Kertas

Bandung, 18 Agustus 1945

Aku sangat bersyukur atas kemerdekaan Indonesia dan perasaanku pasti tidak jauh beda dengan seluruh bangsa. Kami seluruh perawat, pejuang, tentara dan rakyat bersukacita meski kutahu semuanya belum berakhir.

Jepang memang sudah mengaku kalah dan meyerah dalam Perang Dunia ke dua namun belum seluruhnya mereka meninggalkan Nusantara.

Belum lagi, aku masih terpikir dengan para tawanan Belanda. Aku yakin jika suatu saat Belanda dan sekutunya akan menjemput dan membebaskan mereka. Aku tahu semuanya belum berakhir, namun apapun yang terjadi kami akan mempertahankan kemerdekaan yang diraih melalui cucuran keringat dan air mata darah ini.

Ayahku seorang tentara, beliau menghubungiku dan mengajakku untuk pulang dan ikut bersamanya untuk pergi ke Jakarta. Beliau juga meyinggung tentang masa depanku, aku mungkin akan dijodohkan dengan seseorang. Aku mengira itu karena beliau tiba-tiba bercerita tentang seorang temannya yang mempunyai putera seumuran denganku dan dia adalah seorang tentara.

Aku ingin menolak keinginannya, tapi aku juga ingin menjadi anak yang berbakti. Aku sudah melawannya dengan bersikeras bergabung dengan Palang Merah.

...

Bandung, 20 Agustus 1945

Hampir seharian aku bertemu dengannya, luka di lengannya sudah membaik. Aku mengganti perban dan menabur obat antibiotik di lukanya.

Dia pemuda yang gagah dan pemberani, sorot matanya bagai pedang tajam yang siap menusuk mataku hingga mengoyak dada. Senyumnya meremas paru-paruku membuatku kehabisan napas.

Aku belum tahu nama pemuda berbadan tinggi dan berkulit cokelat terbakar itu, tapi aku merasa siap hancur asal terus bersamanya.

Dia bukanlah anggota Tentara Keamanan Rakyat namun hanya pejuang milisi.

Aku teringat saat dia pertama kali datang ditandu dengan luka di lengannya, dengan wajah setenang air padahal menderita luka dia menatapku dan berkata, "Apakah aku akan sembuh, Nona? Apakah aku bisa mampu kembali mengangkat senjata dan berjuang?"

Saat itu aku hanya tertegun lalu mengangguk, melihat lukanya yang penuh pecahan mortir.

Tapi hari ini, senyumnya selalu mengembang saat dia berbicara denganku waktu aku merawatnya.

Dia berkata ingin sekali menjadi tentara untuk negara setelah Indonesia merdeka dan aku bilang bahwa aku sangat senang mendengar hal itu.

Dia banyak sekali berbicara, bahkan sesekali terdengar seperti merayu. Dia berpura-pura kesakitan waktu aku mengoleskan obat ke lukanya dan membuatku panik, aku mengira kalau aku salah obat tapi kemudian dia tertawa. Aku lupa bahwa dia juga pernah melakukan hal itu waktu aku melepas dan mengganti perban beberapa waktu lalu, tapi entah mengapa aku tak bisa marah bahkan aku merasa senang meski tidak menunjukkan senyum.

Aku merasa nyaman.

...

Bandung, 24 Agustus 1945

Aku merasa senang tapi juga tidak. Lukanya sudah benar-benar pulih dan juga hampir seluruh pejuang yang dirawat. Dia akan meninggalkan tenda darurat dan akan kembali menuju barak bersama pejuang lain.

Saat ini para tentara dan pejuang kemerdekaan sedang gencar melucuti senjata dari Jepang dan mengambil alih kekuasaan.

Ku dengar, pemerintah juga akan membuat komando ketentaraan baru bernama Tentara Republik Indonesia.

Pemuda itu mendatangiku saat aku berada di tenda pengobatan. Tangan kirinya menggenggam lengan kanannya waktu berjalan memasuki tenda dan mencariku, ku kira dia masih merasa sakit. Setelah melihatku dia berjalan menghampiri dan lagi-lagi dengan senyumnya yang seolah mengecilkan pikiran dan menciutkan nyaliku untuk menatap wajahnya.

"Nona, ternyata anda disini."

Aku mengangguk dan tersenyum lalu kembali berpaling, menata kotak-kotak obat di depanku.

"Apakah saya mengganggu pekerjaan anda, Nona?" tanya pemuda itu.

"Tidak."

"Saya hanya ingin berterima kasih pada Nona karena sudah merawat luka saya hingga sembuh kembali."

"Sudah kewajiban saya dan perawat yang lain dari Palang Merah untuk merawat semua korban." kataku sambil mondar-mandir menata obat tanpa menatapnya meski sebenarnya sangat ingin.

"Begitu, ya." jawabannya dengan perubahan nada bicara seolah tersirat kekecewaan. "Saya juga ingin berpamitan kepada Nona. Saya ingin menjadi tentara dan jika diterima mungkin saya akan berada di Jakarta atau Yogyakarta."

Aku terkejut dan tercekat, seperti ingin berkata sesuatu tapi aku tak tahu dan tak bisa. Tanpa sengaja aku menjatuhkan sebotol obat yang akan ku taruh di rak, untung saja tidak pecah. Aku berlutut untuk mengambilnya, tapi badanku seperti kehilangan tenaga dan berlutut terlalu lama.

"Anda baik-baik saja, Nona?" pemuda itu menyentuh lenganku bermaksud untuk membantuku berdiri namun dengan cepat aku berusaha berdiri sendiri.

"Saya baik-baik saja." jawabku setelah aku kembali berdiri. "Apakah lengan anda masih sakit? Sepertinya tadi anda memeganginya terus-menerus."

"Ah, saya sudah tidak apa-apa."

Setelah itu kami saling terdiam beberapa saat, dan dia pun sekali lagi berpamitan. Dia bertanya siapa namaku sebelum pergi dan aku pun memberitahunya begitu juga sebaliknya. Lalu dia pun pergi, aku berdoa dalam hati agar tujuannya tercapai meski kemudian harus pergi meninggalkan Bandung, namun aku pun berharap agar bisa berjumpa dengannya meski itu hanya sekali saja.

Aku merasa ada lubang yang menganga di perut dan dadaku saat menyaksikan sosoknya menghilang keluar dari tenda meninggalkanku.

...

"Ehm!" suara ibu mengagetkanku dan berpaling dari buku catatan harian yang ku baca.

"Kau sudah menemukan apa yang ibu suruh, Rendra?" Ibu berdiri di depan ambang pintu sambil menyilangkan tangannya.

"Hehehe," aku lupa bahwa ibu tadi menyuruhku untuk mencari sesuatu yang bisa dia manfaatkan untuk mempercantik ruangan, "mungkin kita bisa menaruh rak buku ini bersama buku-bukunya di ruangan. Lihatlah! Ini barang-barang langka dan bersejarah, ibu."

Alih-alih mendekat dan menengok benda yang ku maksud, ibuku malah berjalan masuk ke kamar dan berkeliling melihat-lihat benda-benda lainnya. Bahkan ibu mulai menarik semua kain yang melindungi barang-barang disini dari debu. Aku kembali terbatuk-batuk dan bersin seperti waktu pertama masuk kemari waktu ibu melakukan hal yang membuat debu kembali beterbangan.

"Wah, kita bisa membuat museum kecil dengan benda-benda ini." kata ibu setelah melihat barang-barang yang tadi tertutup kain.

Ada sebuah meja kayu dan diatasnya terdapat kotak-kotak kayu penuh dengan benda tua. Senyum ibu mengembang saat dia menemukan sebuah seterika arang dengan kuncian berbentuk ayam jago. Aku yang penasaran pun ikut memeriksa benda-benda yang ada disitu. Ada beberapa piring keramik, cermin genggam dengan bingkai kayu berukir, bahkan pena dan beberapa botol tinta, semuanya benda yang sudah berumur.

"Kenapa pemilik sebelumnya menyimpan benda-benda seperti ini dan tidak membuang atau menjualnya, ya?" tanya ibu yang sepertinya tidak membutuhkan jawaban dariku.

"Mungkin ini milik nenek mereka dan mereka tidak ingin membuangnya." jawabku dan ibu pun menatapku. "Yah, itu pendapatku. Mungkin neneknya berpesan agar menyimpan saja benda-benda miliknya."

Ibu kembali memeriksa benda-benda di salah satu kotak kayu, "darimana kau tahu kalau benda-benda ini milik seorang wanita?"

"Emmm... anu-" aku belum ingin bercerita tentang buku harian yang ku temukan pada ibu, "kemarin Pak Danu kan yang bilang kalau pemilik pertama rumah ini seorang wanita."

"Oh, ya? Mungkin aku lupa." kata ibu.

Aku mengambil beberapa buku di rak dan ku tumpuk bersama catatan harian yang ku temukan.

"Ibu, aku akan membawa ini dulu ke kamarku. Buku ini bisa ku pelajari." kataku sambil berlalu.

"Rendra, tunggu!"

Aku terkejut dan berhenti di ambang pintu saat ibu memanggilku. Aku menoleh, saat itu ibuku sedang melihat benda di tangannya.

"Ku rasa kau benar, Narendra." ibu menunjukkan sebuah foto hitam putih dengan gambar seorang wanita cantik disitu.

...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top