Reasoning

Sekalipun tidak pernah selesai, tapi aku bersyukur sempat belajar filsafat 4 semester di STF Driyarkara. Satu angkatan isinya cuma 60-an orang, tapi suasana yang sepi dan tidak banyak orang itu justru lebih enak dibandingkan suasana ramai dan banyak orang.

Belajar filsafat (dan sedikit teologi) membuatku menyadari jati diriku sebagai seorang manusia. Tuhan menciptakan manusia dengan logika, jadi memusuhi logika sama saja dengan mereduksi makna kita sebagai manusia. Pada saat yang sama, Tuhan menganugerahi kita dengan hati. Pertanyaannya, Tuhan menciptakan hati untuk mendampingi logika, atau menciptakan logika demi mendampingi hati?

Lebih tinggi daripada logika, ada sesuatu yang bernama kebijaksanaan. Dalam kebijaksanaan, kita melibatkan hati di dalamnya. Maka dari itu, tingkatan tertinggi dalam makhluk hidup adalah kebijaksanaan, dimana kita mendengarkan hati dan logika, lalu mampu mengambil jalan keluar tengahnya.

Kita semua adalah makhluk romantik. Kita suka pada sesuatu yang "baik", tapi kita jarang sekali (atau barangkali takut) untuk mengkritisi mengenai "baik". Kita lebih suka sesuatu yang aman, dimana "baik" hanya ada 1, sehingga kita lupa bahwa "baik" pada situasi tertentu merupakan "keji". Karena mau tidak mau kita harus mengakui bahwa dalam sesuatu yang baik bagi beberapa orang, ada kekejian yang dirasakan orang lainnya. Kita terlalu takut untuk melihat imbas dari "baik" itu sehingga kita lebih suka untuk meniadakannya saja.

Contohnya, pada saat kita melihat seekor elang ingin menyambar seekor kelinci untuk dimakan, naluri kita biasanya tergerak untuk menyelamatkan kelinci tersebut. Namun kemudian kita melihat elang itu menderita karena kelaparan, lalu apa yang harus kita lakukan? Hanya memikirkannya saja sudah membuat kita pusing, siapa yang akan kita bela karena keduanya sama-sama tidak bersalah. Akhirnya karena terlalu pusing, kita menyalahkan yang memberi soal; "pikiran kamu kayak setan saja, milih yang manapun ga ada yang bener!", padahal kalau kita terus menerus menghindari pertanyaan yang menyakitkan nurani itu, pada saat kita berhadapan dengan situasi konkritnya kita tidak tahu apa yang harus dilakukan.

Untuk itulah, aku merasa bangga memiliki kebiasaan merenung dan "terlalu banyak berpikir". Terserah orang mau bilang apa; mulai dari "kurang kerjaan" sampai "pengangguran banyak bicara". Yang pasti, dunia ini mengalami kemajuan karena ada orang-orang yang "Terlalu banyak berpikir". Bahkan kebijaksanaan yang sudah dianut sejak zaman dahulu pun berangkat dari pikiran orang-orang yang "kurang kerjaan". Sudah ada yang merenungkannya, kalian tinggal nikmati saja rangkumannya sebagai pedoman hidup. Mau dipegang, syukur. Tidak juga tidak masalah.

Salam, 

Gak Jelas.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top