Serangan Ketiga

Elang berjalan di koridor Rumah Sakit. Suasana tampak mencekam dan terlihat seperti tidak ada orang. Dia bermaksud menuju kamar rawat Dian. Namun, saat sampai di depan pintu kamar, Elang melihat Angga, di sana juga ada Silmi dan Maya sedang berpelukan dan menangis.

Elang bingung, kenapa Angga ada di sana? Dan mengapa kedua sahabat Dian menangis? Elang lalu mendekati Angga dengan ekspresi bertanya-tanya di wajahnya, apa yang terjadi? Seakan paham dengan raut wajah Elang, Angga menepuk bahu Elang dengan tatapan dan air muka sendu.

Elang kemudian menatap Silmi dan Maya yang sudah berlinang air mata karena menangis. Perasaannya kini menjadi tidak karuan, gelisah dan ketakutan. Pikirannya berkecamuk, dia merasa sesuatu yang buruk terjadi pada Dian. Hal buruk yang sangat dia takutkan, yang pasti akan terjadi pada Dian.

Elang kemudian masuk ke dalam kamar Dian. Betapa kaget Elang melihat Aulia, Ibunya Dian, sedang menangis sambil memeluk Dian yang terbaring di tempat tidur. Dian tak bergeming. Tak menghembuskan napas dan terbujur kaku. Dian, tak membuka matanya meski Ibunya terus memanggil-manggil namanya.

Elang terpaku di ujung ruangan. Napasnya tercekat. Untuk sesaat dia merasa jantungnya berhenti dan langit runtuh menghancurkan dirinya. Elang menatap Ayahnya yang menggeleng perlahan ke arahnya dengan air muka yang menampakkan kesedihan mendalam. Perlahan Ayahnya menghampiri Aulia, dipapahnya wanita paruh baya itu agar menjauh dari Dian kemudian salah seorang suster menarik selimut menutupi wajah Dian.

"TIDAK! DIAN BELUM MENINGGAL!" Elang histeris.

Elang terbangun dan langsung terduduk di atas kasur, napasnya tersengal-sengal, keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya.

"Mimpi, hanya mimpi." batin Elang sambil mengusap peluh di dahinya.

Elang melihat sekeliling kamar, dilihatnya jam di dinding yang menunjukkan pukul 5 pagi. Kerongkongannya terasa kering. Mimpi buruk yang di alaminya membuatnya merasa haus. Dia bermaksud untuk minum dan hendak turun dari ranjang kasurnya.

Ceklek. Pintu kamarnya terbuka.

"Elang, kamu siap-siap ke Rumah Sakit! Papa berangkat duluan, kamu nanti menyusul." ucap Ayahnya.

"Rumah Sakit?" tanya Elang bingung.

Ayahnya mengangguk. "Dian terkena serangan lagi."

Elang menatap Ayahnya dengan ekspresi terkejut. Baru saja dia bermimpi buruk tentang Dian dan semuanya benar-benar terjadi? Kini ketakutan dan kecemasan melanda dirinya.

"Tidak Yan! Bukan sekarang kan? Bukan sekarang waktunya!" jerit Elang dalam hati.

Elang langsung bergegas. Dia tak mau berlama-lama. Mengingat mimpi buruk yang baru saja dialaminya, dia menjadi sangat khawatir dan cemas. Elang langsung menuju Rumah Sakit.

ⱷⱷⱷⱷⱷ

Tiga hari berlalu. Dian masih berada di Ruang Perawatan Intensif dan selama tiga hari itu Dian belum juga sadarkan diri. Elang terus berada di Rumah Sakit selama tiga hari itu berharap Dian membuka matanya.

Perasaan lelah, frustasi, menyelimuti diri Elang namun rasa cemas dan takutlah yang paling menguasai dirinya. Ini sudah tiga hari berlalu namun Dian masih menutup matanya, diam tak bergeming seolah memang tak ingin terbangun.

Keadaan Elang kini berada di antara kepastian dan ketidakpastian. Bagaimana tidak? Meski Dian masih bernapas, meski jantungnya masih berdetak, namun dirinya tetap tertidur. Mengetahui Dian tak bangun-bangun seperti membunuhnya perlahan.

Bayangkan kau memiliki raga seseorang tapi kau tak merasakan jiwanya. Ibarat kau mencintai seseorang tapi kau tak bisa menggenggam hatinya. Menyakitkan! Itulah yang di rasakan Elang kini, menunggu Dian membuka matanya dan tersenyum lagi kepadanya.

Elang keluar dari Ruang Perawatan Intensif. Dia hanya bisa melihat Dian dari balik kaca, tak bisa masuk ke dalam dan itu membuatnya sesak. Elang menuju ruang tunggu, terduduk di salah satu bangku. Pandangannya lurus ke depan, kosong. Di pikirannya kini hanya ada satu nama seorang gadis, Diandra Alleira!

"Lang! lo baik-baik saja?" Angga tiba-tiba menyapanya dan bertanya keadaannya.

Elang hanya menoleh kemudian mengangguk perlahan.

"Astaga Lang! lo tuh udah kayak mayat hidup! bernyawa tapi gak berjiwa!"

"Hmm" Elang hanya mendesah menanggapi perkataan Angga.

Baru Elang sadari, selama tiga hari ini dia kurang tidur juga kurang makan. Begitu khawatir dirinya dengan keadaan Dian sampai-sampai Elang tak peduli dengan dirinya sendiri.

"Lang, lo jangan kayak gini. Lo juga butuh istirahat. Lo gak mau kan pas Dian sadar nanti malah lo yang sakit? Dian pasti sedih banget."

"Gue kepikiran Dian, Ga."

"Gue juga kepikiran Dian, Lang."

"Tapi gue lebih takut dan khawatir. Lo gak bakal ngerti perasaan gue."

Angga menghembuskan napas lalu mengusap wajahnya.

"Mungkin gue gak ngerti perasaan lo, karena gue gak jatuh cinta sama Dian." Angga terdiam sejenak. "tapi inget Lang, lo harus lebih kuat dari Dian, karena Dian butuh lo. Mungkin lo gak sadar, selama ini Dian selalu menguatkan dirinya sendiri untuk terus berjuang hidup. Sekarang, kalau lo justru menyedihkan begini, bagaimana dengan Dian? Baginya, lo itu sumber perjuangan dia untuk melawan penyakitnya." lanjutnya.

Elang menoleh ke Angga. "Benar juga yang lo bilang." batinnya.

"Trus gue harus bagaimana, Ga? Karena gue takut banget Dian tidak terbangun lagi. Setidaknya jangan sekarang, karena gue belum siap."

"Siap gak siap pada akhirnya lo harus terima keputusan Tuhan mengambil Dian dari sisi lo selama-lamanya."

Elang hanya terdiam. "Kenapa Tuhan harus sekejam ini sama gue?" lirihnya.

"Lang, lo udah tiga hari gak masuk sekolah. Dian pasti gak suka ini, lo meninggalkan sekolah hanya demi dirinya yang tidak pasti akan sadar atau tidak."

"Gue tau."

"Bersikap tegar, Lang. Perbanyak doa dan yakin Dian pasti sadar."

Elang menghembuskan napas. "Oke, besok gue masuk sekolah."

Angga tersenyum. "Gue sahabat lo, Lang. Gue juga sayang sama Dian, tapi inget kita udah di tahun akhir sekolah. Sebentar lagi kita ujian akhir. Dian pasti sedih tidak bisa ikut ujian akhir, jadi jangan buat dia kecewa."

Elang mengangguk tanda paham.

"Gue mau balik, lo mau bareng?" tanya Angga beranjak dari bangku.

"Gue kayaknya pulang nanti malam aja, lo balik aja duluan."

"Oke, kalau gitu gue balik duluan."

Elang melihat kepergian sahabatnya. Apa yang dibilang Angga benar adanya. Seharusnya dia bersikap tegar, kuat dan perbanyak doa. Bukannya malah terlihat menyerah dan menyedihkan. Dian butuh dirinya. Dian butuh kekuatan darinya dan doa. Karena Tuhan selalu mendengarkan doa-doa hambanya, bukan?

ⱷⱷⱷⱷⱷ

Sudah hari kelima Dian tak sadarkan diri. Dan Elang berangkat ke sekolah dengan keadaan seperti mayat hidup. Karena meskipun dia berusaha bersikap tegar dan kuat, mencoba menjalani aktivitasnya seperti biasa. Tetap saja rasa khawatir dan cemas tak bisa hilang dari hatinya, apalagi dia tetap memikirkan Dian.

Di sekolah Elang menjadi pendiam, saat istirahat dia ke perpustakaan. Perlahan, dia mulai mengikuti kebiasaan Dian selama ini. Elang mencoba merasakan kehadiran Dian di seluruh penjuru sekolah. Jujur, Elang sangat merindukan Dian. Meski dia masih bisa melihat Dian ke Rumah Sakit tapi melihat gadis itu hanya tertidur rasanya tak sama! Dan membuat dirinya semakin merindukan Dian.

Bel pulang sekolah berbunyi. Elang yang sedang membereskan barang-barangnya, tiba-tiba ponselnya bergetar. Satu pesan dari Ayahnya.

From : Papa

Dian sudah sadarkan diri, kamu langsung ke Rumah Sakit ya.

Elang terkejut senang sekali!

Dian Sadar!

Dian-nya sadarkan diri!

"Ga! Dian sudah sadarkan diri!" pekik Elang.

"Serius Lang?" tanya Angga.

"Serius! Bokap gue baru SMS! Gue mau ke Rumah Sakit sekarang, lo mau ikut?"

"Hmm, kayaknya gue nanti aja bareng Silmi, mending sekarang lo aja yang duluan ke Rumah Sakit. Dian butuh lo."

"Oke, kalau gitu gue duluan ya?" Elang menepuk bahu Angga yang dibalas dengan anggukan dari Angga.

Tanpa sengaja, Sarah mendengar percakapan Elang dan Angga. Buru-buru Sarah menghentikan langkah Elang.

"Lang, gue boleh ikut ke Rumah Sakit gak?"

Elang menatap Sarah bingung. "Lo mau jenguk Dian?"

"Iya, gue mau jenguk Dian. Gue tulus Lang, gue juga khawatir sama Dian."

"Oke, kita ke Rumah Sakit bareng."

Elang dan Sarah pergi ke Rumah Sakit bersama dan begitu sampai di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, Sarah terkejut dan penasaran.

"Lang, ini bukannya Rumah Sakit keluarga lo?"

"Iya Sar, Dian dirawat di sini."

"Jadi, Dian?"

"Iya, Dian sakit jantung."

"Serius? Dian terlihat sehat, gue gak nyangka..."

"Gue juga gak nyangka pas tahu. Yuk masuk! Kita jenguk Dian."

Sarah mengangguk dan mengikuti Elang. Begitu mereka sampai di Ruang Perawatan Intensif ternyata Dian masih tertidur. Elang jadi panik kembali. Dia pun bergegas ke ruangan kerja Ayahnya.

"Pah! Katanya Dian sudah sadarkan diri? Tapi kenapa Dia masih tertidur?"

"Elang, tenangkan dirimu. Dian hanya tertidur biasa, tadi dia benar-benar sudah sadar tapi setelah Papa beri obat dia kembali tidur seperti biasa. Kondisi Dian sudah stabil, sebaiknya kamu tunggu Dian bangun beberapa jam lagi baru menemuinya. Karena Papa berencana memindahkan dia kembali ke Ruang Perawatan Biasa."

Elang menghela napas lega. "Bikin panik aja Pah."

Dokter Akbar tertawa. "Kamu tuh yang bikin panik."

Elang akhirnya menunggu di kantin Rumah Sakit ditemani Sarah.

"Lang, baru kali ini gue liat lo sepanik itu."

Elang menatap Sarah. "Gue bukan panik lagi, Sar. Tapi gue ketakutan."

"Iya, gue paham. Kalau gue jadi lo juga pasti gue ketakutan. Dikabarin sudah sadarkan diri tapi masih tertidur."

"Bukan hal itu yang membuat gue takut."

Sarah mengkerutkan dahinya. "Lalu?"

"Gue mengalami mimpi buruk Sar, tepat disaat Dian terkena serangan. Gue lihat Dian sudah enggak ada. Dia pergi untuk selamanya. Dan melihat Dian tertidur tadi membuat gue takut apa yang menjadi mimpi buruk gue menjadi kenyataan."

"Lang, Kematian itu sudah pasti dialami manusia. Siap gak siap kita pasti akan menghadapi kematian dan akan kehilangan orang yang kita sayangi untuk selamanya."

"Gue tahu Sar, seharusnya gue sudah mempersiapkan diri."

"Lang, lo harus bersikap tegar, lo harus kuat demi Dian, perbanyak doa, karena Dian butuh lo."

Elang terkekeh mendengar perkataan Sarah.

"Ih malah ketawa di kasih tahu."

"Kata-kata lo Sar, mirip banget sama kata-katanya Angga."

"Lah? Si Angga ngomong gitu? Dia ngutip dari gue tuh!"

"Iya deh iya, memang sejak kapan sih seorang Sarah Safira omongannya bijak."

"Sialan lo Lang." Sarah memanyunkan bibirnya.

"Cieee ngambek," goda Elang. "ngomong-ngomong lo gimana sama Wino? Dia kan sahabat lo, masa lo gak mau maafin dia?"

Sarah menghembuskan napasnya dengan berat. "Gue udah maafin Wino, tapi buat balik kayak dulu lagi tuh susah. Lagipula gue terima beasiswa kuliah di Denmark, jadi gue mau mulai semua dari awal lagi, mungkin di masa depan gue bisa sahabatan lagi sama Wino, entahlah."

"Lo terima beasiswanya Sar? Jangan kangen sama gue ya pas di Denmark."

"Kepedean lo Lang. Gue udah niat bakal cari cowok Denmark."

"Yakin bisa dapet cowok Denmark?"

"Nyindir gue? Berapa tahun sih lo sahabatan sama gue? Gak yakin banget seorang Sarah Safira bisa dapetin cowok Denmark."

Elang mengangguk sambil bersidekap. "Iya, iya, cowok mana sih yang gak terpesona sama lo Sar, gue aja sempat terpesona sama lo."

Sarah menatap Elang datar. "Duh Lang, kenapa jadi bahas gue sih? Dian gimana?"

Elang berdehem. "Itu kata bokap gue, Dian mau dipindahkan ke Ruang Perawatan Biasa, lo masih mau nemenin gue? Kayaknya masih lama baru bisa jenguk Dian."

Sarah melihat jam tangannya. "Udah sore banget Lang, kayaknya gue pulang aja deh takut kemalaman."

"Oke, gue anterin lo pulang."

"Eh gak usah Lang, gue naik taksi aja."

"Serius? Enggak apa-apa naik taksi?"

"Iya Gak apa-apa, gue udah gede." Sarah memicingkan mata ke Elang. "lo mending disini aja, jangan kemana-mana. Sekalian titip salam ya buat Dian."

Elang mengangguk. "Hati-hati Sar, langsung pulang jangan ngayap."

"Iya Astaga, lo kira gue jablay apa ngayap malam-malam."

Elang hanya tertawa kemudian mengacak-acak puncak rambut Sarah.

"Rambut gue berantakan Lang," Sarah menepis tangan Elang. "Gue balik ya."

Elang kembali mengangguk dan tersenyum ke Sarah.

Sebuah persahabatan manis antara Elang dengan Sarah kini hadir kembali setelah pergolakan hati Elang yang menyadari jatuh cinta dengan Dian dan Sarah yang sesungguhnya tak pernah bisa mencintai Elang. Sarah hanya menyayangi Elang sebagai sahabat.

Sempat menjalani hubungan yang salah, Elang dan Sarah memahami kini diantara mereka hanya ada rasa sayang yang tak bisa dijelaskan. Rasa sayang yang menjaga persahabatan mereka dari keinginan untuk saling jatuh cinta.

ⱷⱷⱷⱷⱷ

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top