10 - Masa Lalu
Masha langsung merengek minta diturunkan ketika orang yang dicari yaitu Ken muncul. Dia berteriak girang saat akhirnya Ken menggendongnya. Padahal dia sudah hampir lima tahun dan lumayan berat.
"Udah cocok, ya Ken gendong anak kecil?" tanya Alvin entah kepada siapa, yang pasti sedang menyalakan kompor agar Ken segera menikah.
"Iya tuh, Om Ken!" jawab Bila dengan cepat.
Kamu emang anak papa, Bil!
"Kak Daffa dulu nikah umur berapa, Kak?" tanya Ken kepada Daffa. Bila yang ada di sebelahnya langsung manyun mendengar pertanyaan itu.
"Nggak jadi cocok, Pa. Nanti aja tunggu Ken tua," ralat Bila kemudian.
Caca yang mendengar jawaban serta ralat dari Bila langsung mengernyitkan dahi karena heran. "Emangnya umur berapa, Kak?"
Bila makin manyun, beruntung Daffa langsung mengusap kepalanya pelan sambil tersenyum. Dia tidak terusik sedikit pun.
"Udah dewasa yang pasti, Dek. Jadi, kamu jangan coba-coba mau nikah muda, jangan kayak kakakmu Ave. Pokoknya dapat ijazah dulu baru boleh ijab dan sah," jawab Alvin pada akhirnya. Daripada Bila makin manyun, dia mengambil inisiatif cepat.
"Kami pergi dulu, gimana pamitnya Kak Masha?" pamit Ken kemudian.
"Assalaaamu'alaikum. Dadaaaa!" Masha mengucapkan salam diakhiri dengan kiss bye.
"Wa'alaikumsalaam."
"Caca ikut, Kak!" teriak Caca sambil berdiri.
"Nggak! Sana bantuin Mama di dapur!" tolak Ken tanpa pikir panjang. Caca langsung berdecak sambil menghentakkan kaki menuju dapur.
"Kak Bila, yuk bantuin Mama?"
"Kak Bila-nya masih capek, Dek. Mereka kan baru sampai. Kamu aja bantu-bantu, kasihan Mama. Giliran bantuin aja malas-malasan, kalau masalah uang nomor satu," ujar Alvin menjawab pertanyaan Caca.
Bila langsung tersenyum girang kali ini melihat Caca yang manyun.
"Anaknya Papa tuh Caca apa Kak Bila, sih?" protes Caca.
"Bila anak pertama, kamu ekornya."
Bila kali ini sudah terbahak mendengar jawaban Alvin. Caca? Mulutnya semakin maju.
"Kak, aku tinggal dulu, ya? Kakak ngobrol dulu sama Papa atau kalau capek istirahat di kamar juga nggak papa," pamit Bila kepada Daffa sebelum akhirnya menyusul Caca. Kebetulan dia tadi baru bertemu singkat dengan Karen dan belum mengobrol. Daffa mengangguk sebagai jawaban.
"Ikan bumbu kuning kesukaan Kak Daffa udah jadi belum, Ma?"
Tentu saja, pesanannya adalah hal pertama yang Bila tanyakan begitu masuk ke dapur.
"Kebetulan baru selesai cuci ikannya. Kamu bumbuin sama masak sendiri, ya, Bil? Itu tadi Caca udah siapin bumbunya tinggal ulek aja," jawab Karen sambil menunjuk cobek yang tadi disiapkan Caca.
"Nggak, ah! Mama aja yang bikin, kalau Bila yang bikin nggak jadi spesial. Bukan pesanan namanya, nanti Kak Daffa langsung tahu kalau itu buatan Bila. Aku bantu yang lain aja," tolak Bila cepat. Master ikan bumbu ikan kuning itu lidahnya mendadak sensitif kalau sudah urusan rasa makanan favorit.
"Ceplok telur terus disambal aja gimana?" tawar Karen.
Bila mengiyakan dan langsung mencari penggorengan.
"Pesanan siapa ini, Ma?" tanyanya kemudian, tetap dengan tangan bekerja.
"Kak Bila tahu aja ya kalau ada kumpul-kumpul pasti ada makanan pesanan? Buat Om Fakhri itu, Kak. Makanan kesukaan Kak Fari tuh telur ceplok, herannya itu mukanya kok alus aja. Padahal katanya kalau telur itu suka bikin jerawatan," Caca menjawab panjang. Padahal jawaban yang diperlukan Bila itu cukup dua kata yaitu 'Om Fakhri', namanya juga Caca.
"Kak Bil, Kak Rangga udah ada calon belum?"
"Entah, terakhir lamarannya ditolak mentah-mentah."
"Yah, alamat belum move on jangan-jangan. Kalau Kak Didi?"
"Akhir tahun ini mau nikah katanya, tapi belum pasti. Kenapa sih, Ca?" tanya Bila heran karena Caca terus bertanya soal adik lelakinya.
"Siapa tahu nanti nasib Caca sama kayak Kak Bila, dapat saudara sendiri."
Karen langsung menatap tajam Si Bungsu. "Nggak usah mikir aneh-aneh kamu, Dek! Udah cukup Kak Ave dapat anak Om Revan. Kamu nanti kalau cari suami jangan kerabat sendiri. Kalau perlu yang jauh sekalian."
Caca manyun, sementara Bila terbahak.
"Bunda aja bolehin Kak Bila nikah sama Kak Daffa. Kok Mama nggak? Malah disuruh yang jauh lagi."
"Sekolah dulu yang bener, Dek. Masih kecil juga udah mikir nikah," ujar Bila sambil berdecak.
"Tuh, motong wortel aja masih tebel tipis," tambahnya lagi.
Caca langsung meneliti hasil potongan wortel miliknya. Penasaran.
"Ini tadi Mama yang potong tebel-tipis. Caca baru megang pisau. Nah, kan, nggak masalah berarti, nggak ada hubungan sama potong memotong."
Bila terdiam. Belum tahu saja Caca bagaimana dulu kisah kasihnya yang tak semudah seperti kelihatannya. Bagaimana repotnya dia ketika menikahi om-om kaku dan harus mengubahnya menjadi lebih manusiawi. Hah, masa lalu yang sedikir semrawut.
"Meiiiiii!" suara teriakan Masha langsung mengema di seluruh sudut rumah.
"Kenapa sih, Kak? Kok udah pulang?"
"Capek, Mei tadi udah pelgi jauh. Sekalang jam belapa, Mei?" tanya Masha sambil memanjat untuk duduk di kursi.
"Jam dua. Kak Masha ndak ngantuk?"
Masha menggeleng pelan. Matanya menatap makanan favoritnya yaitu ayam kentucky di sudut meja. Bila yang tanggap langsung menutup piring berisi ayam tersebut.
"Buka puasanya masih lama, Mei? Kak Maca mau itu," rengek Masha dengan wajah khas merajuk.
Bila menggeleng pelan. "Masih lama, Kakak tidur dulu aja, ya? Nanti dibangunin pas mau buka. Di jalan kamu belum tidur lho."
Jodoh, Bila baru saja menutup mulut ketika Masha menguap.
"Mau tidul sama Ayah!"
Ah, anak ayah kembali muncul.
"Sama Kak Caca aja yuk, Kak?" potong Caca cepat.
"Mau ayahhh!" tolak Masha mantap.
"Ayah di depan kan, Kak? Ke depan gih tempat ayah," ujar Bila yang baru mencuci sayur.
"Antelin, Memei!"
"Yuk, sama Kakak?" potong Caca menengahi.
"Sama Memei!" tolak Masha keras kepala. Caca langsung mendengus.
Bila berdecak. "Kalau udah jam tidur dia manjanya kambuh gini, Ca. Sekali bilang A ya harus A. Aku tidurin Masha dulu ya, Ma, Ca."
"Iya."
Bila menggendong Masha yang langsung meletakkan kepala di leher.
"Lapel, Mei!" rengeknya dengan mata yang mulai terpejam.
"Bentar lagi buka. Kita tidur di kamar, ya?"
"Sama Ayah!"
Bila menghela napas, akhirnya dia terpaksa memotong obrolan seru para lelaki. Daffa yang paham langsung undur diri dan mengambil alih Masha. Dia berjalan membawa Masha ke kamar dengan Bila mengekor di belakang.
"Udah tidur belum?" tanya Daffa ketika sampai kamar. Posisi kepala Masha tidak memungkinkan untuk dia melihat.
"Masih merem-melek. Tunggu bentar lagi. Baterainya lima persen."
Tidak lama kemudian, Masha sudah seratus persen tidur. Daffa pun langsung menurunkan di kasur.
"Coba ada adik, ya? Dia pasti nggak manja lagi," ujar Daffa yang mendapat decakan dari Bila.
"Nggak jaminan. Asal Kak Daffa nggak manjain dia aja, kebiasaan sih apa-apa diturutin."
"Daripada nangis? Kamu juga yang repot."
"Tapi sekali-kali dia nangis nggak papa, jadi biar kalau pengen sesuatu ada usahanya. Masha mau boneka barbie lagi, ya suruh dia nggak jajan itu bakso bakar tiap sore."
Faktanya, makanan favorit Masha selain ayam adalah bakso bakar. Penjualnya setiap hari lewat depan rumah mereka. Begitu mendengar suara, Masha akan lari dengan kecepatan penuh untuk menghadang.
"Iya, iya." Daffa akhirnya mengalah. Kalau tidak, obrolan ini bisa semakin panjang.
**
Semua personil sudah siap di ruang tamu, tinggal menunggu tamu jauh. Waktu menununjukkan jam empat sore. Suara mobil berhenti membuat Bila dan Daffa mengernyit.
"Kok kayak kenal suaranya ya, Bil?" tanya Daffa memastikan.
"Iya, kayak punya Ayah."
"Bukannya kemarin katanya mereka nggak bisa ikut ke sini?" tanya Alvin memastikan.
Berhubung Fakhri tidak mungkin datang dengan kendaraan, akhirnya mereka yang penasaran keluar untuk melihat.
"Jadi, kamu maksa buat ke sini cuma karena ada Fakhri? Kenapa nggak bilang dari awal?" tanya Reffi dengan kesal. Volume yang digunakan tidaklah kecil sehingga bisa terdengar.
"Aku nggak tahu kalau Fakhri ada di sini juga. Seriusan."
"Alasan!"
"Beneran, Reffiiii!" jawab Alya yang mulai ikutan kesal. Dia memang merajuk minta ikut ke Surabaya karena bosan. Namun, dia sama sekali tidak tahu kalau Fakhri juga ada di kota ini mengingat Reffi yang curiga jika dia berkomunikasi dengannya. Dia juga baru tahu kalau Fakhri pulang ketika melihat mobilnya di depan rumah tadi.
"Emang apa yang salah sama Om Fakhri?" tanya Caca dengan berbisik kepada Bila.
"Om Fakhri kan teman dekat Bunda. Ayah selalu cemburu kalau nama Om Fakhri disebut."
"Kan udah pada tua!" timpal Caca yang membuat Alvin menengok ke arahnya. Kata tua memang sedikit sensitif di telinga.
"Entahlah," jawab Bila mengangkat bahu sambil berjalan masuk kembali ke dalam rumah.
Cemburu menguras hati.
Galau kini menyiksa diri....
Seakan takdir semakin memperkeruh suasana, ponsel milik Caca bersuara karena ada panggilan masuk. Nada dering yang dipasang pun cocok untuk kondisi Alya dan Reffi.
Masa lalu biarlah masa lalu.
Jangan kau ungkit jangan ingatkan aku.
Masa lalu biarlah masa lalu.
Sungguh hatiku tetap cemburu.
Suasana kian memanas ketika tetangga sebelah menyalakan musik dengan volume tinggi. Alya meringis, liriknya cocok untuk Reffi, tetapi bedanya di sini Reffi-lah yang mulai membahas masa lalu.
"Kalian nggak masuk?" tanya Alvin yang akhirnya menengahi perdebatan kecil mereka.
Alya tersenyum kecil dan berjalan menghampiri Alvin.
"Makasih, Kak!" ucapnya begitu ada di depan Alvin.
Di belakangnya, Karen menepuk bahu Reffi. "Yang sabar, ya! Sayangnya masa lalu itu tidak akan pernah bisa dihapus. Kamu kalah start sama Fakhri."
Reffi menghela napas.
Masa lalu itu tidak akan pernah bisa dihapus.
♥♡♡
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top