05. Insiden

Sebuah rencana manusia hanyalah wacana tanpa ada kuasa mewujudkannya sendiri. Karena ada sebuah Kehendak yang melebihi kuasa manusia. Jika Allah berkenan mewujudkannya pasti terwujud. Begitu pun sebaliknya, saat usaha manusia sangat keras mewujudkannya. Namun Allah tak berkenan, maka sampai kapan pun tak akan pernah terwujud.

Begitulah pula mengenai jodoh. Meski saling mencinta, tak selalu berarti akan mendapat jalan lurus nantinya bisa hidup bersama. Meski saling berkomitmen setia menunggu sampai akad, tak selalu berarti jika cinta dalam hati manusia itu terus terikat.

"Ternyata jodoh itu rumit ya, Ra. Galau aku dibuatnya. Udah saling cinta, eh muncul penghambat jalan menuju cita-cita ingin saling memiliki."

"Apa memang gini resiko cinta sebelum halal ya, Nin?"

Kini, dua gadis cantik itu sedang asyik mengobrol berdua sembari menikmati kentang goreng di sebuah kafe. Dua gelas cokelat hangat sebagai pelengkap dan penghilang dahaganya.

Rintik hujan di luar belum juga berhenti. Menjadikan menu hangat yang dipesan keduanya sebagai obat penghangat menghadapi cuaca dingin yang mendera.

"Sebenarnya makin ke sini ... aku masih ingin berusaha buat menolak perjodohan ini dan meminta Firman untuk segera melamarku, Ra. Gimana menurut kamu?"

"Ide bagus tuh, Nin. Asalkan Firmannya siap melamarmu dalam waktu dekat. Jadi ... sampai sekarang kamu belum cerita soal perjodohan itu ke cowok kamu?" Zahra kembali mencocol kentang goreng krispi itu ke saos pedas lalu melahapnya seusai melontar pertanyaan.

"Aku nggak tegalah, Ra bikin dia kepikiran. Rencananya sih aku akan berjuang sendiri dulu, barulah nanti kalau aku emang gagal, aku akan kasih tahu dia."

"Emm iya-iya, sip. Aku setuju dengan pemikiran kamu, Nin. Semoga segera ada jalan keluar, ya."

"Aamiin."

"Eh, BTW. Gimana ceritanya, sih tiba-tiba tuh cowok melamar kamu?"

"Kata Abangku, sih. Dia pernah lihat aku, Ra. Dia bilang tertarik sama aku dan tanpa kasih tahu aku dulu, Abangku dengan seenaknya nyuruh dia ngelamar aku." Wajah Nindi terlihat kesal saat mengutarakan apa yang terjadi.

"Dan dia setuju?" tanya Zahra semakin penasaran dan sepertinya ia mulai tertarik dengan cerita Nindi mengenai laki-laki yang menurut Zahra cukup unik itu.

Sekali tertarik, langsung mengungkapkan niatan baik. Bukan dengan meminta nomer ponsel sang wanita. Namun langsung meminta restu kepada Abangnya. Keren, kan?

Nindi menggangguk kepala sebagau jawaban pertanyaan Zahra.

"Wah ... hebat juga, tuh cowok. Kayaknya dia bukan cowok sembarangan, deh," tebak Zahra. Karena ia tahu, cowok tipikal seperti inilah biasanya yang berpredikat salih.

Saat cinta menghampiri, bukan lagi modus yang terjadi. Namun, langsung khitbah secara serius, agar cinta yang dialami tak terjerumus.

"Dia calon dosen, Ra. Alumni pesantren."

"MasyaAllah, jadi calon istri dosen agam dong kamu. Ciee ciee." Zahra semakin kagum, meksi ia tak tahu sosok calon Nindi itu seperti apa. Ia yakin, bahwa laki-laki yang melamar Nindi adalah laki-laki salih, idaman para wanita salihah.

"Ish, apaan, sih, Ra. Nggak lucu."

"Hehehe sorry-sorry. Boleh tahu namanya?"

Belum juga Nindi menjawab. Tiba-tiba ponsel Zahra berdering, membuat kefokusan gadis itu teralih dan langsung menerima panggilan.

'Assalamualaikum, Ra'

"Waalaikumsalam warohmah."

'Kamu masih di mana, Nak? Masih ngurusin undangan kakak kamu?"

"Urusan undangan Kak Mira udah beres kok, Mi. Ini masih di kafe bareng Nindi."

'Alhamdulillah ... kalau gitu nanti bungkusin Ummi sama Abah brownis kukus ya, Ra.'

"Iya, Ummi. Di tempat biasanya kan, ya?"

'Iya, hati-hati di jalan ya, Nak. Assalamu'alaikum'

"Iya, Mi. Waalaikumsalamwarohmah."

Iya begitulah Zahra. Setiap akan pulang terlambat, ia tidak lupa memberi kabar sang Ummi. Karena jika tidak demikian akan membuat khawatir wanita paruh baya itu.

---***---

Tetesan cairan bening dari langit tak tampak lagi. Namun, awan kelabu masih setia menyelimuti langit, menutupi kecerahan sinarnya.

Setelah menghabiskan makanan dan minuman yang tadi tersaji. Zahra dan Nindi pun mengendarai motor masing-masing setelah salaman dan cipika cipiki.

Sepuluh menit berlalu, motor Zahra berbelok menuju toko kue langganannya untuk membelikan pesanan Umminya tadi.

"Assalamualaikum, Ibuk," ucap Zahra cukup lantang, dengan wajah ceria dan langkah riang ia memasuki toko.

"Waalaikumsalam warohmatullah wabarokatuh. Wah ... anak Ibuk akhirnya nongol juga, nih," ujar pemilik toko tak kalah ceria menyambut pelanggan yang dia anggap seperti anak gadisnya sendiri. Pasalnya, Zahra sangat sering berkunjung kemari semenjak dia masih sekolah dasar.

Bibir Zahra menyungging senyum, menghampiri wanita paruh baya yang kini tampak cantik dengan balutan jilbab instan berwarna navy itu. Ia menyalami punggung tangan wanita itu.

Setelah mengobrol sebentar, saling bertukar kabar. Zahra pun memesan brownis kukus sesuai permintaan Umminya.

"Wah ... brownisnya kehabisan, Ra. Tunggu sebentar nggak apa-apa, kan? Masih proses di oven. Lima menit lagi udah mateng."

"Iya, Buk nggak apa-apa." Zahra mengangguk kemudia menuju kursi tunggu saat ada dua orang memasuki toko.

Netra gadis itu pun mengitari dinding ruangan toko ini yang berubah cat dan gambarnya. Maklum kali ya, terakhir kali ia kemari sekitar dua bulan yang lalu.

Saat indera penglihatannya sibuk menjelajahi sekitar ruangan, tak sengaja ia melihat sepasang kekasih yang kini tengah duduk berdua saling berhadapan tak jauh dari keberadaannya saat ini.

Tampak laki-laki itu menyuapi sang gadis dengan satu tangan yang lainnya menggenggam tangan si cewek. 'Hmmm mesranya, bikin iri. Kapan ya aku dan Farid bisa mesra-mesraan kayak mereka. Makan sepiring berdua, canda tawa bersama. Uuuhhh pasti sangat membahagiakan,' batin Zahra, tanpa sadar bibirnya senyum-senyum sendiri.

"Ra ... ini kuenya udah siap." Teriakan Ibu Fira membuyarkan lamunan Zahra. Gadis itupun segera bangkit dan menghampiri ibu pemilik toko.

"Ini, Buk," ucap Zahra sembari menyodorkan uang lima puluh ribuan.

"Zahra langsung pamit ya, Bu. Assalamualaikum." Usai mengucap salam, Zahra langsung berbalik, hendak keluar toko.

"Eh kembaliannya, Ra."

"Enggak usah, buat Ibuk aja." Zahra menoleh sembari melempar senyum, sedangkan langkah kakinya sama sekali tak berhenti.

Begitu berbalik, Zahra tak menyadari jika ada sosok laki-laki yang baru saja masuk. Sehingga tak bisa terhindari lagi keduanya pun bertabrakan.

Kue yang dibawa Zahra pun terlepas dari tangannya, karena hantaman kedua tubuh itu cukup keras. "Au!" Zahra yang merasakan pinggulnya pun menghantam lantai cukup keras pun mengadu kesakitan.

"Astaghfirullah. Maaf Mbak, bisa minta tolong bangunin Mbak ini. Soalnya saya sedang buru-buru." Laki-laki itu berbicara dengan wanita yang akan lewat dan langsung meninggalkan Zahra yang masih terduduk di lantai.

"Huh, dasar. Laki-laki nggak bertanggung jawab. Bukannya ditolongin malah ditinggalin," ucap Zahra kesal melihat punggung laki-laki itu semakin menjauh sembari menerima uluran tangan wanita yang menolongnya.

"Makasih ya, Mbak." Zahra mengulas senyum dengan ramah menyapa gadis di hadapannya lalu meraih kantong plastik yang dibawanya tadi.

Ingin rasanya ia memaki laki-laki itu. Namun badmood dan rasa lelah dalam dirinya yang muncul, membuat ia enggan melakukan hal itu.



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top