04 - Tak Hanya Aku
Menjalin sebuah hubungan dengan sembunyi-sembunyi bukanlah hal yang mudah. Terlalu banyak menahan hati dan diri serta sering juga dihantui rasa khawatir ketahuan. Ya, begitulah resikonya backstreet. Ingin bertemu karena rindu, tetapi berusaha mencegah karena takut ada yang tahu.
Adakah rasa bahagia menjalani ini semua? Ada, tetapi sangat terbatas karena faktor dikejar waktu dan rasa khawatir yang terus menggebu.
Ketemuan pun sangat dibatasi, kembali lagi tersebab takut ada yang memergoki. Begitu pun berkomunikasi, harus melihat sekitar terlebih dahulu agar tak ada orang lain yang menguping.
Ya begitulah rasanya backstreet, serba terkungkung oleh waktu dan keadaan. Namun hati tak bisa mengelak, jika di waktu tertentu kebahagiaan pun bisa dirasa meski hanya tukar pesan yang sering dilakukan, karena cara itulah yang menurut keduanya paling aman.
"Sejak SMA sebenarnya aku sudah punya cem-ceman, Ra. Tapi aku takut mau cerita sama kamu atau Jihan. Aku takut kalian marah karena aku melanggar prinsip kita 'Muslimah baik itu taat dan menghindar dari maksiat'." Zahra pun ikut menunduk mendengar penuturan Nindi. Hatinya juga terselip rasa bersalah, karena dirinya juga melakukan hal yang sama. Pacaran secara sembunyi-sembunyi.
"Emm sebenarnya. Aku juga punya pacar, Nin."
"Uhuk, uhuk. Ha! Kamu serius, Ra?" Nindi yang baru saja menyesap minumanya tersedak akibat terkejut dengan perkataan Zahra.
"Iya, Nin. Tapi aku pacarannya hanya sebuah status kok. Nggak ada pegang-pegangan atau keluar berdua gitu. Kita hanya berkomitmen status ini hanya untuk pengikat diantara cinta kita menuju halal."
"Emm aku, sih ketemuan tapi nggak pernah ada kontak fisik. Intinya tetap jaga diri juga, sih selama ini."
"Kamu udah berapa lama?"
"Lima tahun. Kamu?"
"Tiga tahun."
"Ya ampun, Ra. Kok bisa ya kita nyimpen ini semua dengan rapi dan nggak ada yang saling tahu."
"Mungkin kita terlalu pandai menyembunyikan tanda-tanda jatuh cinta kali ya." Keduanya terbahak. Setidaknya, hati Zahra dan Nindi kini sama-sama lega.
Ada yang tahu satu orang saja, ternyata efeknya luar biasa. Ruang rongga dalam dada yang selama ini tertahan oleh beban cinta tersembunyu, akhirnya mulai melega.
Zahra dan Nindi kini tampak saling melempar senyum lalu menyesap minuman masing-masing.
"Cowok kamu kuliah sini juga?"
Nindi menggeleng. "Dia kuliah di surabaya, dapat beasiswa. Jadi setelah kita sama-sama kuliah, hanya ketemu saat liburan semester. Kalau kamu?"
"Anak kuliah sini."
"Serius! Siapa, Ra?"
Zahra mengambil gawainya lalu membuka sebuah foto yang menampakkan sosok laki-laki yang menjadi kekasih tercintanya itu.
Netra nindi sontak membeliak, tangannya buru-buru menutup mulutnya yang otomatis menganga karena saking kagetnya.
"I-itu Farid, kan? Mantan ketua BEM yang menjadi idola para mahasiswi di sini? Kamu nggak lagi bercanda kan, Ra?"
Zahra tersenyum lebar, terselip rasa bangga dalam hatinya karena ternyata laki-laki yang banyak fans-nya itu terpikat pada dirinya.
"Kamu nggak percaya, kan? Awalnya dulu juga aku juga, kok. Namun, lambat laun makin ke sini aku makin nyaman aja sama dia."
Nindi menggeleng-gelengkan kepala, ia benar-benar tak percaya jika sahabatnya ini menjalin dengan sosok laki-laki yang terkenal dingin dan cuek kepada para wanita itu.
"Nyaman? Lo serius? Bukannya dia cowok dingin bin beku seperti gunung es di kutub utara."
"Hususon, dong. Hehehe."
"Cie cie. Beneran nggak nyangka lo aku kamu bisa sama dia."
Zahra hanya senyum-senyum menanggapi ucapan Nindi.
Nada dering pondel terdengar, Nindi buru-buru merogoh tasnya kemudian menerima panggilan.
Zahra hanya melihat dan mendengar secara seksama apa yang terucap dari lisan sang sahabat. Selang beberapa menit, wajah Nindi yang tadi sempat cerah kini berubah kembali meredup.
"Kenapa, Nin?"
"Aku nggak bisa lagi menolak perjodohan ini, Ra." Mata Nindi yang berkaca-kaca dengan cepat menceloskan cairan bening itu hingga mengaliri pipi.
"Cintaku benar-benar pupus, Ra." Nindi semakin menunduk, meratapi nasibnya memiliki cinta yang tak tersampaikan kepada tautan cinta dari sang kekasih menuju kehalalan.
"Sabar ya, Nin. Apa pun takdir Allah pasti yang terbaik untuk hamba-Nya. Dibalik apa yang terjadi saat ini pasti ada hikmahnya."
"Aku sama sekali nggak kenal sama dia, Ra. Gimana aku akan bahagia dalam pernikahanku nanti? Dalam hatiku saja ada cinta untuk laki-laki lain, bukan padanya." Nindi menatap sendu ke arah Zahra, air matanya tetes demi tetes semakin membasahi wajahnya.
Zahra tak tahu harus berkata apalagi, ia pun akhirnya meraih tisu lalu mengusapkan pada wajah Nindi yang basah oleh air mata.
"Sabar, ya. Sabar. Mau aku bantuin untuk bilang sama orang tua kamu kalau sebenarnya kamu sudah punya calon?"
Nindi langsung menggeleng. "Enggak bisa, Ra. Firman belum siap menikah dalam waktu dekat, kuliahnya saja belum lulus, gimana mau nikah. Lagian, ini permintaan ibu aku, Ra. Aku nggak tega buat nolak. Kamu tahu sendiri kan, Ra. Ibu aku akhir-akhir ini sering sakit-sakitan."
Nindi tampak menghela napas cukup panjang seusainya menjelaskan apa yang ia alami saat ini.
Zahra tersenyum, bangga melihat sahabatnya ini begitu berbakti kepada orang tuanya. "Kamu hebat ya, Nin. Rela melepas cinta dan kebahagiaanmu demi mewujudkan kebahagiaan Ibu kamu."
"Saat ini kan aku hanya memiliki Ibu, Ra. Jadi apalagi yang aku cari selain rida dari beliau agar aku mendapat rida Allah. Doain aku kuat menjalani semua ini ya, Ra."
"Aamiin ... aamiin Ya Allah. Semoga siapapun jodohmu nanti, itulah yang terbaik untukmu, Nin."
"Aamiin Allahumma Aamiin." Nindi mengusap wajah dengan kedua tangannya. Penuh harap, jika kebahagiaan yang akan ia dapatkan nantinya.
"Makasih ya, Ra. Setelah cerita ke kamu, hati aku lebih tenang."
"Alhamdulillah ... sama-sama, Nin. Semangat ya."
Saat beban hati tercurah, maka perasaan gelisah, sesak dada dan kesedihan segera sirna.
"Udah jam segini, kita ke musala, yuk. Bentar lagi azan zuhur." Zahra yang baru saja menghabiskan minumannya, menengok jam di pergelangan tangannya kini menunjukkan pukul 11.20 WIB.
Nindi pun mengangguk setuju, meraih tisu lalu mengusap bibirnya setelah menandaskan minumannya. Namun saat keduanya akan bangkit, tiba-tiba terdengar bunyi nada dering dari ponsel yang berada di dalam tas Zahra.
Gadis itu pun mengambil gawainya, tertera nama kakak perempuannya yang meneleponnya. "Siapa?" tanya Nindi.
"Kak Mira."
Zahra pun kembali duduk dan menerima panggilan sang kakak.
Selang beberapa menit, Zahra pun mengusaikan obrolannya. Keduanya kemudian berjalan beriringan menuju musala.
"Entar sepulang kampus, Kak Mira nyuruh aku nyamperin dia ke kantornya, Nin. Ikut, yuk."
"Ngapain?"
"Ngurusin pesanan undangan pernikahannya."
"Emang nggak ngurusin sama calon suaminya?"
"Ya nggak lah. Calon suami Kak Mira kan orang sibuk. Lebih sering di luar kota lagi."
"Em gitu. Okelah, sekalian nanti kita jalan-jalan ya."
"Oke sip." Zahra tersenyum sembari memamerkan jempolnya, tanda tak keberatana dengan usulan Nindi.
Terkadang, asmara yang terjangkit sebelum halal perlu diabaikan, untuk meraih rida orang tua yang harus lebih diutamakan saat perjodohan menjadi pilihan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top