6 - Berbeda

"Ini kayak tongkat dibaca 'A' ya, Din. Kalau ini perahu ada titik satu di bawah dibacanya 'Ba'," jelas Caca kepada Dinda, murid ngaji yang berumur lima tahun.

"Sekarang coba Dinda baca, ya."

Caca berkata sambil menggunakan pulpen menunjuk huruf Alif.

"A," ujar Caca agar diikuti Dinda.

"A."

"Ba."

"Ba."

"Nah, sekarang Dinda coba baca sendiri, ya. Kak Caca yang nunjuk."

Caca mengarahkan pulpen, mengulang apa yang tadi sudah dibaca.

"Ini apa?"

"Tongkat," jawab Dinda meyakinkan.

Caca langsung speechless, dia kembali mengulang penjelasannya.

"... Jadi, yang gambarnya kayak tongkat dibaca 'A', ya," katanya mengakhiri kalimat.

Dinda mengangguk.

"Coba diulang sekarang. Ini?"

"A - a - a," Dinda berkata lancar saat Caca menunjuk Alif sebanyak tiga kali.

Yess!

Caca tersenyum puas. "Kalau ini?"

"Perahu!"

Baiklah, penjelasan diulang lagi. Kalau saja ada tombol reply. Selama hampir enam menit Caca habiskan untuk mengajari Dinda membaca. Pada akhirnya baru bisa selesai dengan Dinda yang mengikuti bacaannya. Bagaimana tidak, setiap diajari satu huruf, lupa huruf sebelumnya. Caca menuliskan kata 'ulang' pada lembar kartu belajar santri. Lama-lama juga pasti Dinda akan terbiasa dan menjadi hafal.

Setelah selesai mengajari Dinda, Caca keluar mushola untuk membantu Putri yang sedang menyiapkan minuman untuk buka puasa di teras. Anak-anak sudah selesai membaca dan tinggal penutup.

"Mbak Putri," panggil Caca membuka pembicaraan.

"Hum."

"Aku heran deh, Mbak. Kenapa ya anak yang seumur Dinda belum bisa baca iqra jilid 1 halaman pertama. Harusnya kan orangtua minimal kasih ajaran di rumah buat anaknya. Atau, minimal Dinda udah TK jadi harusnya udah diajarin di sekolah. Lihat, Abi aja yang belum TK udah lancar baca iqra 1."

Ah, tiba-tiba saja Caca teringat Masha.

"Ponakan aku juga gitu, Mbak. Dia malah udah hafal huruf hijaiyah. Soalnya tiap hari diputerin Ipin Upin nyanyi."

Putri tersenyum mendengarkan pertanyaan juniornya. Apa yang ditanyakan Caca masuk akal, mengingat dia hanya melihat dari sudut pandangnya saja.

"Ca, sayangnya keadaan orangtua tiap anak itu beda-beda. Misalnya Dinda, orangtuanya udah sepuh, yang kutahu buta huruf latin, entah kalau arab. Mungkin karena itu Dinda belum bisa ngaji. Beda kalau Abi, ortunya masih muda gitu, pasti nggak buta huruf. Mereka sama-sama masih anak-anak, tetapi background orangtuanya nggak sama."

Caca mengangguk. "Sekolah?"

Putri tertawa. "Sekolah? Guru yang ada mana memadai buat dampingin tiap anak, Ca? Paling sering mereka hafalan atau baca bareng dan cuma niru gurunya ngomong. Kecuali sekolah khusus yang agama menjadi prioritasnya. TK islami gitu."

"Oh, gitu!" Caca mulai paham. Lain halnya dengan dia yang dari kecil sudah dibimbing mamanya belajar mandiri di rumah.

"Ada juga anak yang susah kalau diajarin sama ortu. Dulu adikku juga begini kasusnya, diajarin malah ngelunjak, banyak maunya. Akhirnya sama ibu dipanggilin guru les, eh malah cepat belajarnya. Soalnya belajar sama orang asing membuat anak menjadi bertanggung jawab," jelas Putri sambil terus menuang air.

"Mbak, mbak, mbak, udah penuh!" teriak Caca heboh.

Putri langsung menghentikan tuangannya. Benar saja, sudah luber. "Astaghfirullah. Ah, jadi nggak konsen ni. Lanjut nanti, Ca ngobrolnya. Bentar lagi anak-anak keluar."

Caca mengambil serbet dan langsung mengelap air yang tumpah. "Oke!"

**

Keluarga Pratama sedang bergegas untuk shalat tarawih.

"Pa, Ma, Kak, Caca jalan dulu, ya!" pamit Caca sambil berjalan santai. Meninggalkan nama yang dipanggil dalam keheranan. Sejak kapan Si Bungsu ini tiba-tiba menjadi pemberani? Caca sehat, kan?

"Itu tadi beneran Caca anak kita, Ma?" tanya Alvin tidak percaya. Bagaimana tidak, biasanya setiap mau ke mushola anak itu merengek minta ditunggu. Pulang pun kadang minta jemput.

"Dia udah gede sekarang, ya?" Karen balik bertanya.

Di belakang mereka, Ken tersenyum geli. Dia sangat tahu pasti alasan perubahan Caca. Kenapa lagi kalau bukan ceramah singkat dari Om Fakhri. Tadi malam saja ketika mereka pulang bersama, Caca sok-sokan jalan di depan. Ken jadi geram sendiri, pasalnya dia pernah menasehati Caca dalam hal yang sama, tetapi tidak pernah didengarkan, masuk telinga kiri keluar telinga kanan. Sekarang, giliran Om Fakhri yang ceramah, telinga kanan Caca langsung tersumbat sehingga nasehat itu berhenti di kepala. Ck.

"Kemarin dia abis dikasih ceramah singkat dari Om Fakhri, Pa, Ma. Soal ketakutannya itu, makanya jadi sok pemberani gitu. Padahal kita aja udah capek bilangin, sekalinya Om Fakhri yang ngomong kayak ajaib gitu."

Alvin dan Karen langsung paham. Oh, ternyata sudah dapat siraman rohani.

"Oh iya, besok jadi buka bersama sama Fakhri dan yang lain kan, Ma? Ken, kamu kosongin jadwal kelayapan."

Ken memutar bola mata. "Ken ngabuburit, Pa. Bukan kelayapan. Besok udah ada jadwal, weekend aja. Kata Caca kan Kak Bila mau ke sini juga. Jadi, biar ramai sekalian."

"Bila?" tanya Alvin memastikan.

Karen langsung terkikik geli, masih terekam jelas di ingatan ketika kemarin Bila meneleponnya sambil mengomel panjang karena keisengan Caca.

"Caca kemarin abis ngomporin Masha buat ke sini, makanya Bila ngomel-ngomel. Sampai sekarang katanya Masha masih merajuk," ujar Karen menjelaskan.

Alvin tergelak mendengar alasan Bila yang akan datang. Bukan untuk menjenguk mereka ataupun eyangnya, tapi karena Masha. Beruntunglah ada Masha, kalau tidak Bila dan Daffa akan jarang datang ke Surabaya.

"Ken, kamu buruan nikah. Kasih Caca adik, biar dia nggak usil lagi!"

Ken langsung memutar bola mata, ujung-ujungnya karena Caca dia juga yang kena. Awas aja kamu, Ca!

"Masalahnya tuh, Pa. Ken harus cari calon istri yang bisa ngimbangin isengnya Caca, syukur-syukur bisa menang atas Caca. Kalau nggak gitu nanti dia dijajah Caca. Bisa-bisa dibajak Caca setiap hari buat dengar curhatan nggak jelas sama anak itu."

Oke, ini alasan yang sangat bagus. Thanks to Dek Caca!

"Alasan," sambung Karen cepat.

Ah, Ken lupa atas fakta mama yang sangat mengenalnya. Kepalanya seperti transparan dan bisa terbaca kalau di depan Beliau.

"Dia belum mau diajak nikah. Lagian Ken baru dua lima, masih muda. Papa aja dulu nikah kepala tiga, kan?" tanya Ken ringan yang langsung membuat Alvin dan Karen bungkam. Kalau sudah seperti ini mereka tidak bisa memaksa lagi.

"Assalaamu'alaikum," sebuah salam menarik perhatian ketiganya.

"Wa'alaikumsalaam."

"Mau ke mushola Pak Alvin?" tanya Fakhri basa-basi.

"Iya, Pak Fakhri. Pak Fakhri kapan datang? Kok nggak diundang nggak diantar, tahu-tahu ada di sini? Mirip jalangkung." Alvin menjawab dengan tenang.

"Kemarin sore. Tadinya mau pasang pengumuman tapi takut dimarahin Om RT."

Istri Fakhri langsung bersalaman dan berpelukan singkat dengan Karen. Fari dan Fakhri langsung mengambil posisi di barisan belakang.

"Mereka salah makan, ya? Apa ini efek bulan Ramadhan? Jadi, benar begitu, Kak?"

Karen langsung terkekeh mendengar pertanyaan tersebut. "Lagi bener, soalnya bulan puasa setannya dikurung."

"Di sini sampai weekend, kan, Ri? Gue mau adain buka bersama, sekalian mumpung anak pertama mau main ke sini."

Karen dan istri Fakhri langsung bungkam. Baru juga diomongin, sudah kembali ke watak semula. Bahasa sok kota mereka kembali kambuh.

"Siapa? Menantu Revan maksud, Lo?" tanya Fakhri memastikan. Menantu Revan di sini berarti adalah Ave.

"Bila!"

"Oh, si mak comblang. Bila itu ya, kemarin masih bocah yang manggil gue Om Pahli, nggak terasa udah punya anak juga. Ahhh, siapa namanya? Gue lupa."

"Masha and The Bear, Bi!" jawab Fari cepat.

"Fari," tegur ibunya.

"Maksudnya Masha, Mi. Abis tiap ingat namanya, aku langsung ingat film kartun itu. Kalau dipikir-pikir bukan cuma nama yang sama, sifatnya juga mirip. Iseng banget dia. Waktu aku nginep di tempat Didi, Masha ada di sana. Bayangin aja, Mi! Rambut gondrongnya Didi itu dia pasangin jepit rambut sama bandonya."

Fari bercerita sambil tertawa geli, ingat sekali semua tingkah Masha ketika dia sedang berlibur di Jogja beberapa waktu yang lalu.

"Beruangnya Kak Daffa dong? Kan yang paling sering diisengin Masha ayahnya," Ken menimpali.

"Ken!" tegur Karen.

"Khilaf, Ma."

Karen menggelengkan kepala. "Kalian ini, ya! Cowok-cowok udah gede masih tahu aja film anak-anak begitu."

"Itu kan tontonannya Caca, makanya tahu," jawab Ken diplomatis. Faktanya dia memang tahu acara itu karena sering penasaran dengan Caca yang terbahak sendiri ketika sedang menonton televisi.

"Sama, tontonannya Aqifa juga itu," Fari menimpali.

Obrolan dua keluarga itu akhirnya berhenti ketika mereka sudah sampai di depan mushola.

Setiap anak mempunyai latar belakang kehidupan yang berbeda. Kita tidak boleh menilainya hanya dari satu sudut pandang saja.

♥♡♥

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top