap siap untuk menerjang siapa yang telah berani masuk ke dalam kamarnya di saat langit masih gelap.
Ting ...
Pintu kamarnya terbuka dengan lebar, hampir mengenai batang hidungnya.
"Tenanglah! Ini aku," seorang pria dengan suara tak asing di telingnya, membuat Paul menghembuskan napas lega.
Paul keluar dari tempat persembunyiannya dan tepat saat itu juga pria yang telah lancang masuk ke dalam kamarnya menyodorkan lampu minyak ke depan wajahnya, membuat kakinya mundur selangkah.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Paul, karena pria itu malah semakin mendekatkan lampu minyak tersebut padanya sehingga membuat dirinya terus-menerus mundur.
"Aku hanya ingin melihat wajahmu dengan jelas di dalam kegelapan yang kau ciptakan ini," jawab pria itu—Jareth Raynard, agen mata-mata J-SA 500, pria yang telah menolongnya tiga tahun yang lalu.
"Kenapa kau tiba-tiba masuk ke dalam kamarku tanpa mengetuknya? Kau hampir membuatku jantungan," desis Paul.
Jareth menatap jendela kamar Paul, tanpa menunjuknya. "Aku tadi melihatmu ada di depan jendela,"
"Apa yang kau lakukan di bawah sana?" tanya Paul—kali ini dia penasaran.
"Aku hanya ... sedang tidak bisa tidur," jawab Jareth. "Kau sendiri, kenapa kau tidak tidur? Apakah ... kau bermimpi buruk lagi?"
"Kau tidak perlu bertanya lagi, Jareth! Sepertinya, bunga tidur yang sangat buruk ini tidak akan hilang sebelum aku menemukan dan membalas apa yang dilakukan pembunuh itu," jawab Paul.
Paul berjalan mendekati ranjangnya dan diikuti Jareth dari belakang. Mereka kemudian duduk bersampingan di tepi ranjang.
"Aku tak akan mengizinkanmu mencarinya, Paul!" ucap Jareth dengan nada dan guratan tegas di wajahnya.
"Apa maksudmu?" tanya Paul, tak mengerti. "Kau sendiri yang waktu itu mengatakan padaku, kalau kau berjanji akan membantuku mencarinya. Apa kau ingin mengingkari janjimu?"
"Aku memang berjanji," jawab Jareth. "Tapi aku tidak bilang kalau kau harus ikut turun tangan mencarinya."
"Aku tidak mau!" Paul memberontak tegas dan dengan tatapan marah menatap Jareth. "Aku harus ikut campur tangan mencari pembunuh itu. Aku tak akan membiarkannya lolos."
Jareth mencoba menahan emosinya agar tetap stabil, dia sangat tahu kalau hal seperti ini pasti akan terjadi.
"Aku tidak mau kau terluka, Paul. Apa kau tidak ingat bagaimana cara dia membunuh kakakmu? Dia membunuh tanpa belas kasihan. Bagaimana jika itu terjadi padamu?"
Paul kini berhasil berdiri dengan kaki bergetar. "Aku tidak peduli, Jareth!" bentak Paul, keras.
"Tapi aku peduli!" bentak Jareth tak kalah keras—kali ini dia tidak dapat menahan emosinya lagi. Wanita muda di hadapannya memang sangat keras kepala.
Paul kemudian terdiam.
"Aku mengikuti pelatihan keras selama ini hanya untuk menemukan pembunuh itu dan membalaskan dendamku padanya. Tapi, kenapa kau terlihat ingin menghalangi jalanku?" tanya Paul—pipinya sudah memerah, karena marah. Dia benar-benar tidak terima jika Jareth ingin menghentikan jalannya.
"Aku tidak bermaksud untuk menghalangi jalanmu, Paul. Kau harus mendengarkanku!"
"Aku tidak mau mendengar alasan apapun darimu. Kau bukan pria topengku lagi!" ucap Paul. "Kau!" Tunjuknya pada Jareth. "Keluar dari kamarku!"
Jareth berdiri. "Paul, bisa dengarkan aku?" Pria itu memegang kedua bahu Paul. "Aku hanya tidak ingin kau terluka. Bisakah kau pahami hal itu?"
Paul menepis kedua tangan Jareth dari bahunya. "Aku tidak peduli!" teriaknya—kali ini lebih kuat, dan saat itu juga seseorang membuka pintu kamar Paul lagi.
"Apa yang sedang kalian lakukan?"
🎭🎭
"Apa yang kau lakukan di kamar Paul, J-SA 500?" tanya seorang yang duduk tepat di hadapan Paul dan Jareth—seorang pria yang sudah cukup berumur.
"Aku hanya tidak bisa tidur dan melihat Paul juga seperti itu di depan jendelanya. Jadi aku menghampirinya," jawab Jareth dengan santai.
"Apakah benar seperti itu, Paul?" tanya pria berumur itu lagi, lebih kepada Paul.
"Benar, Mr. Bean." Paul menjawab pertanyaan pria berumur yang dipanggilnya dengan Mr. Bean.
"Namaku Binardo, Paul!" tegur Binardo.
Paul terlihat cemberut, namun kali ini hal itu berhasil membuat Binardo menghembuskan napasnya lelah. "Baiklah, baiklah. Sekarang kau kubebaskan memanggilku dengan nama apapun itu. Aku sudah tidak peduli."
Paul mengerjap dan matanya berbinar senang. "Benarkah?" tanyanya.
Dari awal Paul dibawa ke kediaman Binardo, dia melihat Binardo sebagai lelaki yang menyukai kacang. Karena di saat pertama kali dia menemui Binardo, pria berumur itu sedang memakan hidangan yang mengandung kacang-kacangan.
Sangat cocok dengan namanya. Mr. Bean.—batin Paul.
"Tentu, Paul." Binardo tersenyum. "Itu karena kau telah menjadi sepercik cahaya dari sebagian kebahagiaanku. Kau selalu mengingatkanku pada Daniella, putriku."
Sudah tidak dirahasiakan lagi di dalam kediaman yang besar tempat sekarang Paul berada. Setiap anggota mata-mata di dalam kediaman ini telah mengetahui tentang kejadian yang menimpa keluarga Binardo. Istri dan anaknya mati dibunuh karena dia mengetahui rahasia penggelapan yang dilakukan oleh Duke of Normanby—yang saat itu bekerja sama dengannya.
Duke itu mengancam Binardo untuk tutup mulut. Akan tetapi, Binardo tidak mau dan berencana untuk membeberkan kejahatan yang dilakukan Duke tersebut. Tapi sayangnya, sebelum dia berhasil membuka kejahatan tersebut, kejadian terkutuk menimpa keluarga Binardo.
Oleh karena itu, dia membentuk suatu kubu yang menyatukan semua orang yang mengalami penderitaan yang hampir sama dengannya—terutama yang dilakukan oleh Duke tersebut. Binardo membentuk kubu dan menjadikan mereka mata-mata yang sangat hebat untuk menghancurkan musuhnya dari dalam secara perlahan-lahan. Dan tentu saja, Binardo berhasil melakukannya.
Dan kubu itu di bangun dalam sebuah pulau terpencil yang tidak di huni oleh seorang pun. Binardo membangun negara mata-matanya sendiri dan rumah itu diberi nama dengan Secret Agent B-SA 0, dengan nama samaran kerajaan Dorchester. Di sanalah anggota Secret Agent tinggal.
Di karenakan tempat tersebut sangat sulit untuk ditemukan—karena memang itu adalah tempat yang benar-benar rahasia, mereka yang membutuhkan pertolongan pekerjaan dari Secret Agent hanya bisa menerima pertolongan itu di saat mata-mata itu sendiri yang datang menghampiri mereka.
"Oke, baiklah. Sekarang aku ingin bertanya. Kenapa kau berteriak, Paul?" tanya Binardo.
"Kali ini, biar aku yang menjelas—"
"Aku yang akan menjelaskan sendiri!" Paul memotong perkataan Jareth dan menatap pria itu dengan tatapan tajamnya. Dia lalu menujuk Jareth. "Dia melarangku untuk turun tangan mencari pembunuh keluargaku."
Binardo mengalihkan pandangannya pada Jareth dan menatap pria itu.
"Aku hanya tidak ingin dia terluka, Binardo."
"Aku tidak akan terluka," jawab Paul dengan berani. "Aku sudah berlatih dengan keras. Sekalipun kau dan Mr. Bean melarangku, aku tidak peduli!" bentaknya tepat di wajah Jareth.
"Paul, hentikan!" Binardo menginterupsi. "Kau harus menjaga etikamu, Paul! Kau adalah seorang lady."
"Aku bukan seorang lady lagi! Aku adalah mata-mata!" tegas Paul.
"Oke, baiklah. Kau adalah satu dari keduanya." Binardo menarik napasnya, pelan. "Kau adalah seorang lady dan seorang mata-mata. Aku tidak akan melarangmu untuk turun tangan mencari pembunuh itu, Paul. Kau berhak mencari dan membalaskan dendammu. Tapi, aku juga berharap jika kau tidak menghilangkan sikap kebangsawananmu sebagai seorang lady, karena kau sebentar lagi akan membutuhkannya saat turun tangan mencari pembunuh itu."
"Apakah ...," suara Paul terdengar ragu.
"Ya. Aku tahu, kau pasti dapat menebaknya sekarang." Binardo tersenyum miring. "Aku rasa pembunuh itu ada di dalam sebuah pihak salah satu dari bangsawan itu. Atau ... bangsawan itu sendirilah yang telah membunuh keluargamu."
Paul mengepal telapak tangannya, hingga membuat buku-buku jarinya memutih.
"Siapa dia?" tanya Paul, berdiri dan memukul meja tua di depannya.
"Paul!" Jareth menahan tangan Paul, menarik wanita muda itu, namun tak bergeming.
"Siapa dia?" tanya Paul lagi, keras kepala.
"Tenanglah Paul!" Binardo berbicara dengan tenang. "Aku tentu akan memberitahumu setelah kau menyelesaikan pelatihanmu. Tunjukkan bahwa kau benar-benar bisa turun tangan untuk menghancurkan pembunuh itu!" Tantang Binardo.
"Baiklah, aku akan menunjukkan bahwa aku bisa turun tangan untuk ini."
🎭🎭
Kemampuan Paul sejak pertama kali mengikuti pelatihan mata-mata sudah di katakan sangat baik. Wanita muda itu sangat cerdas, cerdik, dan cepat belajar. Itulah yang membuat Binardo yakin, bahwa Paul dapat di jadikan salah satu agent yang dapat di andalkannya.
Dan ini adalah yang kedua kalinya Binardo menemukan seorang wanita muda yang memiliki ciri khas seperti itu—Ella, salah satu agent-nya yang sudah tewas akibat di bunuh oleh targetnya. Akan tetapi, Binardo yakin bahwa Paul dengan sosok istimewa—wanita muda yang benar-benar sangat berbakat dari semua wanita yang menjadi agent-nya. Paul terlihat lebih kuat dan tangguh, karena wanita muda itu memiliki tekat yang besar.
Dan sekarang sudah sebulan penuh Paul terus berlatih, namun kali ini tentu saja dia berlatih dengan sungguh-sungguh dan lebih keras dari sebelumnya.
Aku pasti bisa membalas perbuatan pembunuh keji itu—dia terus mengulang kata-kata itu dalam hatinya saat berlatih.
Saat Paul berlatih dengan pistolnya—sebagai senjata andalannya, tiba-tiba seseorang menyentuh bahunya, membuat dirinya menembak salah sasaran.
Dengan mengeram kesal, dia berbalik dan menatap seseorang yang telah merusak konsentrasinya. Namun, sayangnya seseorang itu malah tertawa dan tidak mempedulikan kekesalan wanita muda yang menatapnya dengan tajam itu.
"Apanya yang lucu?" desis Paul dan menatap Jareth penuh dengan tatapan kekesalan.
Pria itu memang selalu mencari masalah padanya.
Jareth berhenti tertawa, lalu mengacak rambut Paul dengan asal. "Jangan berlatih terlalu keras. Kau bisa sakit."
"Sejak kapan kau peduli padaku?"
Jareth menekan dahi Paul dengan jari telujuknya. "Kau itu pura-pura tak tahu atau belajar bodoh?"
Paul menepis tangan Jareth. "Aku tidak mau mendengarkanmu lagi!"
"Seperti itukah?"
Paul mengangguk mantap.
"Bisa kau hentikan sikap kekanakanmu, Paul? Kau ini sudah dewasa dan kau sebaiknya belajar menjadi seorang lady yang bijaksana. Dan seharusnya kau sudah tahu apa yang aku maksud, bukan?" tanya Jareth.
"Aku sama sekali tidak mengerti apa yang kau maksudkan itu!" desis Paul tak suka. "Dan jika kau mencoba menghalangi jalanku untuk menemukan pembunuh itu, aku tidak akan segan ikut membunuhmu juga, Jareth!"
"Aku tak mengerti jalan pikiranmu, Paul," ucap Jareth, lemah.
"Aku juga tak mengerti jalan pikiranmu, Jareth," desis Paul, tajam.
"Paul, aku berharap kau mendengarkanku! Biarkan aku yang mencari pembunuh itu dan aku berjanji akan membawanya kehadapanmu dengan dia yang masih bernapas. Setelah itu, kau bisa menghancurkan atau menyiksanya sesuka hatimu!"
"Kau tidak perlu melakukan itu, Jareth. Aku bisa melakukannya sendiri!" bentak Paul, keras.
"Kau bisa dalam masalah besar bila kau mencari pembunuh itu!" bentak Jareth tak kalah keras.
"Dengar Jareth, aku tak peduli jika kau atau siapa pun itu menghalangi jalanku. Suka atau tidak, aku tetap akan turun tangan untuk mencarinya. Jadi, kali ini aku akan memohon padamu, kakak," ucap Paul menekan sebutan 'kakak' pada Jareth dan berlutut di hadapan pria itu. "Biarkan aku pergi mencarinya. Kumohon," Paul menunduk.
Jareth terdiam dan menatap Paul yang berlutut di hadapannya dengan tatapan tak terbaca.
Jareth menghembuskan napasnya. "Baiklah, aku tidak akan menghalangimu lagi."
Paul berdiri dengan semangat. "Terimakasih," ucapnya sembari memeluk Jareth dengan erat.
"Paul," seseorang memanggil nama Paul, membuat wanita muda itu langsung melepas pelukannya pada Jareth.
Paul melihat Cathrine—salah satu Secret Agent, berdiri di hadapannya dengan jarak yang sedikit jauh darinya. "Ada apa C-SA 520?"
"Kau dipanggil Mr.Binardo di ruangannya. Itu saja pesannya. Dan kalian bisa lanjutkan acara berpelukan kalian. Tapi, aku berharap kau jangan membuat Mr. Binardo memarahiku karena dirimu datang terlambat," sinis Cathrine, kemudian langsung berlalu pergi dari tempat itu.
"Baiklah, aku akan pergi sekarang," teriak Paul agar Cathrine dapat mendengarnya. Dia kemudian tersenyum kepada Jareth. "Terimakasih,"
Dengan segera Paul berjalan menuju keruangan Binardo dan tidak lupa sambil bersenandung senang, karena Jareth kini telah mengizinkannya untuk turun tangan mencari pembunuh itu. Saat akhirnya dia membuka pintu ruangan Binardo, dia menemukan pria berumur itu duduk di kursinya dengan senyum miring di bibirnya.
"Ada apa kau memanggilku, Mr. Bean?" tanya Paul, kemudian dia mendekati meja tua Binardo.
"Kau yakin ingin mencari pembunuh itu?" tanya Binardo, saat Paul sudah berdiri tepat di depan meja tuanya.
Paul mengangguk antusias.
"Persiapkan dirimu dan mulai besok kau harus belajar tata krama!"
"Apa maksudmu, Mr. Bean? Kenapa aku harus belajar tata krama?"
"Karena dua minggu lagi, aku akan mengirimmu untuk mencari pembunuh yang telah menewaskan keluargamu."
🎭🎭🎭
[080317]
*burglar alarm : terlihat seperti pajangan yang indah, namun alat satu ini ternyata adalah semacam alarm pintu yang bisa digunakan para spy untuk menjaga ruangannya dari para penyusup. Untuk menggunakannya, kamu cukup menaruhnya di samping pintu. Ketika seseorang membuka pintumu, benda itu akan mengeluarkan bunyi seperti lonceng yang nyaring. (Aku buatnya agak beda dikit ya bunyinya. Ting (sekali dalam membuka pintu perlahan, tapi tetap nyaring)
[Unek-unek gaje] :
Update sebelum tanggal wajib publish, seharusnya buat tanggal 10 ini, tapi kalau dipikir-pikir, biar aja update agak cepetan, siapa tahu dikasih keringanan tanggal 10 ga usah update 😂 🔫
Oke, bagaimana ... bagaimana ...? (teriak histeris) 😂 wakakakak, rasanya frustasi banget pas nulis cerita ini, lol. Aku gatau ini dapet feel atau nggak, namanya juga masih belajar memahami hatiku yang kecil ini (apasih lebay 😳).
Tapi, udah mau dimulai nih perjuangan si Pa-ul, wakakakaka 😂
Kalian siap menyaksikannya? 😏
Kudu siap pokoknya, ga mau tau!😈 (maksa, minta vote sama komen sebenernya 😋 ) lol 😂 🔫
Oke, sekian unek-unek dari diriku 😌
Terimakasih sudah membaca 😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top