1 - Nggak mau Taraweh!

"Ca, kok kamu nggak siap-siap taraweh? Besok hari pertama puasa lho, Dek?" tanya Karen kepada si bungsu yang sibuk menonton televisi.

"Nggak ah, Ma. Caca malas."

Karen mengernyit heran, bagaimana tidak jika tahun-tahun sebelumnya Caca adalah yang paling rajin urusan pergi ke mushola. Kadang, baru selesai buka saja dia langsung siap-siap buat taraweh. Lalu, kenapa tahun ini dia bersikap aneh?

"Kenapa sih, Ca? Mana boleh kita menyambut Ramadhan malas-malasan. Nggak semua orang beruntung kayak kita bisa ketemu bulan puasa lagi."

Caca menengok mamanya yang sudah ikut duduk di samping. Dia mendesah.

"Nggak malas sambut puasanya, Ma. Tapi, malas aja buat taraweh di mushola."

"Terus mau taraweh di rumah?"

"Yup!" Caca mengangguk mantap.

"Yakin mau di rumah? Baca suratnya banyak lho, biasanya kamu juga rajin ke mushola karena itu, kan? Katanya kalau taraweh sendiri kamu suka lupa sudah dapat berapa rakaat?"

Oke, Caca mulai gamang. Sejujurnya dia memang tidak biasa taraweh sendiri di rumah. Dari kecil, dia selalu mengekor pada orangtua atau kakaknya ke mushola. Sayangnya, tahun ini lain cerita.

Cerita nggak ya ke Mama?

Caca mulai ragu. Mau cerita takut dapat ceramah, tapi kalau tidak dia juga dapat ceramah. Serba salah, kan!

"Caca males ketemu Mas Hafi, Ma," ujarnya yang memilih jujur.

"Hafi? Hanafi? Tetangga kita? Guru ngajimu dulu? Kenapa?"

Aih, kan pertanyaannya jadi banyak dan jawabannya bakal panjang.

"Iya. Mas Hafi-Hanafi, guru ngaji. Caca kan nge-fans sama Mas Hafi, Ma. Makanya dari dulu semangat kalau ke mushola.. Tapi, sekarang kan Mas Hafi udah nikah. Pasti dia bakalan ke mushola bareng istrinya terus sok mesra gitu."

Caca bercerita semangat dengan bibir mulai mengerucut. Dia kesal sendiri jika ingat fakta bahwa guru ngaji yang dulu dia suka berakhir pada wanita lain. Wanita yang dia tidak tahu asal-usulnya. Wanita yang membuat dia merasa bagai seonggok sampah karena imannya yang kalah jauh. Jika mereka disuruh berdiri bersama pasti akan seperti surga dan neraka. Iya, Caca-lah nerakanya. Siapalah dia, hanya anak SMA yang sedang mengikuti trend zaman sekarang.

"Kamu beneran suka? Mama kira waktu bilang suka itu sama kayak kamu anggap Kak Ave sama Kak Ken. Padahal waktu Kak Ave nikah kamu biasa aja, kan?"

Caca mengangkat bahu, dia sendiri juga dulu menganggapnya begitu. Di sinilah bedanya, dia senang ketika kakaknya menikah, tetapi tidak ketika Mas Hafi. Mas Hafi itu sudah menjadi guru ngaji sejak kecil dan terakhir jadi pembimbing guru ngaji yang sekarang. Walaupun sedikit urakan begini, Caca masih mau ke mushola dua kali seminggu di sore hari untuk mengajar ngaji anak-anak. Tradisi yang sudah turun menurun di kampungnya. Di antara semua temannya, Caca-lah yang paling semangat, bagaimana tidak kalau ada Mas Hafi yang jadi impian masa depan.

Itu dulu, sekarang dia hanya bisa meratapi masib bahwa kesempatan untuk menjadi istri Mas Hafi telah lenyap.

"Ca," ujar Karen memotong lamunan Caca.

"Ya, Ma?"

"Itulah kenapa Papa selalu bilang, kalau kita melakukan ibadah buatlah Allah sebagai alasannya, bukan orang lain. Biar nggak kayak gini, sekalinya motivasimu hilang jadi loyo. Buat apa kamu terlihat baik di depan manusia kalau di depan-Nya justru tidak?"

Kan, dapat ceramah lagi. Walaupun harus Caca akui perkataan mamanya sangat benar, tapi tetap saja. Ikhlas itu susah untuk dia lakukan.

"Ah, tapi nanti kalau Caca jadi sebel gimana, Ma? Lihat wajah istrinya kalau ketemu di jalan aja udah bikin malas. Mama bisa bayangin nggak kalau ternyata nanti kita berdiri sebelahan? Neraka dunia!"

"Ya udah, jadi yakin nggak mau ikut ke mushola?" tanya karen sekali lagi.

"Huum."

"Padahal hari ini papamu mau isi kultum lho," pancing Karen sambil tertawa dalam hati.

Caca langsung melebarkan mata tidak percaya. "Papa? Isi kultum? Nggak salah, Ma? Papa ini lho."

Karen tertawa. Wajar saja kalau Caca langsung memberondongnya dengan banyak pertanyaan. Kemarin dia juga melakukan hal yang sama.

"Iya, harusnya Pak RT yang isi hari pertama, cuma kebetulan lagi ada acara ke luar kota. Terus nggak tahu deh itu papamu disuap pakai apa kok akhirnya mau gantiin. Nggak meyakinkan ya, Ca? Nanti papamu nggak salah materi, kan? Takutnya malah jelasin lemari kayu dari toko mebel."

Caca terbahak mendengar kalimat Karen. Papa Alvin dengan gaya pak ustadz yang memberi ceramah seumur-umur belum pernah dilihatnya. Memang sih, beliau cukup dekat dengan Pak RT dan beberapa kali menjadi ketua panitia dari kegiatan yang ada. Namun, tetap saja, kalau ceramah sulit dibayangkan.

"Kalau gitu Caca mau ikut taraweh di mushola, Ma! Siap-siap dulu, ya! pamit Caca langsung berjalan menuju kamar.

"Yakin, Ca? Nanti ada istrinya Mas Hafi lho!"

"Biarin, Ma! Nanti anggap aja dia makhluk tak kasat mata."

Malam itu akhirnya Caca berangkat taraweh demi rasa penasarannya.

Terkadang, kita butuh satu dorongan untuk melakukan suatu hal kebaikan.

Butuh waktu untuk melepas dan mengikhlaskan mimpi yang sudah pernah kita buat selama beberapa waktu.

♥end♥

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top