Serangan Pertama
Maya dan Silmi datang ke rumahku setelah kemarin aku meminta mereka untuk datang.
“Diaaaaan!!!” teriak Silmi begitu ada di kamarku. “Dian jujur! Lo udah jadian ya sama Elang?” lanjutnya bertanya tanpa ba bi bu.
“Etdah Sil! Sabar kali kita baru nyampe di rumah Dian!” hardik Maya.
“Bodo May! Gue penasaran! Dian bikin kepo tingkat halusinasi!”
“Lebay lo anjir!”
“Lo sendiri enggak kepo emang?”
“Ya kepo lah! Tapi enggak norak kayak lo!”
“Gaya lo gak norak! Kemaren panik pas Dian left chat! Hahaha!”
“Berisik anjir!”
“Udah, udah, yaelah kalian mau denger cerita gue gak?” aku langsung berbicara.
“MAU Yan! MAU!” pekik Maya dan Silmi berbarengan.
Aku, Maya dan Silmi akhirnya duduk di tempat tidur bersama dengan cemilan masing-masing. Aku sudah siap bercerita, Maya dan Silmi sudah siap mendengarkan.
“Ehem, jadi gini, “ aku memulai pembicaraan. “Gue sama Elang kemaren ciuman.” ujarku berbisik sumringah.
“WHAT!?!?!?” Maya dan Silmi kaget bersamaan kemudian melongo menatapku.
“Lo serius Yan? I mean, beneran ciuman?” tanya Silmi.
Aku mengangguk. “Elang yang mencium gue duluan dan dia bilang itu enggak sengaja.”
Maya mengkerutkan keningnya. “Enggak sengaja? Dia cium lo terus dia bilang enggak sengaja?”
“Gimana ceritanya itu jadi enggak sengaja?” Silmi menimpali.
Aku hanya mengangkat bahu.
Sekali lagi aku tidak peduli, mau itu sengaja atau gak sengaja, ciuman itu adalah ciuman pertamaku.
“Tapi Yan, lo sama Elang gimana? Maksud gue, lo udah jadian sama Elang? Dia membalas perasaan lo?” tanya Maya serius.
Aku hanya menggeleng. “Elang gak ada menyatakan perasaan apapun ke gue dan gue sama dia belum jadian.”
Raut mukaku langsung sedih memikirkan pertanyaan Maya. Elang sudah menciumku tapi dia tak menyatakan perasaan apapun kepadaku.
“Yan, lo harus minta ketegasan dari Elang! Ini namanya lo di gantung!” Maya menegaskan.
“Di gantung apanya May?” tanya Silmi.
Entah Silmi pura-pura bego atau dia enggak menyimak dari tadi!
“Etdah Sil! Ya di gantung perasaannya lah!”
“Perasaan siapa?”
“Astaghfirullah, ya perasaan Dian lah!” Maya menjitak jidat Silmi.
“Oh iya, iya, bener banget! Baru paham gue!” ujar Silmi dengan ekspresi muka yang baru saja di beri pencerahan.
Maya memutar bola matanya dengan malas kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya.
Aku memahami pertanyaan Maya. Sudah pasti perasaanku di gantung sama Elang. Entah kenapa hatiku terasa sakit dan dadaku menjadi sesak. Mataku mulai sembab dengan perasaan sakit karena di gantung. Aku mencoba tenang. Tapi aneh, dadaku yang tadi hanya terasa sesak semakin menjadi nyeri. Aku meringis sambil meremas dadaku.
“Yan? Lo gak apa-apa?” tanya Maya khawatir melihatku meringis.
Aku menggelengkan kepala ingin mengatakan baik-baik saja. Namun, tiba-tiba badanku ambruk ke arah Silmi. Aku mencoba sekuat tenaga untuk tetap sadar dan menahan rasa nyeri di dadaku yang semakin menjadi-jadi.
“Yan! Astaghfirullah Yan! Lo kenapa Yan?” Silmi panik memegang badanku.
“Sil! Dian kayaknya kena serangan jantung! Lo tunggu sini bentar biar gue panggil Bik Imah.”
“Iya May! Buru May! Kita harus bawa Dian ke rumah sakit!”
Maya lalu memanggil Bik Imah yang kemudian membantu Silmi memapahku ke mobil. Sedangkan Maya sudah siap di mobilnya, membukakan pintu agar aku dan Silmi bisa masuk di kursi penumpang belakang. Mang Ujang sedang tidak ada di rumah, beliau sedang mengantar Mamaku ke suatu tempat.
“Bik Imah tolong hubungin Mamanya Dian ya! Tolong bilang Dian kena serangan dan saya juga Silmi bawa Dian ke Rumah Sakit.” ucap Maya menjelaskan kepada Bik Imah.
“Iya Non, Bibik juga mau menghubungi Nyonya, Non tolong jagain Non Dian ya.” ujar Bik Imah gak kalah panik melihatku terkena serangan jantung.
“Iya Bik.” Maya mengangguk kemudian masuk ke mobilnya lalu tancap gas menuju ke Rumah Sakit Jantung Harapan Kita.
“May! Buru May! Dian kesakitan!” Silmi teriak dengan panik menyuruh Maya mempercepat laju mobilnya.
“Iya Sil! Iya! Ntar kalau kecelakaan gimana?”
“Dian kesakitan May! Ya Allah! Gue mau nangis!”
Aku yang masih menahan sakit di dadaku yang semakin menjadi-jadi hanya berharap Tuhan tidak mengambil nyawaku saat itu juga. Tidak sebelum aku memenuhi permintaanku sendiri. Kubuka mataku lemah dan melihat Silmi yang ternyata bulir air matanya sudah jatuh ke pipinya.
“Yan, bertahan Yan, gue mohon ini belum waktunya.” isak Silmi.
Maya kemudian mempercepat laju mobilnya. Dengan lihai dia menyalip-nyalip mobil di jalan raya. Mungkin, Maya ada bakat jadi pembalap.
"Bentar lagi nyampe Rumah Sakit Yan! Gue mohon bertahan Yan!" batin Maya.
ⱷⱷⱷⱷⱷ
Di Rumah Sakit, Angga dan Elang yang sudah sampai langsung menuju kamar Kakek Albar. Dan di dalam kamar, Kakek Albar sedang bermain dengan Adek Vano yang sedang memainkan mainan barunya.
Angga dan Elang kemudian bergantian menyalami Kakek Albar.
“Kakek tau gak? Kak Dian beliin Vano mainan balu lagi. Kak Dian baik ya?” Adek Vano menceritakan mainan barunya yang dari Dian ke Kakek Albar. Khas dengan cadelnya.
“Iya, Kak Dian memang baik kan.” ujar Kakek Albar sambil mengelus lembut rambut Adek Vano.
“Dian…” gumam Elang.
Elang kemudian melirik Angga yang ternyata juga sedang meliriknya.
"Bukan Diandra Alleira kan? Kalau iya, bagaimana Kakek Albar dan Adek Vano kenal Dian? Apa Dian pasien Rumah Sakit ini?" batin Elang.
Kemudian pikiran Elang menerawang mengingat bagaimana sehatnya seorang Diandra Alleira saat pergi jalan bersamanya. Tidak seperti pasien penyakit jantung.
Enggak! Pasti bukan Diandra Alleira! Pasti ada banyak nama Dian yang menjadi pasien Rumah Sakit ini!
Entah kenapa Elang merasa risih dan kepikiran dengan ucapan Adek Vano yang menyebut-nyebut nama Dian. Lalu dia coba menepis pikiran tersebut.
“Nak Elang, apa kabar? Sudah lama ya Kakek enggak ketemu kamu?” tanya Kakek Albar.
“Alhamdulillah, kabar Elang baik Kek. Elang juga minta maaf gak sempat sempat menjenguk Kakek.” jawab Elang.
“Ah enggak apa-apa. Angga saja yang keterlaluan gak pernah ngajak kamu menjenguk Kakek.” ujar Kakek Albar menyudutkan Angga.
“Astaghfirullah, Kek. Angga selalu ngajak Elang setiap mau jenguk Kakek, tapi Elang emang gak bisa mulu karena ada urusan.” Angga berkelakar tidak terima tuduhan Kakeknya.
Kakek Albar dan Elang hanya tertawa mendengar pembelaan diri dari Angga.
“Kakek Albal, Kak Dian kok enggak pelnah ke sini lagi ya?” tanya Adek Vano cemberut.
Pucuk di cinta ulam tiba, karena Dian sedang dalam perjalanan ke Rumah Sakit dalam keadaan terkena serangan jantung.
“Mungkin Kak Dian sedang sibuk, Kak Dian enggak akan lupa sama Adek Vano.” jawab Kakek Albar.
“Kek, Dian, Dian, itu siapa sih?” tanya Angga penasaran.
“Oh dia pasien Rumah Sakit ini,” jawab Kakek Albar. “Dian sudah anggap Kakek seperti seorang Ayah. Ayahnya sendiri sudah meninggal saat dia kecil dan Adek Vano juga sudah di anggap seperti adiknya sendiri.” lanjut Kakek Albar.
Angga manggut-manggut kemudian melirik Elang seolah mengatakan. "Kayaknya bukan Diandra Alleira, Lang"
“Angga sama Elang mau Kakek kenalin ke Dian?” tanya Kakek Albar.
Reflek Angga dan Elang saling tatap dan mengkerutkan kening.
“Enggak, Kek.” jawab Angga.
“Enggak usah, Kek.” jawab Elang.
“Duh, kalian, yauda kalau memang enggak mau,” Kakek Albar menghela napas. “Padahal Nak Dian tuh orangnya manis, baik, murah senyum, jago gambar dan jago main piano. Sayang, Dian menderita penyakit jantung dan kabarnya hidupnya tidak akan lama lagi.” lanjutnya memperlihatkan raut muka sendu.
Angga dan Elang hanya bisa terdiam mendengar penuturan Kakek Albar.
“Saya jadi kasihan dengan Ibunya Dian, setelah suaminya, kini, dia harus kehilangan putrinya, anak satu-satunya.” ujar Kakek Albar.
Suasana menjadi hening untuk beberapa menit. Sebelum akhirnya di kejutkan oleh bunyi dering dari ponselnya Elang.
“Bentar ya Ga, Kek, Elang angkat telepon dulu.” Elang kemudian keluar dari kamar dan enggak beberapa lama kembali masuk.
“Maaf Kek, kayaknya Elang harus pulang sekarang. Papa nungguin di rumah.” Elang meminta maaf lalu berpamitan dengan Kakek Albar dan Angga.
“Ga, gue balik duluan ya.”
“Oke, Lang.”
Elang kemudian keluar dari kamar, sekarang tinggal Angga bersama Kakek Albar di dalam kamar.
“Angga, Kakek lupa mau minta kamu beliin koran buat Kakek. Kamu bisa kan beliin?” tanya Kakek Albar.
“Bisa Kek. Di depan Rumah Sakit sepertinya ada yang jual, kalau gitu Angga beliin.” jawab Angga.
Brakkk.
Tiba-tiba mainan Adek Vano terjatuh tanpa sebab.
“Kak Dian…” Adek Vano mulai menangis.
“Cup, cup, cup, udah enggak usah nangis, Kak Dian enggak bakal marah kok mainannya rusak.” Kakek Albar menenangkan Adek Vano.
Adek Vano menggeleng kemudian menangis lagi. “Kak Dian kesakitan, Kek.” isaknya.
Angga yang menyaksikan kejadian itu menjadi bingung sendiri sambil menatap Kakeknya.
“Udah kamu beli saja korannya.” perintah Kakek Albar kepada Angga.
Angga mengangguk kemudian keluar dari kamar dalam keadaan bingung.
"Pasti terjadi sesuatu dengan Dian." batin Kakek Albar sambil memeluk dan mengelus lembut kepala Adek Vano agar tidak menangis lagi.
ⱷⱷⱷⱷⱷ
Maya dan Silmi sampai di Rumah Sakit berpapasan dengan motor Elang yang baru saja keluar dari parkiran. Silmi dengan cepat memapah Dian menuju pintu masuk Unit Gawat Darurat sedangkan Maya memarkirkan mobilnya. Namun, tiba-tiba tubuh Dian bertubrukan dengan seseorang dan hampir saja terjatuh.
“HEH! KALAU JALAN YANG BENER DONG! GAK LIAT APA TEMEN GUE LAGI KESAKITAN?” bentak Silmi.
“Ma-maaf.” ujar orang itu sambil mengelus dadanya karena kaget dengan bentakan Silmi.
Silmi tidak menggubris permintaan maaf orang tersebut.
"Galak banget itu cewek! Manis manis tapi asem kayak mangga muda." batinnya.
Untuk beberapa saat dia masih terdiam di tempat yang sama sambil memerhatikan Silmi. Tapi kali ini matanya lebih fokus kepada temannya yang sedang kesakitan. Samar-samar dia mendengar Silmi berteriak.
“Suster! Tolong teman saya suster! Teman saya Dian kena serangan!”
"Dian? Apa dia yang namanya Dian? Mukanya familiar." batin orang itu, lalu kemudian memutuskan pergi dari tempatnya berdiri.
Para suster kemudian memindahkan Dian ke atas ranjang pasien dan langsung di larikan ke Ruang Perawatan Intensif.
“Tolong cepat hubungi Dokter Akbar! Katakan Dian mengalami serangan!” perintah salah satu Dokter jaga di Rumah Sakit tersebut.
Silmi yang sudah menangis dari tadi karena panik dan ketakutan melihat keadaan Dian, terus berbicara agar Dian tetap sadar, bertahan dan kuat.
Dian yang melihat Silmi menangisi keadaannya tersenyum tipis. Kemudian mulutnya terbuka lemah seakan ingin mengatakan sesuatu. Silmi kemudian mendekatkan telinganya ke mulut Dian.
“Sil, gue rasa, gue kena serangan jantung karena jatuh cinta.” ucap Dian dengan nada suara yang lemah namun terdengar jelas oleh Silmi.
"Yan, lo kena serangan jantung, bikin orang panik, masih sempatnya bercanda ngomong kayak gitu." kata Silmi dalam hati.
Dian pun masuk ke Ruang Perawatan Intensif.
ⱷⱷⱷⱷⱷ
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top