03 - Persahabatan

Mentari pagi sepertinya masih enggan muncul untuk menyinari dunia. Awan kelabu menghiasi langit yang membentang luas tanpa sinar cerah. Hawa dingin mulai membelai kulit, membuat enggan melanjutkan aktivitas di luar rumah.

Namun, tidak untuk Zahra. Kini gadis itu telah siap akan berangkat ke kampus dengan pakaian setelan blus warna coklat muda dan striped pants warna coklat tua. Kerudung pasmina pun melengkapi sebagai penutup kepalanya dengan warna yang senada dengan bajunya.

"Waduh, cuacanya mendung amat, nih," ucap Zahra seraya menuntun motornya ke halaman rumah, sembari sesekali mendongak melihat langit.

Baru saja ia keluar dari sebuah ruang samping rumahnya yang menjadi tempat parkir yang kini hanya tinggal satu motor yang masih stand by di sana. Itu pertanda, jika kakak perempuannya telah berangkat terlebih dahulu dengan motor matic warna biru.

Iya, di dalam sebuah ruangan sederhana itu terdapat ruang khusus parkir tiga motor milik kakak perempuan, ayah dan dirinya.

Setelah memastikan di dalam jok telah ada jas huja. Zahra pun segera masuk ke dalam untuk berpamitan. "Abah, Ummi. Zahra berangkat ke kampus dulu, ya." Zahra kini tampak menghampiri kedua orang tuanya yang sedang bersantai di ruang tamu.

"Jangan lupa bawa jas hujan, Nak. Mendung kan di luar?"

"Iya, Ummi udah ada di jok, kok," ucap Zahra tersenyum setelah mencium punggung tangan wanita yang sangat ia cintai itu.

"Hati-hati ya,Nak. Semoga mendapat ilmu yang manfaat."

"Iya, Bah. Aamiin." Zahra pun mengangguk, kembali mempersembahkan senyum terindah untuk laki-laki yang menjadi cinta pertamanya itu.

Usai mengucapkan salam, Zahra pun melenggang keluar, menghampiri motor lalu menaikinya. Tangannya pun mulai memasangkan helm, kemudian memutar kunci motor.

"Bismillahirrohmanirrohim," ucap Zahra setelah menyalakan mesin. Lalu melajukannya menuju kampus.

Jalanan tampak tak begitu ramai, pasalnya pukul delapan lebih tiga puluh menit ini, pasti para pekerja dan anak-anak sekolah pasti telah sampai di tujuan masing-masing.

Lain halnya jika Zahra ada jam kuliah pagi yang dimulai pukul tujuh pagi. Ia harus berangkat pukul enam jika tak ingin terlambat masuk kelas.

Hanya butuh waktu dua puluh menit perjalanan yang dibelah Zahra untuk sampai di kampus. Sesampainya di parkiran, gadis itu bergegas melepas helm lalu melenggang menuju kelas.

'Masih ada dua puluh menit. Ke kamar mandi dulu aja deh,' batin Zahra setelah melihat ke arah jam yang bertengger di pergelangan tangannya.

Selang beberapa menit ia pun keluar dan berniat langsung akan ke kelas. Namun, baru saja ia berbelok akan melewati koridor ruang kelas student center. Rungunya mendengar namanya dipanggil.

"Zahra."

Ia pun menoleh dan mendapati sosok laki-laki yang sedikit berlari ke arahnya. "Farid," ucap gadis itu lirih yang otomatis mengundang debaran hatinya mulai kencang.

"Akhirnya ketemu," ujar Farid ditengah napasnya yang tampak terengah-engah.

Zahra melihat ke kanan dan kiri, memastikan jika sekitarannya tak menaruh curiga dengan pertemuannta dengan Farid kali ini. 'Untung lagi sepi,' batin Zahra lalu menatap ke arah Farid.

"Kamu nyariin aku?" Gadis itu bertanya dengan nada heran. Pasalnya Farid sejak semalam tak mengabarinya sama sekali jika ingin bertemu.

"Ponsel kamu nggak aktif?"

Tanpa menjawab, Zahra pun mengecek ponsel yang ia tadi letakkan di tas sebelum berangkat.
Setelah sekian detik mengusap-usap layar benda pipih itu. Zahra menatap Farid sembari menampakkan gigi putihnya. "Kuota data habis, Sorry."

"Ya sudah nanti aku isiin ya. Ini buat kamu." Farid menyodorkan sebuah bingkisan.

Bukannya langsung menerimanya, Zahra hanya menatap tas berwarna merah muda itu. "Buat aku?"

Farid pun tampak menghela napas. Benar-benar ya, pacarnya ini selalu bikin gemes melihat sikap polos dan sederhananya itu. Memang Zahra tipikal cewek modis, tetapi kesederhanaannya selalu tampak dengan dandanan natural.

"Sengaja ya nggak langsung nerima? Biar kita semakin lama berduaan?" tanya Farid sengaja menjebak, membuat Zahra otomatis meraih bingkisan itu.

"Ya udah makasih, aku ke kelas dulu ya." Zahra bergegas membalikkan tubuh setelah melempar senyum ke arah laki-laki yang sejak tadi juga mempersembahkan senyum untuknya.

Apalagi saat netranya tadi tak sengaja ada beberapa mahasiswa di belakang Farid yang berjalan ke arah keduanya. Zahra memutuskan segera berlalu, sebelum mereka menyadari apa yang dilakukan keduanya.

Begitu kakinya hampir sampai di depan kelas. Zahra berhenti sejenak hendak meletakkan bingkisan yang dipegangnya ke dalam tas.

"Assalamualaikum," ucapnya begitu akan masuk kelas. Jawaban salam pun terdengar dari beberapa rekannya yang telah stand by terlebih dahulu di dalam kelas.

Setelah menjabat tangan Nindi, Zahra pun duduk di samping gadis itu. "Jihan mana?"

"Katanya tadi izin nggak masuk hari ini. Ada kepentingan keluarga," suara Nindi yang terdengar agak serak, membuat netra Zahra menelisik ke arah wajah Nindi.

"Kamu habis nangis, Nin? Hidung kamu agak merah gitu. Suaranya juga serak."

Nindi menatap Zahra tanpa berkedip. Pasalnya ia merasa gagal menyembunyikan kesedihan dari sahabatnya yang satu ini. Sesaat kemudian tak bisa dicegah lagi, mata Nindi tampak berkaca-kaca.

"Kamu kenapa? Cerita deh sama aku. Siapa tahu nanti aku bisa bantu," ucap Zahra sembari mengusap-usap lengan Nindi, berusaha memberi ketenangan.

"Malu cerita di sini, Ra. Entar malah diketawain temen-temen," ucap Nindi sembari mengusap matanya yang tadi sempat berair.

"Mau keluar dulu sekarang?" tanya Zahra setelah memastikan masih ada waktu lima menit sebelum dosen memulai pelajaran.

"Nanti aja, ya sekalian. Tinggal lima menit lagi ini tanggung."

"Apa pun yang kamu alami sekarang. Yang sabar ya, Nin. Semua pasti akan ada jalan keluarnya." Zahra mempersembahkan senyum lebar, untuk menghibur hati sahabatnya yang sedang bersedih.

Apalah status sahabat jika tak ada usaha menghibur saat bersedih, menenangkan saat gelisahnya, ikut mencarikan solusi saat didera masalah? Itulah prinsip Zahra dalam persahabatannya dengan Nindi dan Jihan selama ini.

Persahabatan itu akan indah jika di dalamnya ada perhatian, saling memahami dan berusaha selalu ada saat suka atau pun dukanya.

---***---

Dua jam berlalu.

Nindi dan Zahra kini berada di kantin. Sengaja keduanya memilih tempat yang paling pojok. Agar Nindi bisa leluasa untuk mencurahkan isi hatinya. Beruntungnya kali ini, suasana kantin tak sedang ramai.

Setelah memesan minuman dan telah tersaji di meja, Zahra pun memulai obrolan terlebih dahulu. "Ada masalah apa, Nin?"

"Emm aku malu mau cerita sama kamu, Ra."

"Lah ... kok tumben amat. Biasanya juga cerita apa-apa langsung aja gitu," tanya Zahra kemudian ia menyesap juz lemon yang ada di hadapannya.

Melihat Nindi yang tampak ragu-ragu untuk bertutur kata, Zahra pun memegang punggung gadis itu lalu memukul-mukulnya pelan. "Cerita aja ayo."

"Kamu janji nggak akan marah, kan?"

Tanpa ragu Zahra pun menganggukkan kepala.

Nindi menghirup udara cukup dalam lalu mengembuskannya perlahan. "Aku di jodohin, Ra. Ingin aku menolak, tapi tak bisa."

Zahra cukup kaget mendengar kabar perjodohan yanh terlontar dari lisan Nindi. Namun dengan cepat ia merubah mimik wajahnya agar terlihat biasa saja. Bukankah kali ini ia berperan sebagai penasihat yang harus bijak?
"Alasannya kenapa kamu menolak? Bukannya bagus dong, kamu bakalan punya calon imam."

"Emm, ma-masalahnya aku punya pa-pacar, Ra." Nindi tampak gugup, kepalanya menunduk. Sedangkan tangannya tak berhenti memilin ujung jilbabnya.

Zahra terkesiap, saking terkejutnya membuat kepalanya dan punggungnya kompak agak mundur hingga bersandar ke sandaran kursi.

'Ternyata, bukan aku saja ternyata yang backstreet,' batin Zahra tampak masih terpaku, karena kabar ini benar-benar diluar dugaannya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top