17 - Persiapan Takbir
"Kok udah pulang, Ca? Kan baru dua hari di sana?" tanya Alvin heran ketika Caca muncul di depan pintu dengan ransel. Sebelumnya, Caca sudah heboh pergi ke Malang selama berhari-hari, tapi ini tiba-tiba sudah kembali padahal baru kemarin lusa berangkat.
"Caca udah shalat, Pa."
"Apa hubungannya?" tanya Alvin dengan kening berkerut. Jawaban Caca memang ambigu. Apa hubungannya shalat dengan pulang? Toh, shalat bisa dilakukan di mana saja.
"Caca capek bingit, Pa. Duduk dulu, ya?"
Caca langsung meninggalkan Alvin di belakang. Ranselnya berakhir di sofa yang ada.
"Mau jus semangka, Dek? Kayaknya di kulkas ada tuh."
Mata Caca langsung berbinar. Haus dan minuman dingin adalah jodoh.
"Beneran ada?"
"Iya."
Caca bangkit berdiri dengan semangat. Namun, baru satu langkah kalimat Alvin berikutnya membuat dia kembali mundur.
"Katanya udah shalat? Puasa, kan?"
Astaghfirullah, dia lupa kalau hari ini kembali puasa.
"Lupa, Pa. Khilaf," jawab Caca sambil kembali duduk.
"Jadi, kenapa tadi pulang cepat?"
"Oh iya, ini kan bentar lagi takbiran. Kemarin Sofi bilang mau dilombain gitu, Pa. Terus, Caca diminta pulang buat bantu siap-siap. Alamat lembur lagi buat bikin kostum, yel-yel sama display."
"Oh, persiapan takbiran." Alvin mengangguk paham.
"Tapi, Pa! Kenapa sih tiap tahun harus dilombain? Takbiran ya takbiran aja. Kalau dilombain kan kesannya anak-anak semangat takbir demi piala. Belum lagi, nanti abis takbiran kalau kita menang malah perang dingin sama dusun sebelah karena mereka merasa seharusnya menang tapi nggak menang."
"Anggap aja sebagai motivasi. Coba kalau nggak ada lomba, pasti takbiran bakal sepi dan nggak meriah. Justru karena ada lomba, takbir kelihatan lebih menarik. Mereka yang udah ngerti pasti sadar kalau takbiran itu bukan demi piala, tapi untuk menyambut hari kemenangan. Masalah piala itu kayak bonus. Kalah ya udah, menang alhamdulillaah. Terus perang dingin tadi apa, Ca?"
Caca menyimak dengan serius. "Itu, Pa. Tahun kemarin kan kita menang tuh, terus tetangga sebelah protes katanya punya mereka seharusnya yang menang. Mereka peserta paling banyak, kostum paling wah udah 11:12 kayak drum band. Pokoknya mereka nggak terima kalau kalah deh, bilang jurinya pilih kasihlah, apalah. Padahal kita udah ambil juri dari luar lho."
Caca berkata dengan mengebu-gebu, membuat Alvin tersenyum.
"Itulah mental yang harus dibenerin, Ca. Kalau ikut lomba itu kita harus siap kalah. Kalau kalah, ya harus instropeksi. Mereka peserta banyak, takbirnya kompak sama semangat nggak? Kostum oke, tapi kalau sewa itu bukannya dinilai kurang kreatif, ya?"
"Nah, itu. Betul kata Papa, harusnya kan begitu. Kalau kompak atau nggaknya pas takbir Caca juga kurang tahu soalnya nggak denger takbir mereka. Caca kan cuma fokus ke adik-adik sini aja."
Tiba-tiba saja Caca ingat lebaran tahun lalu, tragedi takbiran versi Masha. Di hari lebaran, anak itu ngambek sama ibu dan ayahnya karena nggak boleh ikut takbir keliling. Dia maunya ikut parade jalan, tapi Bila membawanya naik motor, takut kecapekan dan malah sakit saat lebaran. Lalu, apa kabar tahun ini? Dia penasaran. Nanti, dia akan menghubungi mereka.
"Pa, aku tidur dulu, ya. Capek!" pamit Caca sambil mengambil ranselnya.
"Tanggung, Ca. Setengah jam lagi waktu shalat. Nanti aja tidurnya."
Benar saja, jam di tangan menunjukkan waktu setengah dua belas.
"Oke!"
**
"Temanya apa? Udah ada konsep?" tanya Sofi kepada Soni, ketua pemuda-pemudi.
Hari ini Caca dan yang lain sedang rapat persiapan untuk takbir keliling. Panitia sudah dibentuk, tema sudah ditentukan, tinggal tunggu eksekusi dari masing-masing peserta.
"Tema yang diambil kali ini islam di era modernisasi dan globalisasi. Jurinya disepakati kita ambil dari juri luar. Sekarang tinggal konsep yang kita mau pakai seperti apa. Ada ide?"
"Aku yang ada di otak langsung ponsel sama komputer. Apa bikin ponsel bentuk gede aja buat dibawa pas jalan nanti?" tanya Caca.
"Nggak, Ca. Buat tahun ini kita nggak diminta buat semacam maskot atau bentuk macam-macam. Kalau bikin malah buang waktu." Soni menjelaskan.
"Batman!" seru Brian semangat, membuat perhatian kini terarah padanya.
"Iya, aku inget batman. Gimana kalau pakaiannya kita bikin kayak batman. Kita buat klebet dari samson."
"Klebet?" tanya Putri tidak paham. Maklum saja, dia anak pindahan dari ibu kota.
"Maksudnya baju belakangnya batman yang kayak sayap gitu, An? Ah, apa sih itu namanya, ya? Pokoknya yang bisa berkibar itu, kan?" tanya Sofi memastikan.
Brian mengangguk, Putri juga ikut mengangguk karena sudah paham.
"Oke, catat. Perlu topeng juga?" tanya Sofi yang bertugas sebagai sekretaris.
"Jangan, nanti nggak kelihatan ganteng sama cantiknya adik-adik!" ujar Caca yang langsung dapat decakan dari yang lain. Otak Caca nggak jauh-jauh dari ketampanan.
"Kita buat pecinya dikasih hiasan kertas emas jadi menyala dalam gelap. Buat yang cewek kita buatin lingkar kepala dari kertas emas yang dipotong kecil-kecil juga. Nanti ceweknya kayak princess gitu. Sama seperti biasa nanti bawa senter yang dikasih mika biar cahayanya kumpul. Terus kita buatin bambu yang dikasih pita agak panjangan, pitanya warna-warni jadi menyala dalam gelap," tambah Caca.
"Boleh tuh, yang lain gimana? Setuju?" tanya Soni.
"Setuju!"
"Oke beres. Buat bawahan sama baju gimana?"
"Bajunya tahun kemarin pakai putih-putih. Tahun ini pakai hitam aja. Cowoknya suruh bawa sarung, ceweknya pakai rok gelap sama bawa jarik. Nanti kita make over deh sarung sama jariknya," usul Putri.
"Tahun kemarin udah pakai jarik kan, Put?"
"Tenang, kita bisa buat model yang lain. Besok deh aku bawa jarik buat contoh."
"Udah, percaya aja sih Mas sama Mbak Putri. Jangan sepelekan designer kita ini," potong Sofi.
"Iya, lagian emang Mas Soni ada ide lain? Kalau pakai rok doang udah biasa," timpal Dira.
Soni terdiam, melawan para wanita dia tidak akan bisa menang. Faktanya, dia juga tidak ada ide. Akhirnya Soni menyetujui ide Putri dan menunjuknya sebagai penanggung jawab kostum.
"Kostum oke, ya? Musik, Brian bisa pegang, kan? Kamu kan anak band, ngertilah. Yel-yel dan kreativitas siapa yang siap? Mas Ken bisa bantu?" tanya Soni kemudian.
"Aku?" tanya Ken menunjuk wajahnya. Hal yang membuat Caca terkikik puas. Dia memang selalu suka kalau Ken susah.
"Iya, Mas. Bisa, ya? Nanti coba minta tolong Mas Hafi juga boleh. Siapa tahu beliau ada ide."
Ett dah, Hafi lagi dibawa. Caca langsung diam.
"Insya Allah. Nanti aku kasih konsepnya, kalau soal ngajarin ke adik-adik nggak janji. Mungkin nanti Brian dari musik bisa ambil alih kalau udah oke."
"Sipp!" Soni berkata semangat.
"Jadi, semua sudah ada PJ. Besok bisa mulai bikin untuk keperluan masing-masing. Buat teman-teman semua yang free mohon bantuannya. Oh iya, sekali lagi ingat tujuan kita takbir ini apa?" Soni bertanya untuk menutup rapat malam ini.
"Kita takbir buat menyambut hari kemenangan, mengagungkan nama Allah, bukan piala. Piala itu bonus," jawab anak-anak yang lain kompak.
Malam pun diakhiri dengan makan tahu bulat bersama sebelum masing-masing pulang ke rumah.
~Ada berbagai cara untuk menyambut hari kemenangan.~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top