06 Rindu


Hari berganti hari. Purnama telah berganti nama. Tak terasa satu bulan lebih satu pekan berlalu, tanpa sama sekali dua sejoli ini bertemu. Akibatnya rasa rindu dalam hati semakin menggebu.

'Kamu ke mana aja, sih, Rid? Emang kamu nggak kangen apa ma aku?' batin Zahra dengan langkah lunglai kakinya berjalan menuju kelas. Akibat rasa rindu membuat ia galau. Makan tak enak, aktivitas tak bersemangat. Inginnya bertemu, tetapi yang sana selalu bilang sibuk.

Setibanya di kelas ternyata suasana masih sepi. Kening Zahra sontak melipat tampak mulai berpikir. 'Sekarang jam berapa kok masih sepi?' batin Zahra seraya ia menengok jam yang bertengger di pergelangan tangannya.

'Padahal udah jam tujuh kurang sepuluh menit. Kok sepi amat ya?' Gadis itu pun tetap melanjutkan langkah masuk kelas dan langsung mendaratkan punggungnya di bangku, tempat biasanya ia duduk.

"Astaga, kok aku lupa gini, sih. Ini kan hari kamis, baru ada mata kuliah kan jam sembilan. Zahra ... Zahra, galau sih galau, tapi nggak harus linglung juga, kan?" Zahra langsung menepuk jidatnya sendiri ketika mengingat kelinglungannya malah berangkat sepagi ini.

Dasar hati galau, benar-benar akibatnya membuat pikiran tak bisa fokus dan seakan lupa segalanya. Rindu dan Farid, hanya dua kata inilah yang sejak kemarin menyita pikiran Zahra.

Gadis berkerudung biru itu kini tampak menghela napas, merasa payah dengan dirinya sendiri. Baru kali ini galaunya membuat pikirannya seakan kacau.

"Astaghfirullah masih ada dua jam kosong, nih. Enaknya ngapain ya." Nasib berada di dalam kelas sendirian, membuat Zahra bermonolog sendiri. Tampak gadis itu memukul-mukulkan jari telunjuknya di dagu. Menatap ke arah depan sembari mencari ide.

Hati gelisah karena rindu, ingin bertemu tetapi merasa malu untuk mengajaknya lebih dulu. Iya, selama tiga tahun menjalani hubungan dengan Farid. Tak pernah satu kali pun Zahra mengajak bertemu lebih dulu. Pasalnya Farid tak pernah selama sebulan lebih seperti ini tak bertemu.

Paling lama satu bulan, itu pun Farid sering video call. Sedangkan sekarang? Bertukar kabar pun jarang, video call pun terakhir keduanya lakukan satu bulan yang lalu.

'Sesibuk itukah mengerjakan skripsi? Sampai lupa jika punya kekasih? Aku kangen kamu, Farid. Apakah kamu nggak kangen aku?' Zahra menatap nanar foto sang kekasih yang tampak di gawainya saat ini. Iya, hanya inilah yang ia bisa pandang sekarang untuk mengurai sedikit rasa rindu.

Sepuluh menit berlalu, Zahra masih bertahan dengan memandangi satu foto yang memang sengaja ia simpan di  emailnya, bukan di galerinya. Memang sampai segitunya gadis itu dalam berhati-hati untuk menyembungikan hubungannya agar tak ada jejak kecurigaan.

[Farid]

[Masih sibuk banget ya?]

Zahra pun mencoba mengirim pesan. Namun tetap saja, ditunggu sampai beberapa menit pun tak ada balasan.
Di baca pun tidak, apalagi di balas, gerutu Zahra tampak begitu kesal. Ia pun akhirnya mematikan ponselnya, lalu beranjak hendak keluar kelas.

Obat gelisah itu adalah berzikir. Terbesit secara tiba-tiba dalam pikiran Zahra seakan mendapat alarm pengingat. Entah dari mana asalnya, ia pun tak tahu. Semoga ini petunjuk dari Allah, agar aku ingat untuk melakukan ibadah sunahnya. Dari pada kesal sendiri tanpa kejelasan, mending aku salat Duha aja, deh, batin Zahra mencoba mengenyahkan beban hati dari kekesalan yang menggumpal akibat tak dihiraukan oleh sang kekasih.

Selang lima belas menit, Zahra masih bertahan pasa posisi duduk bersimpuh menghadap kiblat lengkap dengan mukena yang masih terpasang rapi menutup auratnya. Tangannya terus menggulirkan tasbih seiring dengan lisannya yang terus membaca istighfar, meminta ampun kepada Allah atas hati yang terlalu sibuk dengan cinta kepada makhluk yang belum halal untuknya.

---***---

Tepat pukul 15.00 WIB.
Tampak mahasiswa dan mahasiswi semester enam jurusan Teknik Informatika mulai berhamburan keluar dari kelas.

"Zahra," panggil Nindi saat melihat Zahra bangkit lebih dulu dari bangkunya.

"Besok acara pertunangan aku. Kamu datang, ya."

"Loh kok mendadak, Nin. Lusa itu acara pernikahan kakakku, Nin. Kok jadi barengan, sih?"

"Tau, tuh. Kayaknya dia udah kebelet nikah," gerutu Nindi dengan bibirnya yang mengerucut, tampak kesal.

"Malah bagus dong, Nin. Segera dihalalin biar aman dalam ketaatan menjauhi maksiat." Jihan menghampiri keduanya dengan melontar kata-kata bijaknya.

"Co cwiiiiiit, mau dong dihalalin," ucap Zahra sengaja menggoda sang sahabat. Bukannya tersipu, Nindi malah terlihat semakin kesal.

"Ish, apaan, sih kalian."

"Tapi Jihan benar juga, sih, Nin. Kamu beruntung mendapatkan calon imam yang insyaAllah salih kayak gitu."

Nindi menghela napas cukup panjang, tak bisa mengelak lagi dari penuturan kedua sahabatnya yang memang benar adanya.

"Iya, iya. Jadi kamu fix nggak bisa hadir ya, Ra. Kalau kamu gimana, Han?"

"InsyaAllah aku bakal hadir, kok."

"Alhamdulillah," seru Nindi terlihat girang. Cahaya kebahagiaan yang tadi meredup kini kembali bersinar cerah.

---***---

Kendaraan menjelang sore ini tak begitu padat. Setelah keluar dari are kampus, Zahra mendapat pesan dari sang kakak, meminta tolong untuk mengambilkan cincin pernikahannya.

Meski tadi Zahra sempat keberatan karena seharusnya kakak iparnya yang mengambil cincin itu. Namun dengan memohon pengertian sang adik, Mira menjelaskan bahwa calon suaminya itu baru pulang dari luar kota besok malam. H-1 hari pernikahan keduanya.

Sepanjang menelusuri jalan, Zahra benar-benar tak habis pikir. Dasar orang sibuk, mau nikah nggak ada ambil cuti. Minimal tiga hari sebelum hari H gitu. Nah ini? H-1 baru pulang? Benar-benar gila kerja apa ya tuh orang? Pasti gajinya juga gede.

Setelah lima belas menit membelah jalan dengan kendaraan roda duanya. Kini Zahra telah sampai di depan toko perhiasan. Setelah memarkirkan kendaraannya, bergegas masuk lalu menunjukkan kwitansi yang tadi di kirim kakaknya lewat pesan.

Sebelum meluncur kemari, Mira juga sudah menghubungi pihak toko bahwa yang akan mengambil cincin adalah adik kandungnya.

Proses pengambilan cincin pun cukup cepat. Setelah pelayan toko meminta kartu identitas Zahra, kotak beludru warna merah itu pun di serahkan ke tangan Zahra setelah di bungkus dengan tas kecil berwarna navy.

Sekembalinya ke parkiran. Zahra melihat jalan raya semakin padat oleh lalu kendaraan yang berlalu lalang.

"Waduh, makin sore makin macet, nih. Mending aku salat Asar dulu aja, deh," batin Zahra lalu ke musala yang letaknya tepat di samping toko perhiasan tadi.

Selepas bersuci menghilangkan hadas kecil dan melakukan salat empat rakaat itu. Zahra tak langsung keluar dari musala, karena tiba-tiba terbesit dalam pikirannya ia ingin melihat cincin pernikahan kakaknya.

"Waaah cantiknya. Bentuknya unik." Zahra pun menfoto cincin itu lalu di kirim ke sang kakak.

Baru saja Zahra memasukkan tas kecil yang berisi cincin itu ke dalam tas selempangnya. Tiba-tiba ponselnya berdering. "Kak Mira," gumam Zahra membaca nama yang tertera pada layar pipih itu.

"Dek, kamu sekarang di mana? Sudah sampai rumah?"

"Belum, Kak. Ini Zahra masih di musala. Kenapa?"

"Itu bukan Cincin pesanan kakak. Ketuker, tuh. Kamu bisa balik lagi ke tokonya kan?"

"Oh iya iya, Kak. Zahra balik lagi ke tokonya kalau gitu."

"Makasih ya, Dek. Maaf lagi-lagi merepotkan."

"No Problem, Kak. Tapi nanti jangan lupa, ya." Zahra cengengesan setelah menyelesaikan kalimat terakhirnya.

"Hemm, iya iya gampanglah. Nanti mau apa tinggal chat ya."

"Sip."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top