Lebaran

"Lho, Kak Ave kapan sampainya? Katanya mau ke sini lusa?" tanya Caca ketika melihat Ave saat akan ke kamar mandi.

"Jam satuan, Dek. Iya, tadinya mau lusa, cuma kata Papa Revan kalau mau ke Bandung dulu nggak papa. Ketemu mereka kan hampir setiap hari, jadi lebaran dibolehin duluan sama Papa."

Caca mengangguk paham. Susah juga ternyata kalau menikah, banyak yang harus dikorbankan, pikirnya.

"Si Kembar nggak rewel di jalan? Mereka kan paling rewel kalau diajak pergi?"

"Kalau itu mah jangan tanya. Mereka gantian konser sepanjang jalan, abis mau gimana lagi? Besok pulangnya kamu bareng kita aja ya, Dek? Bantuin Kak Nada."

Caca langsung menghela napas, baru membayangkan perjalanan bersama Si Kembar saja sudah terasa capekya.

"Mereka yang biar sama kami aja, Kak. Ada Papa sama Mama, Kak Ken juga, siapa tahu nggak rewel banyak orang. Nggak ada orangtuanya malah nggak manja jadinya."

"Boleh, tuh! Nanti biar mereka di mobil kalian aja." Ave setuju dan tersenyum.

Caca pun ikut tersenyum lega, kalau ada orangtua dan kakaknya dia aman dan merdeka. Dia memang pintar.

Selesai mandi dan shalat Subuh, Caca langsung mengganti pakaian untuk persiapan shalat Ied. Para lelaki sudah ada di ruang keluarga menikmati teh masing-masing sehingga Caca ikut bergabung dan duduk di samping Alvin.

"Kakkkkk, Masha nggak mau bangun. Itu coba bangunin, gih," ujar Bila yang sudah terlihat segar tetapi masih berpakaian rumah. Dia datang ke ruang keluarga karena sudah menyerah untuk membangunkan Masha. Daffa yang mengerti pun langsung bangkit berdiri. Caca yang penasaran ikut berdiri dan mengikuti keduanya menuju kamar.

"Kak Masha, bangun, Kak! Ini udah siang lho, katanya mau lebaran?" kata Daffa sambil menepuk lengan Masha dengan pelan. Bukannya membuka mata, anak itu hanya mengganti posisi tidur dari miring kanan menjadi miring kiri.

"Kak Masha, nggak ikut shalat sama yang lain?"

"Kak Maca ngantuk, Yah. Mau tidul lagi."

Masha bergumam, tetap dengan mata terpejam. Sekarang saja bisa menjawab begitu, tapi berani taruhan dia akan menangis ketika bangun dan sadar sudah tidak ikut shalat bersama.

"Aaaaaaaaaaaaa, Sapaaaaaaaaaaa! Itu punyaku. Biiiiiiii, Sapa nakalllll!"

Tiba-tiba saja mata kecil Masha langsung terbuka dan mengerjap pelan. Dia langsung duduk dan menengok sekeliling kamar. Suara teriakan Syifa dari kamar sebelah ternyata telah sukses membangunkannya.

"Itu suala siapa sih, Mei? Kok belisik?" tanya Masha sambil menguap.

"Ya, ampun. Tahu begini, dari tadi aja suruh Si Kembar berantem. Langsung bangun." Caca berkata sambil terkikik geli.

"Itu ada Syifa sama Syafa. Kak Masha sekarang mandi, yuk?" ujar Bila kemudian.

Bukannya menjawab, Masha justru mengalihkan pandangan ke Daffa. "Ayah mau pelgi?"

"Kita hari ini mau lebaran, Kak. Itu lho, shalat pagi-pagi sama orang banyak. Mau ikut nggak? Kak Caca aja udah siap tuh." Daffa menjawab sambil melirik Caca di sampingnya.

Masha mengangguk.

"Mandi, Mei!" cicitnya kemudian.

**

Semua keluarga sudah siap berangkat shalat Ied, kecuali Ave dan prajuritnya. Alvin berserta keluarga dengan pakaian seragam berwarna biru gelap. Masha sampai kakeknya memakai warna merah maroon. Keluarga jauh Reza dari Kalimantan ternyata justru berakhir menginap di rumah saudara yang lain.

"Dek, panggil Kak Ave, gih. Bilang kalau masih lama ditinggal," kata Ken sambil melihat jam di tangan. Ini sudah hampir waktu.

"Kak Maca aja, Om!" kata Masha dengan semangat. Dia langsung menyingsingkan rok panjangnya dan berbalik, berjalan beberapa langkah untuk membuka pintu rumah.

Masha tidak melangkah lagi. Setelah pintu terbuka, dia melepaskan pegangan pada rok langsung meletakkan tangannya di sekitar mulut.

"Om Apeeeee! Buluan tulunnnnn!"

Caca dan yang lainnya langsung tergelak mendengar teriakan Masha. See, anak itu sok-sokan mau jadi relawan tapi hanya berteriak di pintu. Siapa pun juga bisa. Masha, oh Masha.

"Anakmu itu, Bil! Luar biasa," ujar Alvin sambil menggelengkan kepala.

"Kak Bila dulu pasti waktu kecil kayak gitu juga ya, Pa?" tanya Caca penasaran.

Bila langsung berdecak. "Ckck. Masha kan bukan anakku doang, Ca."

"Habisnya, Kak Daffa aja kalem gitu. Pasti ini diwarisin sama Kak Bila, buah kan nggak jatuh jauh dari pohonnya."

"Iyain aja sih, Bil. Dulu kamu sama kayak gitu, Papa saksi matanya dari kamu masih bayi ini," kata Alvin lagi yang kali ini membuat Bila bungkam. Dia punya saksi hidup. Ck! Beruntung Daffa yang ada di sampingnya pengertian dan langsung mengusap kepalanya pelan. Langsung berasa disiram es, sejuk.

"Kak Masha panggilnya ke kamar atuh, Kak," tegur Daffa kemudian.

"Kak Maca kan pakai lok, Yah! Susah buat jalannya, cuma bisa pelan-pelan kayak siput."

Beruntung yang ditunggu akhirnya muncul. Perhatian pun kini sudah teralih pada keluarga kecil Ave. Tidak lama kemudian sebuah tawa dari Caca menyambut mereka, diikuti senyum tertahan dari Ken yang ada di sampingnya.

"Ya, ampun, Ve! Sejak kapan kamu jadi so sweet begini? Coba kalau Kak Daffa, mana mau dia dikasih kemeja warna pink," tanya Bila dengan takjub. Ave dan keluarganya memang kompak memakai seragam yang didominasi warna merah muda.

"Dua bocil yang minta, dari kemarin diingetin terus pokoknya aku harus pakai warna ini. Berasa nggak laki banget," jawab Ave kurang bersemangat. Dia ingat jelas kemarin Si Kembar sempat ngambek ketika ibunya mencoba memakaikan pakaian berwarna biru muda. Pokoknya sekali merah muda, tetap merah muda.

"Lihat tuh, Ca. Kak Ave aja mau pakai baju warna merah muda, masa kamu nggak? Kasihan tuh papamu pengen banget anak cewek tapi malah berasa cowok," tegur Karen kepada Caca.

"Mana ada cowok pakai kerudung,Ma," bantah Caca tidak terima.

Suara klakson dari motor Reza yang sedang membonceng Eyang Kakung akhirnya membuat semua mulut terdiam. Kakung memang sengaja dibonceng karena sudah terlalu renta untuk sekadar jalan sampai lokasi.

"Ini udah siang lho, ayo jalan. Ketemu di sana, ya!" ujarnya kemudian.

Reza dan Eyang Kakung langsung menghilang dari pandangan, meninggalkan banyak pasang kaki yang kini melangkah dengan tergesa.

"Ayah, gendong! Capek," rengek Masha ketika baru menempuh seperempat perjalanan.

Bila menggelengkan kepala geli. Bagaimana tidak capek jika bocah empat tahun itu minta dipakaikan sandal yang tingginya sampai 3cm.

"Ah, Kak Masha payah, nih! Syafa sama Syifa aja jalan masa minta digendong," cibir Caca kemudian.

Sayangnya cibiran itu justru membuat Si Kembar ikut merengek.

"Abiiiiii, mau digendong juga!" rengek Syafa lebih dulu.

"Sipa juga, Bi!"

Baru juga Caca selesai menutup mulut.

"Syifa sama Umi, ya?" tawar Nada mencoba bernegosiasi.

"Ndak mau. Maunya sama Abi!"

"Sini Syifa sama Om Ken aja, ya?" Ken akhirnya membuka mulut.

Syifa mengangguk dengan semangat. Dia langsung merentangkan tangannya dan tidak lama kemudian beralih di gendongan Ken. Akhirnya.

"Biiii, Sapa mau sama Om Ken aja!" rengek Syafa yang membuat Ken membulatkan mata. Ken langsung memberi kode kalau dia menolak usul itu kepada Ave.

"Nanti pas pulang, ya? Gantian sama Syifa."

Syafa kali ini pun mengangguk setuju, membuat semua orang menarik napas lega. Setidaknya tidak perlu ada tangisan sepanjang jalan ini.

**

"Siapa yang mau THR? Sini ke sini," ujar Alexa sebagai tuan rumah.

Si Kembar dan Masha langsung berdiri dan berebut untuk maju. Tidak lama kemudian Caca pun ikut berdiri, hal itu membuat orangtuanya menggelengkan kepala geli.

"THR-mu masih kurang banyak, Ca? Masa nggak malu sama Masha?" tanya Bila setengah menyindir.

"Isshh, Caca kan ponakan Tante Alexa paling kecil, Kak. Caca juga satu-satunya yang masih sekolah, jadi nggak masalah. Kalau Kak Bila mau sini ikutan antri," jawab Caca dengan percaya diri.

Semua sudah kembali duduk dengan masing-masing amplop bergambar di tangan. Tanpa melihat isinya, Masha melirik amplop milik Syifa, Syafa dan Caca.

"Omaaaa!" teriak Masha ketika menyadari ada yang berbeda. Semua perhatian menjadi teralih padanya.

"Kenapa, Kak?" tanya Alexa dengan tenang.

"Kok punya Kak Maca gambalnya beda? Mau yang sama kaya punya Sapa sama Sipa, Ma!" protes Masha tidak terima.

Benar saja, amplop milik Syafa dan Syifa bergambar kartun Masha & The Bear dengan Masha yang sedang naik sepeda, sementara milik Masha bergambar beruang menggendong Masha.

"Kak, gambarnya beda tapi isinya sama kok. Coba dibuka amplopnya," jawab Daffa mencoba menenangkan.

Masha menggeleng, dia tidak mau sedikit saja mengintip isi yang ada di amplop miliknya.

"Ndak mau, Yah. Kak Maca mau yang sama. Omaaaaaa!" rengek Masha.

"Ini, Kak. Mau punya Kak Caca aja?" tawar Caca sambil menyodorkan amplop bergambar Masha miliknya, kali ini tetap pose tanpa sepeda.

"Itu ndak ada sepedanya!"

"Syafa, tukeran amplopnya sama Kak Masha ya, Kak?" tawar Ave mencoba membujuk.

Syafa menggeleng.

"Syifa?" tanya Ave lagi.

Syifa pun ikut menggeleng, membuat Ave mengangkat bahu tanda menyerah.

"Ayahhhhh!" Masha mendatangi ayahnya dengan wajah ditekuk, sebentar lagi kalau keinginannya tidak terpenuhi pasti akan menangis.

"Ma, amplopnya diganti polosan aja semua," ujar Bila memberi ide.

Akhirnya Alexa kembali mengambil amplop THR bergambar yang tadi sudah dibagikan dan menggantinya dengan amplop putih yang biasa digunakan untuk kondangan.

"Nah, sekarang udah sama semua ya," ujarnya begitu selesai.

"Iya, sama!" Masha menjawab sambil memamerkan gigi putihnya. Para orang dewasa pun langsung menghela napas lega. Lebih baik memberi amplop yang tak menarik daripada hanya berebut gambar. Ck!

**

Setelah acara maaf-maafan bersama keluarga sendiri, saat ini dilanjutkan berkunjung ke tetangga sekitar rumah yang secara keseluruhan bisa dikatakan masih memiliki ikatan kerabat. Sudah seperti tradisi jika para sesepuh memberi uang untuk anak-anak. Begitu pun keluarga besar di sini, kebetulan kali ini mereka sedang berada di kerabat dari Reza, kakek Masha.

"Mei, lihat deh, dompet Kak Maca udah penuh. Banyak ya, uangnya," ujar Masha tiba-tiba ketika mereka sedang menikmati hidangan.

"Dompet Sipa juga udah mau penuh ya, Mi!" Syifa menimpali.

"Sapa juga." Syafa pun ikut buka mulut tidak mau kalah.

Masha kembali membuka mulut. "Nanti duitnya kata ayah mau buat beliin sepeda balu buat Kak Maca."

"Sipa mau sepeda juga, Mi."

"Sapa juga ya, Mi."

"Sssttt, Kak Masha!" bisik Bila yang meminta agar Masha diam. Dia merasa tidak enak jika perkataan Masha terdengar oleh Tuan Rumah.

"Ni, Mei! Dompetnya memei aja yang simpan, nanti uangnya ilang."

Masha kembali berkata tanpa melihat situasi. Bila yang tadinya sudah nyaris tidak sabar untuk meminta Masha diam hanya bisa tertawa geli. Masa bodoh dengan sopan santun, mereka pasti mengerti kalau Masha hanyalah anak kecil yang mengungkampakan apa yang ada di pikirannya.

"Husss, Kak Masha lagi di rumah orang nggak boleh ngobrol. Makan aja, ya?" bujuk Caca mencoba megalihkan perhatian. Si Kembar sendiri sudah diam dari tadi karena mendapat gelengan kepala dari abinya.

Masha mengangguk patuh. "Kak Maca mau tape."

"Tape? Oke."

Caca baru akan mengambil tape yang dibungkus dengan daun pisang ketika Bila mencegahnya.

"Dia sudah habis lima bungkus hari ini, Ca. Jangan dikasih. Mamam yang lain aja, Kak. Agar-agar, ya?"

Masha menggeleng.

"Kue?"

Masha kembali menggeleng.

"Jeruk mau?"

Masha manyun.

"Kasih aja, Nak. Dulu Daffa juga waktu kecil paling suka makan tape bungkus, ekspresinya juga sama begitu kalau nggak dikasih sama mamanya," kata Budhe Ani, Tuan Rumah kali ini.

Bila akhirnya mengalah, sementara masha tersenyum girang karena mendapat pembelaan.

Makanan favoritmu, Sha! Selain ayam kok ya tape. Tradisional.

**

"Kamu kok kelihatannya lagi happy banget, Dek? Dapat THR banyak, ya?" tanya Ken ketika melihat wajah Caca yang cerah dalam perjalanan pulang ke kampung halaman. Ekspresi yang sangat berlawanan saat mereka berangkat.

"Iya, abisnya lihat Si Kembar sama Masha itu hiburan banget, nggak rugi deh kita bisa lebaran bareng," ujar Caca semangat. Momen saat dia melihat Si Kembar dan Masha bisa dibilang sangat jarang mengingat ibu mereka kurang suka berpergian jauh.

"Kemarin padahal ada yang ngambek waktu diajakin," sindir Alvin yang langsung membuat bibir Caca mengerucut.

"Ah, Papa nggak tahu aja gimana perasaan Caca waktu dikirimin Sofi foto takbiran. Belum lagi kabarnya kita kan juara satu lagi, Pa! Ah, kalau aja Caca gabung kan bisa ikut foto bareng," jawab Caca dengan menggebu-gebu. Bagaimana pun juga, dia masih sedikit kesal jika ingat batal ikut takbiran.

"Iya ikut foto-foto, terus abis itu nanti diupload di sosial media. Buat apa, Ca? Buat pamer, ya? Buat dapat like? Masih ingat kan kalimat yang dipakai adik-adik buat display?" tanya Ken yang membuat Caca langsung terdiam.

"Pada akhirnya malaikat Munkar dan Nakir tidak akan menanyakan seberapa hitsnya kamu di dunia. Inget banget kok, Kak. Kata Mas Soni itu terinspirasi sama Caca waktu bikin. Maksudnya buat sindiran halus gitu, kan?"

"Betul! Seratus buat Dek Caca!" jawab Ken dengan semangat.

Caca tersenyum tenang. Akhirnya Ramadhan telah berakhir dan sekarang sudah memasuki bulan Syawal. Satu bulan dia telah lalui dengan beragam cerita. Mulai dari istri Mas Hafi, ayam untuk Dinda, acara takjil, sampai dengan rencana takbir yang penuh makna.

"Akhirnya kita sampai di hari kemenangan." Caca berkata pelan, lebih kepada diri sendiri.

"Jangan lupa bayar hutang puasa dilanjut puasa Syawal, Ca! Ingat, pahalanya sama seperti kamu puasa satu tahun," Alvin berkata mengingatkan.

"Siap!"

SELESAI.

Assalaamu'alaikum.

Dear teman-teman pembaca Caca, dengan part lebaran ini maka Diary Ramadhan Caca resmi tutup lapak, ya. Mohon maaf jika ada kalimat/ komentar yang kurang berkenan dan terima kasih sudah mengikuti lapak ini. Semoga kita kembali dipertemukan di Ramadhan tahun depan. Aamiin.

Sampai jumpa di lapak Bang Rio.

Kecup

Alyaaa

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top