08 - Tersulut Emosi

Hawa dingin memenuhi alam yang kini gelap tanpa sinar rembulan. Hujan telah usai, menyisakan kebasahan dan hawa dingin yang menelusup ke kulit.

Apalagi para pengendara roda dua, hampir  semuanya berjaket tebal saat membelah jalan. Namun, itu tak berlaku untuk Zahra, ia sama sekali tak berminat melindungi tubuhnya dengan benda penghangat itu, karena ingin mendinginkan emosi yang seakan membuat aliran dalam tubuhnya terbakar.

Hatinya memanas gara-gara laki-laki gila bin menyebalkan tadi. Apalagi, amarahnya tak tertumpahkan, hingga  otaknya kini serasa mengepulkan asap tak kasat mata, karena laki-laki itu langsung nyelonong pulang setelah mendapatkan cincin miliknya.

Tepat pukul 20.00 WIB. Zahra memarkirkan motornya di bagasi samping rumah.

"Assalamualaikum," ucap Zahra dengan nada tak ramah. Ia menghampiri kedua orang tuanya yang tampak santai di ruang tengah.

"Waalaikumsalam warohmatullah wabarokatuh."

"Dingin banget tangan kamu, Nak. Pasti nggak pakai sarung tangan ya?" tanya sang Ummi saat merasakan tangan anaknya dingin ketika menjawabat tangannya.

Zahra menganggukkan kepalanya tiga kali. "Lagi panas hati, Mi. Biar adem, Zahra sengaja nggak pakek jaket atau pun sarung tangan," ucap Zahra tampak bersungut-sungut.

"Sekarang udah adem hatinya?" goda sang Abi lalu terkekeh.

"Ternyata nggak ampuh sama sekali, Bi." Zahra langsung ambruk duduk di tengah antara Abi dan Umminya.

Helaan napas keluar dari mulutnya, ingin menghempaskan rasa kesal itu. Namun tak kunjung berhasil.

"Memangnya ada apa, sih, Nak? Kesal sama siapa?" tanya Sang Ummi yang kini mengusap lengan sang anak, untuk menyalurkan ketenangan.

"Tadi, tuh, Mi. Zahra ketemu sama cowok ngeseliiiiiin banget banget banget pokonya. Cincin Kak Mira tadi ketuker sama milik cowok itu. Eh dengan seenaknya dia bilang Zahra penipu. Mana nggak mau minta maaf lagi, padahal udah bikin Zahra nunggu dia lama banget sampai tokonya."

"Sabar, Nak ... sabar. Yang penting kamu nggak ngelakuin yang dia tuduhkan. Perihal nunggu, sih, tanyain aja apa sebabnya dia lama  sampainya?"

"Boro-boro mau nanya itu, Mi. Orang dianya judes banget, angkuh dan kerasa kepala. Padahal, nih ya. Zahra kan cewek. Udah seharusnya kan dia cowok ngalah sama cewek."

Abinya yang mendengar omelan dan opini putri bungsunya itu terkekeh. "Cewek oh cewek, maunya dimenangin terus."

"Maksud Abi?" Zahra yang tadinya menoleh ke arah sang Ummi kini berputar menatap sang Abi.

"Kamu bilang tadi seharusnya dia ngalah, kan? Berarti kamu maunya menang, dong."

"Emang seharusnya gitu, kan?" tanya Zahra meminta dukungan dari laki-laki berjanggut tebal itu.

"Iya ... tapi kan nggak harus selalu kayak gitu. Husnudzon aja, siapa tahu dia kan lagi buru-buru ada urusan yang sangat penting."

Zahra mendengus kesal, karena faktanya sang Abi malah membela laki-laki. "Ish, Abi nggak asik, ah. Malah belain dia, bukan anak Abi sendiri." Zahra yang mulai merajuk tampak akan berdiri dari duduknya. Namun dengan sigap, sang Abi memegang tangan putrinya itu untuk menahannya agar tak beranjak dulu.

"Zahra Firtriani, putri bungsu Abi yang cantik nan salihah. Dengerin Abi dulu ya, Sayang. Abi sama sekali nggak belain siapapun di sini. Abi hanya ingin mengajari kamu agar kamu tak mudah marah, tersulut emosi hanya gara-gara hal sepele, Sayang. Bersabar itu terpuji karena selain mendapat pahala, juga akan membuat hati kita menjadi tenang. Kamu bisa mengerti, kan?" Rama--abi Nindi--menangkup wajah putrinya seraya memberikan tatapan lembut, agar nasihatnya bisa diterima dengan baik.

Zahra yang merasakan tak ada kesalahan dari ucapan abinya sontak menghela napas lalu menganggukkan kepala. Tatapan amarahnya tadi kini berubah, sepertinya hatinya kinj mulai melunak. "Maafin Zahra yang sangat gampang emosi ini ya, Bi."

"Enggak usah minta maaf, Nak. Yang penting kamu mau belajar untuk menghalau emosimu sedikit demi sedikit."

"Iya, Bi. Insyaallah."

"Lagian ... enggak baik, Nak. Kesal sama orang berlebihan kayak tadi. Entar malah jatuh cinta kan repot."

Zahra yang mendengar penuturan sang Ummi langsung begidik ngeri. "Iiih amit-amit, deh, Mi. Jangan sampai, naudzubilillah mindzalik," ucap Zahra sembari mengetok meja lalu ke jidatnya seraya bergantian dan berulang tiga kali.

Abi dan Ummi Zahra sontak terkekeh kompak melihat tingkah anak gadisnya itu.

"Ummi punya cerita bagus lo tentang keutamaan sabar yang dilakukan sahabat Abu Bakar yang langsung disaksikan oleh Baginda Nabi. Zahra pengin tahu, nggak?"

"Emmm boleh, Mi," ucap Zahra tampak antusias ingin mendengar ucapan sang ummi.

"Suatu hari di saat baginda Nabi bertamu ke rumah sahabat beliau yang bernama Abu Bakar. Ketika keduanya asik mengobrol tiba-tiba datang seorang Arab Badui menemui Abu Bakar dan lansung mencela beliau. Namun, Sayyidina Abu Bakar sama sekali tak menggubris, meski apa yang dilontarkan oleh orang Arab Badui itu tak hanya cacian, tetapi juha kata-kata kotor.

Melihat Sayyidina Abu Bakar diam, Rasulullah tersenyum. Namun lain halnya orang arab badui itu yang kembali melontar cacian yang lebih kasar dan menyakitkan.

Sayyidina Abu Bakar tetap tak menggubris, membuat Rasulullah yang berada di samping beliau pun kembali tersenyum.
Apakah kamu tahu bagaimana reaksi orang badui itu?"

"Pasti makin marah ya, Mi?"

Nita--Ummi Zahra pun tersenyum lalu mengangguk. "Orang badui itu semakin marah dan tak menyerah dalam memaki beliau untuk ketiga kalinya.

Sayyidina Abu Bakar yang hanyalah manusia biasa pun akhirnya tak kuat menahan diri lagi, sehingga terjadilah perang mulut saat makian itu semakin kasar dan ganas. Seketika itu, Rasulullah SAW beranjak dari tempat duduknya dan meninggalkan Abu Bakar tanpa mengucapkan salam.

Selang beberapa waktu, Abu Bakar pun tersadar dan seketika menjadi bingung dan dikejarnya Rasulullah SAW yang sudah sampai halaman rumah.

Beliau dengan wajah penasaran dan kebingungan pun bertanya, "Wahai Rasulullah, tolong jelaskan ada apa sebenarnya? Apakah ada kesalah yang telah saya perbuat?"

Rasulullah pun menceritkan bahwa ketika dirinya bisa menahan cacian orang badui itu. Ribuan malaikat di sekelilingmu mendoakan dan memohonkan ampun kepadamu, kepada Allah SWT. Begitu pun yang kedua kalinya, para malaikat semakin bertambah banyak jumlahnya.
Karena melihat itulah aku tersenyum. Namun, ketika cacian ketiga kalinya kamu membalasnya, maka seluruh malaikat pergi meninggalkanmu.

Hadirlah iblis di sisimu. Oleh karena itu, aku pergi karena aku tak mau dekat-dekat dengan iblis. Setelag mendengar penjelasan Rasulullah, Abu Bakar langsung menangis dan menyesal dengan apa yang telah ia perbuat."

Zahra pun langsung menunduk, air matanya menetes membasahi pipi. Merasa malu, takut dan bersalah dengan apa yang telah terjadi tadi.

Ya Allah ... begitu dahsyat keutamaan bersabar. Ampuni hamba yang selama ini mengabaikan keutamaan ini. Semoga ke depannya aku bisa lebih sabar, batin Zahra seraya mengusap linangan air matanya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top