2 - Kultum versi Caca
"Dek, gimana kultum Papa kemarin?" tanya Alvin kepada Caca. Satu-satunya orang yang tertinggal di kota ini karena Ken sedang ada urusan di luar. Ave? Anak sulungnya itu sudah berbahagia dengan keluarga kecil yang dimiliki.
"Keren kok, Pa!" jawab Caca dengan wajah sok meyakinkan. Padahal cukup tahu saja, sepanjang papa mengisi kultum, dia tidak bisa konsentrasi. Errr, bahkan sekadar untuk flashback kejadian tadi malam saja dia menjadi jengah.
Jadi, begini ceritanya. Di barisan jamaah putri ada tiga shaf dan kebetulan Caca di nomor 2. Pada saat shalat akan dimulai, otomatis barisan di depan Caca semakin merapat. Hal itu karena ketika berdiri tidak makan tempat demi menghindari godaan setan. Yup, setahu Caca kalau shalat jamaah antara satu dan yang lain tidak boleh menyisakan renggang.
Dari sinilah semua berawal, ketika shalat akan dimulai. Barisan di depan Caca ada renggang yang tidak tanggung-tanggung, cukup buat dia menyusup. Awalnya dia pura-pura tidak melihat dan berharap jamaah sebelah kanan akan bergeser. Eh, lha, kok tiba-tiba malah sudah takbir tanpa menutup kekosongan. Yep, akhirnya Caca pun maju ke depan.
Kemudian shalat Isya berjalan seperti biasa, masih 4 rakaat, tidak lebih. Ketika selesai mengucapkan salam dan hendak bersalaman dengan orang di sebelah kiri, Caca langsung syok. Bagaimana tidak, dari banyaknya jamaah ternyata kemungkinan terburuk yang dia sampaikan kepada mamanya terjadi. Orang di samping kirinya adalah istri Mas Hafi. Salahnya kalau niat pergi ke mushola kurang tepat, Allah sedang mengujinya. Ibarat ujian, nilai Caca di bawah enam. Dia tidak bisa konsentrasi saat shalat tarawih. Lalu, sebelum kultum dimulai, dia makin kesal melihat wanita itu bercanda ringan dengan mantan calon mertua Caca. Oke, sebut saja ibu Mas Hafi.
Mood Caca berubah drastis, dalam hati mencaci diselingi istighfar. Dia tahu kalau salah dan tidak baik, tetapi tidak bisa menguasai diri. Kultum papanya? Lewat begitu saja seperti angin.
"Keren, ya? Wajar." Alvin mengangguk mantap, senang atas pujian dari Caca.
Caca tersenyum mengiyakan, dalam hati dia meminta maaf kepada papanya karena telah berbohong.
"Berarti kapan-kapan bisa ya isi kultum lagi. Siapa tahu ada yang berhalangan."
"Boleh tuh, Pa!" ujar Caca semangat mengingat ada kesempatan lain untuk mendengarkan kultum ala papa Alvin.
"Enaknya ambil tema apa ya, Dek?" tanya Alvin lagi. Lha, belum juga diminta sudah ketagihan.
"Ini aja, Pa. Itu lho, soal batas sahur. Tahun kemarin Caca baru tahu kalau masih boleh makan habis Imsya, yang kata Papa batasnya sampai adzan subuh itu. Soalnya waktu Caca besoknya cerita ke teman, mereka juga belum tahu. Jadi, kayaknya boleh deh ambil tema itu."
Caca mengakhiri kalimatnya sambil mengangguk-angguk dan tersenyum. Senang karena idenya akan digunakan oleh sang papa. Namun, senyum itu memudar ketika melihat ekspresi papanya.
What? Apa yang salah dengan idenya?
Tiba-tiba saja Caca jadi berdebar. Takut sudah salah bicara. Apalagi saat bertemu pandang dengan mamanya yang memberi isyarat dengan menggelengkan kepala.
Apa yang salah dengan tema itu, sih?
"Dek Caca," panggil Alvin sambil menghela napas.
"Ya, Pa?"
"Jadi, kemarin itu Papa keren dari mananya kalau kamu nggak dengar kultum sama sekali?" tanya Alvin tidak semangat.
"Eh?"
"Kemarin Papa udah bahas apa yang tadi kamu usulin, Ca," jelas Karen. Penjelasan yang membuat Caca langsung bungkam.
Aihhh, kebetulan yang sangat tidak tepat.
Caca memamerkan deretan gigi putih dengan ekspresi bersalah. Lalu, dia berdiri, merangkul Alvin dari belakang, mencium pipinya sekilas, dan menaruh dagu di atas pundak papanya.
"Maaf, Pa! Caca nggak konsen kemarin. Tapi, Papa selalu paling keren kok di mata Caca."
Karen menggelengkan kepala geli. Dia sudah sangat hafal tingkah ayah-anak ini. Kalau Caca sudah merajuk seperti sekarang, semarah apapun Alvin, pasti kemarahan suaminya itu akan menguap dan berakhir dengan senyuman. Benar saja, lelakinya itu langsung mengusap kepala Caca dengan sayang.
Karen nyaris tidak bisa menahan tawa ketika Caca mengedipkan mata padanya. Tanda kalau semua sudah beres. Kalau urusan mengambil hati sang Papa, Caca-lah ahlinya.
Kebohongan itu akan terasa menyakitkan ketika terungkapkan kebenarannya, apalagi ketika waktunya tidak tepat.
End
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top