Terima Kasih, Elang!

Aku membuka kedua mataku dan melihat sekeliling. Ternyata aku sudah dipindahkan ke Kamar Perawatan Biasa. Aku berusaha bangun untuk duduk di atas kasur namun tubuhku terasa lemah sekali. Berat rasanya untuk mengangkat badanku sendiri.

Aku melihat segelas air di atas meja di samping tempat tidurku. Kerongkonganku terasa kering dan aku ingin sekali minum. Aku mencoba untuk menggapai gelas tersebut namun lagi lagi aku kalah dengan keadaan tubuhku yang tidak berdaya. Tak ada orang di kamarku saat ini. Aku memutuskan untuk menunggu seseorang datang ke kamarku.

Ceklek.

Aku menoleh ke arah pintu. Elang!

“Yan? Kamu udah bangun?” tanya Elang.

Aku mengangguk perlahan kemudian berusaha bangun.

“Bentar Yan, kamu enggak usah bangun, biar tempat tidurnya aja aku naikkan.”

Elang kemudian menaikkan tempat tidurku agar aku bisa terduduk dan bersandar.

“Lang, aku haus.” kataku lemah.

Elang lalu mengambil segelas air di atas meja dan memberikan kepadaku.

“Terima kasih ya.” kataku tersenyum lemah. Elang membalas dengan belaian lembut penuh kasih sayang di kepalaku.

“Kamu semakin kurus Yan, aku sedih melihat kamu begini.” ujar Elang.

“Maaf…” kataku merasa bersalah.

“Kenapa kamu minta maaf?”

“Karena aku sudah buat kamu sedih?”

Elang tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Kamu memang membuat aku sedih dengan kondisi kamu kini,” Elang berhenti sejenak lalu mendekatkan bibirnya ke telingaku. “tapi kamu lebih membuat aku mencintai kamu dan semakin menyayangi kamu.” lanjutnya berbisik lembut.

Aku tersipu mendengar kata-kata Elang yang berbisik di telingaku.

Dan Elang senang sekali berhasil menggoda Dian. Elang rindu dengan tingkah Dian yang tersipu malu setiap berada di dekatnya. Elang merindukan senyuman Dian. Elang merindukan Dian yang dulu.

“Lang…”

“Hmm? Kenapa sayang?”

Aku tersenyum dan kembali tersipu mendengar dipanggil sayang.

“Cieee ada yang blushing nih, kan udah biasa panggil sayang-sayangan.” goda Elang.

“Ih Elang!” aku cemberut lalu menempelkan kedua telapak tangan di kedua pipiku. Malu!

“Kenapa Yan? Kamu mau ngomong apa?” tanya Elang serius.

Aku menatap lekat Elang tanpa sadar setetes air mata jatuh di pipiku. Dengan cepat Aku menghapus air mata itu namun Elang sudah terlanjur melihatnya.

“Kamu kenapa menangis Yan?”

Aku menggeleng perlahan dan tertunduk, menahan air mataku agar tak tumpah ruah.

“Sayang?” Elang menggenggam tanganku dan mengangkat daguku membuatku terpaksa menatap wajahnya. Elang menatap intens kedua mataku yang sembab meminta jawaban.

“Lang, aku tahu aku egois, aku tahu aku sudah banyak permintaan kepada Tuhan, aku juga sadar kalau aku seperti orang yang tidak bersyukur.” aku terisak.

“Yan, kamu kenapa ngomong kayak gitu?” Elang mengusap air mataku lembut.

“Karena aku ada permintaan terakhir buat kamu Lang,” aku menghela napas. “aku mau kamu berhenti mencintai aku.” lanjutku menatap lekat tepat di kedua bola mata Elang.

Elang menatapku lekat, untuk sesaat suasana menjadi hening lalu perlahan Elang tertawa kemudian menghembuskan napas dengan kasar.

“Yan, aku akan menuruti semua permintaan kamu, apapun itu, tapi berhenti mencintai kamu? Yang benar saja! Cinta gak sebercanda itu!” Elang mendengus.

“Lang, aku mohon. Demi aku?”

“Ini selalu demi kamu, Yan! Aku melakukan semuanya itu demi kamu!”

“Aku mohon, kamu akan terluka dan menderita jika terus mencintai aku!”

“Itu masalah aku Yan!” Elang sedikit membentakku dan berhasil membuatku tertunduk. “aku tidak peduli jika harus terluka, aku tidak peduli jika harus menderita. Kalau mencintai kamu membuatku terluka dan menderita, aku tidak akan pernah menyesalinya.” Elang menegaskan di setiap kata-katanya.

“Lang…”

“Sudah cukup! Aku tidak mau berdebat lagi. Anggap saja kita tidak pernah membicarakan hal ini. Anggap saja kamu tidak pernah mengucapkan permintaan itu. Dan jangan pernah sekali pun berpikir aku akan berhenti mencintai kamu.” Elang sekali lagi menegaskan di setiap kata-katanya.

Permintaanku mungkin memang egois, tapi aku meminta hal itu juga untuk kebaikan Elang. Aku sadar bahwa aku sudah sekarat dan aku akan meninggalkan dunia ini. Aku tidak ingin Elang terjebak dengan perasaan cintanya kepadaku, di saat aku sudah tak ada lagi di dunia ini. Bukan hanya akan membuat Elang terluka dan menderita, tapi juga akan menghancurkan hidupnya. Aku tidak ingin itu terjadi pada Elang.

Suasana kembali hening, Elang duduk di samping tempat tidurku, menggenggam tanganku. Wajahnya tertunduk tak menatapku, dia hanya diam saja.

“Lang…” panggilku lembut.

Namun, tidak ada sahutan dari Elang.

“Elang…” panggilku lagi.

“Hmm…” Elang hanya berdehem.

“Sayang…” aku mulai merayunya.

Elang mengangkat kepalanya dan menatapku. “Aku sudah bilang kan tidak mau berdebat?”

Aku memanyunkan bibirku. “Aku… cuma mau bilang terima kasih.”

Elang mengkerutkan keningnya. Aku paham dia sedang bingung.

“Terima kasih ya, Elang Pratama,” kataku tersenyum. “terima kasih sudah menjadi cinta pertama aku. Terima kasih sudah menjadi alasan dan motivasi aku untuk terus hidup. Terima kasih sudah mau mengenal aku dan terima kasih sudah mencintai aku.” lanjutku mengucapkan terima kasih yang benar-benar tulus dari dalam lubuk hatiku.

“Terima kasih juga ya, Diandra Alleira,” Elang tersenyum kepadaku. “terima kasih sudah menjadikan aku cinta pertama kamu. Terima kasih sudah menjadikan aku alasan dan motivasi kamu untuk terus hidup. Terima kasih sudah mengizinkan aku mengenal kamu dan terima kasih juga sudah memberikan aku kesempatan mencintai kamu.” lanjut Elang kemudian dia mengecup lembut tanganku.

Ada perasaan lega di hatiku, bisa sempat mengucapkan terima kasih kepada Elang. Tak lupa aku juga sangat bersyukur dan berterima kasih kepada Tuhan. Dibalik penyakit mengerikan yang aku derita, Tuhan ternyata benar-benar sayang kepadaku. DIA mendengar doaku dan mengabulkannya. Bahkan lebih dari yang aku bayangkan.

Kini, aku merasa tenang jika Tuhan ingin memanggilku. Setelah apa yang DIA berikan untukku di sisa hidupku, sudah waktunya aku kembali pulang bersama-NYA. Aku tahu DIA menungguku dan aku tahu DIA yang paling mengetahui kapan waktu yang terbaik untuk mengajakku pulang bersama-NYA. Aku menyiapkan diriku dan mengikhlaskan.

Ddrrrttt. Ddrrrttt.

Ponselku bergetar di atas nakas, Elang memberikan padaku.

Silmi : Yan, gue sama Angga besok jenguk ke Rumah Sakit ya?

Silmi : Katanya lo udah dipindahin ke Kamar Perawatan Biasa?

Diandra : Iya, Sil. Gue udah dipindahin ke Kamar Perawatan Biasa.

Diandra : Maya gak jenguk gue?

Silmi : Maya jenguk lo juga kok.

Silmi : Dia kan bawa mobil sendiri.

Diandra : Oh oke.

Diandra : Gue tunggu kalian ya besok!

Diandra : Kangeeeeen 😘

Silmi : Sama Yan, Kangeeeen juga 😘

Silmi : Banyak istirahat ya!

Silmi : Sehat terus sayangku ❤

Aku tersenyum membaca pesan dari Silmi. Tanpa sengaja aku melihat jam di ponselku sudah menunjukkan pukul 21.00.

“Lang, kamu enggak pulang? Ini udah jam 9 malam?” tanyaku kepada Elang.

“Aku mau temani kamu sampai pagi.” jawab Elang.

“Loh, kamu gak sekolah besok?” tanyaku lagi.

Elang mengkerutkan keningnya. “Besok kan hari sabtu Yan, sekolah libur.”

Aku mengangguk tanda paham. Tiba-tiba aku teringat dengan Mamaku. Baru saja aku ingin menanyakan kepada Elang, Mamaku sudah berdiri di ambang pintu kamarku.

“Eh, ada Elang.” sapa Mamaku.

“Selamat malam tante.” Elang menyalim Mamaku.

“Sudah lama di sini?” tanya Mamaku.

“Sudah daritadi sore tante.” jawab Elang.

“Terima kasih ya sudah mau jagain Dian. Kamu pasti lelah, sebaiknya kamu pulang dan istirahat.”

“Enggak apa-apa tante, Elang ja…”

“Lang.” aku menyela sambil menarik tangannya.

“Kenapa Yan?”

“Aku… mau sama Mamaku malam ini. Aku kangen sama Mama.”

Elang menatapku kemudian mengangguk perlahan.

Sepertinya Elang lupa, bahwa aku juga membutuhkan Mama. Aku merindukan Mama. Pada dasarnya aku hanyalah gadis kecil yang masih ingin dimanja oleh Ibu sendiri. Aku paham, Elang pasti sangat merindukanku. Aku tahu dia mencintai aku dan aku juga mencintainya, aku juga merindukannya.

Tapi, bagi seorang anak, gadis sepertiku, apalagi dalam keadaan sekarat. Mama adalah orang yang paling aku butuhkan sekarang ini. Tak bisa aku bayangkan, jika waktuku habis tanpa melihat dan memeluk Mama untuk yang terakhir kalinya. Wanita terhebat yang paling aku sayangi dalam hidupku.

Elang kemudian berpamitan kepadaku dan Mama. Namun, sesaat sebelum dia keluar, dia berbalik ke arahku.

“Yan, tadi Sarah jenguk kamu ke sini, tapi karena kamu masih tidur dia hanya titip salam buat kamu.”

“Salam balik ya buat Sarah.”

Elang tersenyum dan mengangguk. “Aku pulang ya?”

Aku menatap kepergian Elang. Mama senyum-senyum sendiri melihatku dengan Elang.

“Mama kenapa?” tanyaku.

“Enggak apa-apa, anak Mama ternyata sudah besar ya?” goda Mama.

“Ih Mama!” aku cemberut. “Mah, Dian kangen.” aku bermanja-manja di pelukan Mamaku.

“Mama juga sayang, Seminggu kamu tidak sadarkan diri. Mama kangen pake banget sama kamu.” Mama mengecup lembut puncak kepalaku.

Sungguh! Tak ada yang bisa mengalahkan kehangatan pelukan Mama. Merasakan kelembutan dirinya, Mendengarkan suara merdunya dan menerima kasih sayangnya yang berlimpah tak terhingga. Semuanya adalah surga bagiku.

Malam itu, aku tidur satu ranjang dengan Mama. Aku merengek ingin dimanja, tak seperti biasanya.

Sepanjang malam Mama memelukku dan bersenandung sambil menepuk-nepuk pelan lenganku. Sesekali Mama mengelus lembut rambutku. Aku merasa tenang sekali dan memeluk erat Mamaku. Hatiku merasa, waktuku sudah semakin dekat.

Keesokan harinya, kedua sahabatku datang menjengukku. Angga datang dengan Silmi, sedangkan Maya datang lebih awal sendirian. Elang sendiri sudah berada di Rumah Sakit sejak pagi.

Aku menikmati kebersamaanku dengan kedua sahabatku juga Angga dan Elang. Aku menatap mereka satu persatu, tersenyum. Meski hatiku sakit karena harus meninggalkan mereka lebih dulu, tapi aku bersyukur, sangat bersyukur, memiliki kesempatan mengenal mereka.

Kedua sahabatku, Maya dan Silmi, dua orang yang tulus mau bersahabat denganku, yang entah bagaimana cerita hidupku tanpa mereka. Cinta pertamaku, Elang, seseorang yang memberi warna pada hatiku dan aku bahagia hanya dengan mencintainya. Teman terbaikku, Angga, siapa yang sangka dia adalah cucu dari orang yang sudah aku anggap Ayah.

Aku bahagia.

Aku bersyukur.

Aku sangat berterima kasih.

Hari ini, selepas teman-temanku menjengukku. Aku meminta Elang menemaniku menemui Kakek Albar dan Adek Vano. Aku merasa harus bertemu mereka. Mungkin untuk yang terakhir kalinya.

Aku menemui Kakek Albar yang ternyata Angga dan Silmi juga sedang menjenguknya. Kakek Albar menggenggam tanganku dan tersenyum kepadaku. Dia mengangguk perlahan seakan paham bahwa aku sebenarnya ingin berpamitan.

Kemudian aku menemui Adek Vano, si kecil itu langsung memelukku. Dia hanya menangis sambil mengatakan “Vano kangen sama Kak Dian.” aku membalas pelukannya, tanpa sadar airmata menetes di pipiku. Vano semakin erat memelukku.

Lalu aku meminta Elang mengantarkanku ke taman Rumah Sakit, tepat di mana pertama kali aku bertemu dengan Elang waktu masih kecil.

Aku memandang sekeliling Rumah Sakit yang sudah menjadi rumah keduaku, tak menyangka bahwa aku akan meninggalkan Rumah Sakit ini untuk selama-lamanya.

“Ini tempat di mana kita pertama kali bertemu.” kataku sambil menggenggam tangan Elang.

Aku menoleh dan menatap wajah Elang sambil tersenyum.

“Jangan palingkan wajah kamu, Yan. Biarkan seperti ini untuk sebentar saja. Karena aku ingin melukiskan  mata kamu, hidung kamu, bibir kamu, semuanya ingin aku simpan sebagai kenangan.”

Aku mengangguk perlahan dan tak memalingkan wajahku.

Elang kemudian menyentuh wajahku, jari-jarinya menyentuh dahiku, perlahan menyentuh mataku, hidungku, lalu bibirku. Jari-jari Elang berhenti di bibirku, mengusapnya lembut. Hatiku berdesir dan menderu.

“Bibir kamu adalah hal termanis yang pernah aku rasakan.” Elang berbisik tapi aku masih bisa mendengarnya.

ⱷⱷⱷⱷⱷ

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top