Thrilling Opening

Sebagai penulis, kita pasti pernah mengirim naskah ke editor. Entah itu untuk terbit cetak, maupun terbit digital. Sedikit cerita, September 2019 saya mengirim sinopsis dan 3 bab awal ke Cabaca. Setelah menunggu sekitar tiga bulan lebih, Januari 2020 saya menerima reply, dengan paragraf keduanya seperti di bawah. 

Kenapa harus mengirim tiga bab awal?

Dengan membaca tiga bab awal, editor akan mengukur gimana cara kamu menulis. Apakah setelah membaca ada keinginan untuk membaca lanjutannya? Apakah kamu paham PUEBI? Lalu, apakah tiga bab awal kamu mewakili elemen cerita?

Bab pembuka, biasanya berisi tiga bab yang kadang disebut sebagai narative hook, yaitu pembuka cerita yang mampu mengikat perhatian pembaca sehingga si pembaca akan terus-menerus melahap cerita kita. Tiga bab pertama ini terkadang bikin kita terlalu bersemangat, tetapi bikin bingung juga. Kenapa karena inti dari dari tiga bab pembuka adalah perkenalan. Ibaratnya lagi PDKT gitu kan, kita pastinya kenalan dulu, minimal tahu nama. Begitu juga dengan penyajian bab pembuka.

Seperti ulasan pertama Mbak Editor di atas, ada beberapa hal yang harus dihindari saat menulis bab pembuka.

1. Kalimat Klise

Kalimat pembuka atau kalimat pertama di draft novel diusahakan menyajikan sesuatu yang berbeda, bukan hal itu-itu saja. Yang paling sering tuh tentang cuaca. Jujur, saya juga gitu saat awal-awal menulis.

Pagi yang cerah, matahari mulai muncul di ufuk timur, burung-buruk berkicau di balik dedaunan, angin berembus sepoi-sepoi dan seterusnya.

Dengar-dengar editor suka kabur kalau membaca pembuka seperti itu. Kalau tetap ngotot ingin mendeskripsikan cuaca, coba ubah narasinya, gunakan panca indra.

Jika di luar, udara terasa segar menenangkan.

Hujan yang turun semalam tampak masih menggenangi lubang-lubang di jalan, menguarkan aroma tanah basah. Jejak air menghiasi dedaunan beringin yang berdiri kokoh di sudut halaman. Kicau riang dari burung-burung terdengar saling bersahutan. Nuansa pagi yang setia menyapa penghujung Januari ketika jendela kayu itu terbuka. Mentari hari Minggu mulai muncul, lingkaran oranye memancarkan sinar cerahnya dari ufuk timur, memberikan kehidupan baru di muka bumi.

Namun tidak dengan kamar itu.

Yang ada hanya hawa lembap, amis, anyir, menyesakkan napas penghuninya, seorang gadis dengan rambut acak-acakan, piyama lusuh penuh dengan bercak noda kemerahan membungkus tubuh kurusnya.
(WidiSyah - Tetapi Bukan Aku)

2. Terlalu Banyak Detail

Sebagai penulis, kadang kita sudah punya banyak adegan menari-nari di kepala, lengkap dengan detail tempat, adegan dan orang-orang yang berperan pada cerita kita. Tapi itu bukan berarti kita harus langsung menjelaskan semuanya pada awal cerita. Hindari memasukkan tokoh se kampung di awal cerita, secukupnya dan seperlunya, tidak perlu semua apa lagi menghabiskan sampai sehalaman penuh untuk menceritakan detail lokasi latar dan perkenalan tokoh dari novel itu.

3. Aktivitas Tidak Bermakna Tanpa Konflik 

Meski fiksi, bukan berarti kita bebas menulis apa saja yang dilakukan oleh tokoh kita. Setiap kejadian harus ada tujuannya dan menggerakkan cerita ke depannya, jangan bertele-tele. Contohnya, obrolan basa-basi para tokoh bertukar kabar yang bisa mengambil tempat setengah halaman sendiri.

Lantas, bagaimana cara menulis bab pembuka yang akan bikin pembaca betah untuk terus membaca?

A. Perkenalan Tokoh

Namanya Rara, tinggi 155 cm, berat 39 kg, rambut ikal panjang, hidung kecil mancung, mata bulat, bibirnya mungil penuh selalu dipulas dengan lip tint merah muda.

Jangan menuliskan perkenalan seperti bio data yang dinarasikan. Tuliskan seperlunya, sebar informasi lewat sudut pandang si tokoh ketimbang menuliskannya dari mata segala tahu.

"Rara!"

Gadis itu menoleh, rambut panjangnya yang bergelombang terayun, matanya menyipit saat mencari sumber suara. Bibir mungil yang dipulas lip tint merah muda itu langsung membentuk garis lengkung saat menyadari jika akulah yang memanggilnya. Jantungku seperti berdetak beberapa saat.

"Barry!" Rara balas melambai, lengan kurusnya berayun persis seperti kerangka yang terbungkus kulit. Saat jarak di antara kami terkikis, gadis itu mendongak kemudian tersenyum lebar. Ah, tulang pipinya semakin menonjol saja. Entah ke mana semua lemaknya. 
(WidiSyah - Tetapi Bukan Aku)

Deskripski di atas juga sejalan dengan konsep Show Don't Tell

B. Fokus

Pernah dengan istilah pace? Pace bisa dikatakan sebagai tempo; seberapa cepat atau lambat sebuah adegan dalam cerita, atau cerita itu sendiri, mengalir bagi pembaca. Sementara pacing merupakan jurus gaya bahasa yang menunjukkan seberapa cepat cerita terbentangkan. Ditentukan dengan panjang sebuah adegan dan kecepatan yang menyalurkan informasi.

Baru tiga bab pertama, jangan melebar ke mana-mana, jangan main gonta-ganti adegan yang tidak penting. Di tiga bab pertama, tujuan tokoh sudah harus ketahuan. Susun plot serapi mungkin, agar 3 bab pertama tidak terlihat loncat-loncat karena semua pengin diceritain tapi ujung-ujungnya malah membuat pembaca bingung ceritanya akan dibawa ke mana.

"Mama ...."

Gadis kecil itu melangkah terseok, tersaru-saruk mendekat ke dinding. Tangan mungilnya terulur menarik gagang pintu, berkali-kali menggerakkan dari atas ke bawah, tetapi bingkai persegi kayu hitam itu tak kunjung terbuka. Terkunci.

"Mama ...." Gadis itu memelorotkan tubuh, menyandarkan punggung pada dinding penuh lumut kehijauan. Lengan penuh lebam kebiruan memeluk lutut yang menyisakan jejak merah. Alirannya hampir mengering sampai ke tengah betis. "Mama ... aku ingin pipis," ucapnya terpatah-patah sembari meringis.

Keringat dingin merembes tanpa henti, menganak sungai di sepanjang tulang pipi. Dia mulai terisak, peluh bercampur dengan air mata. Ketakutan menyergap, semua rona meninggalkan wajahnya ketika gadis itu menunduk, menyadari sesuatu yang basah mengalir di sela paha.

"Mama ... aku ngompol," keluhnya sedih.
(WidiSyah - Tetapi Bukan Aku)

C. Konflik

Ada tujuan, pastinya ada rintangan yang menghalangi. Sebaiknya tiga bab pertama sudah kelihatan konfliknya. Biar apa? Ya biar pembaca penasaran dan mengikuti ceritanya. Daya tarik cerita dan pergerakan plot didasarkan pada konflik. Kalau tiga bab pertama masih meraba-raba, pembaca auto malas lanjut.

Wulan terduduk di lantai bersama dengan tabung silinder berisi sampah tisu. Bajunya basah seperti mandi.  Gadis itu meringis menahan sakit sembari meniup siku yang menegeluarkan darah. Di depannya berdiri tiga sosok semampai, aku mengenali seorang yang bernama Dhita. Dua lainnya entah siapa, sepertinya berbeda kelas dengan kami, mereka memandang sinis sembari berkacak pinggang.

"Kalian ini kenapa?"

Kesiap menyentak keterdiamanku saat Rara tiba-tiba berderap mendekati, membantu Wulan berdiri.

"Jangan ikut campur!" Dhita mendorong Rara ke samping, tubuh gadis itu nyaris terjengkang jika aku tidak sempat merengkuh pinggangnya. "Anak ini perlu dikasi pelajaran!" bentak Dhita lagi.

"Salah dia apa?" 

Di mataku, wajah Rara membutuhkan banyak penjelasan, seperti halnya denganku. Apa yang telah dilakukan Wulan sampai ketiga gadis ini berlaku bar-bar? 

"Karena anak ini masuk dengan beasiswa, dia bikin kita jadi terlihat bodoh." Telunjuk si gadis yang roknya paling pendek teracung di wajah Wulan.

Akhirnya, gadis itu menjawab keingintahuanku dan Rara. Sahabat kami, Wulan, dirisak karena otaknya.
(WidiSyah - Tetapi Bukan Aku)

D. PUEBI

Gunakan bahasa dan tanda baca yang baik dan benar. PUEBI harga mati untuk penulis. Jangan sampai hal-hal terkecil seperti awalan nama harus kapital, imbuhan bermasalah, penempatan kata depan dan akhiran masih salah.

E. Storytelling

Seorang sahabat selalu bilang ke saya, "Jadi untuk punya storytelling yang bagus, harus melatih feeling dulu. Belajar peka sama sekitar. Lalu mengembangkan intuisi supaya bisa membayangkan adegan." 

Show, Don't Tell. 

Buatlah para pembacamu membayangkan dengan jelas apa yang sedang kamu ceritakan, tunjukkan, alih-alih cuma bercerita. 

So, apakah sudah siap dengan bab pembuka kalian yang menyentak sekaligus mendebarkan?

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top