Serangan Kedua

Aku kembali ke kelas dan kulihat Silmi sedang mengobrol dengan Maya. Aku tersenyum, tiba-tiba aku ingin membuat Silmi cemburu. Aku pun menghampirinya karena memang aku duduk di sampingnya.

“Sil, tadi gue ketemu Angga.” kataku melirik ke Silmi.

“Trus?” Silmi memutar bola matanya ke atas.

“Angga bilang mau ngomong sama gue sepulang sekolah, berdua aja.”

“Trus kenapa lo laporan sama gue Yan?”

“Lo enggak apa-apa gue ngobrol berdua sama Angga? Lo enggak penasaran apa yang mau di omongin sama Angga?”

“Enggak apa-apa Yan, santai aja. Gue juga kaga penasaran, bodo amat sama Angga mah.”

“Serius Sil? Lo enggak cemburu?”

“HAHAHAHA! Dian, Dian,” Silmi menepuk bahuku. “mau si Angga ngobrol sama cabe-cabean sekolah ini juga gue enggak bakalan cemburu! Tapi jangan harap tuh orang bisa bicara lagi sama gue!” lanjutnya dengan nada mengancam dan tegas.

Aku menyipitkan mataku dan Maya menggelengkan kepalanya.

“Sil! Lo kalau cemburu ngaku aja sih! Gak usah munawaroh kayak gitu!” ujar Maya.

“Apaan lagi tuh munawaroh?” Silmi pura-pura tidak paham.

Maya mendengus dan aku hanya tertawa melihat tingkah mereka, apalagi Silmi! Jelas sekali dia mulai ada rasa ke Angga tapi yang namanya Silmi mana mau mengakui segampang itu. Baginya yang terpenting adalah prinsip dan harga diri.

Sepulang sekolah, Angga sudah menungguku di depan pintu kelas. dia mengajakku ke taman belakang sekolah. Saat perjalanan ke sana aku tak sengaja melihat Elang bersama Sarah dari arah lapangan. Elang melihatku dengan Angga tanpa sengaja tatapan kami bertemu, aku memalingkan muka berusaha tak memedulikannya. Aku melihat dari ekor mataku, Elang masih saja menatapku berlalu meski ada Sarah di sampingnya.

Aku dan Angga duduk berdampingan di bangku taman belakang sekolah. Tanpa kusadari Elang ternyata mengikuti dan melihatku dengan Angga dari jauh. Aku tidak tahu bagaimana bisa Elang meninggalkan Sarah dan aku tidak peduli. Tidak, aku berusaha tidak peduli.

“Yan, lo baik-baik aja kan?” tanya Angga.

“Alhamdulillah, gue baik-baik aja. Kenapa sih semua orang khawatir banget sama gue.”

“Ya iya lah Yan! Serius deh, gue tuh takut banget lo kena serangan jantung pas liat Elang sama Sarah datang ke acara ulang tahun lo waktu itu,” Angga terdiam sejenak. “gue enggak nyangka ternyata lo mengundang Sarah dan Elang ke acara ulang tahun lo. Bahkan lo memperkenalkan mereka sebagai pasangan. Sebenarnya, rencana lo apa?” lanjutnya.

Aku tertunduk kemudian menatap Angga dengan mata yang sudah berair ingin menangis.

“Gue harus gimana Ga? Elang sudah memilih Sarah. Bohong kalau gue bilang hati gue gak sakit. Bahkan gue berharap kena serangan jantung dan Tuhan mencabut nyawa gue saat itu juga. Tapi itu egois kan? Dan gue enggak boleh egois.”

“Yan…”

Aku menghela napas dan tersenyum. “Tapi enggak apa-apa Ga. Lo tanya kan apa rencana gue? Sekarang, gue ingin menjauh dari Elang karena gue enggak bisa berhenti mencintai dia. Gue menjauh, karena gue juga enggak mau sampai Elang jatuh cinta sama gue. Walau pun itu mustahil.”

“Yan,” Aku menoleh ke Angga. “bagaimana kalau Elang ternyata sudah jatuh cinta sama lo?” lanjutnya.

Aku tertawa kecil. “Kalau Elang jatuh cinta sama gue, mana mungkin dia menerima Sarah jadi pacarnya.”

Angga pun ikut tertawa mendengar perkataanku.

“Itu juga yang di bilang Silmi, Yan.”

“Silmi?” Angga mengangguk. “oh iya Ga! Bentar lagi kan Silmi ulang tahun!” aku baru ingat kalau Silmi akan berulang tahun.

“Serius Yan?” Aku mengangguk. “berarti gue harus siapin kado buat dia. Silmi kira-kira suka kado apa ya?” tanya Angga.

Aku memasang ekspresi sedang berpikir.

“Setahu gue, Silmi itu orangnya pasti menghargai pemberian orang lain apapun itu apalagi kalau pemberian itu adalah buatan orang itu sendiri. Dengan kata lain sesuatu dari usaha orang itu sendiri.”

Angga mengangguk paham kemudian tertawa kecil. Kembali dia teringat kencannya dengan Silmi, saat cewek itu memintanya mengambil boneka kucing dari mesin Claw Machine Dolls. Padahal Angga ingin membelikan boneka kucing tapi Silmi enggak mau dan tetap menginginkan boneka kucing dari mesin permainan itu. Katanya, biar keliatan ada ‘usaha’ nya. Alhasil, Angga pun mati-matian mengambil boneka kucing itu.

“Ga? Diem aja? Jangan melamun nanti kesambet!”

“Hah?” Angga menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

Aku dan Angga saling tertawa bersama. Tanpa kami sadari, Elang memperhatikan kami dari jauh sedari tadi.

"Yan, sejak kapan lo jadi begitu dekat dengan Angga?" tanya Elang dalam hati.

ⱷⱷⱷⱷⱷ

Pagi ini, begitu aku sampai di parkiran sekolah. Aku melihat Elang dan Sarah yang baru saja turun dari mobil. Mereka berangkat ke sekolah bersama, sudah pasti Elang menjemput Sarah. Baru kusadari, sudah lama aku tak berangkat dan pulang sekolah bersama Elang. Juga rasanya sudah lama, semenjak acara ulang tahunku, Elang dan aku tak lagi saling bicara.

Elang dan Sarah menyadari kehadiranku, Sarah baru saja hendak memanggilku namun kupercepat langkahku dan berpura-pura tak melihat mereka. Sakit! Itulah yang kurasa di hatiku. Menganggap seseorang tak ada padahal orang itu ada dan terlihat di mana-mana. Terlebih lagi rasa cinta untuknya tak bisa hilang. Sama saja seperti bunuh diri!

“Dian kenapa sih Lang? Kayaknya menghindari kita?” tanya Sarah.

Elang tidak menjawab, dia hanya terdiam sambil terus menatap Dian yang semakin menjauh.

Saat jam istirahat usai, aku yang akan kembali ke kelas setelah dari perpustakaan tiba-tiba dikejutkan oleh seseorang yang menangkap tanganku. Reflek aku berbalik dan mendapati Elang sedang menatapku tajam.

“Kita harus bicara Yan!” tegas Elang.

“Maaf, tapi apa kita punya masalah?” balasku.

Elang mengkerutkan keningnya.

“Lo bilang kita harus bicara?” aku menatap Elang datar.  “kita bahkan hanya dua orang yang tidak saling kenal.” lanjutku.

Elang menatapku sendu. “Mau sampai kapan lo bersikap pura-pura begini Yan? Mau sampai kapan lo menghindari gue? Menganggap gue enggak pernah ada? Mau sampai kapan?”

Aku memalingkan muka, berpura-pura tak mendengar semua yang diucapkan Elang.

“Jangan berpaling saat gue bicara!” bentak Elang.

Aku membalas bentakan Elang dengan tatapan tajam. Kuhentakkan genggaman Elang dari tanganku dan tanpa bicara sepatah kata pun aku beranjak pergi. Namun, Elang dengan cepat menahanku lagi.

“Pulang sekolah gue tunggu di parkiran! Apapun alasan lo, kita harus bicara!” Elang menegaskan sambil mencengkeram tanganku.

Aku berontak mencoba melepas cengkeraman Elang yang justru semakin kencang kurasa cengkramannya di tanganku. Aku pun meringis. Elang yang menyadari aku kesakitan perlahan melepaskan cengkramannya.

“Maaf Yan, gue emosi.” ucap Elang dengan nada lembut.

Aku mengusap tanganku. “Jangan menunggu, karena gue bukan Sarah.” kataku tanpa menatap Elang kemudian aku berlari pergi meninggalkan Elang.

Elang tak mengejarku, dia hanya menatap kepergianku. Entah apa yang dipikirannya. Aku hanya berharap Elang tak lagi bersikap begini. Karena itu sangat menyakiti hatiku. Di saat aku menjauh, kenapa dia justru mendekat?

"Sebenarnya apa yang diinginkan Elang?" batinku.

Sepulang sekolah, Elang langsung berlari keluar kelas dan menuju kelasku. Dia bahkan tidak menggubris panggilan Sarah. Aku yang masih di kelas setelah membereskan barang-barangku kaget bukan main melihat Elang menarik tanganku paksa dan membawaku ke mobilnya.

Elang memaksaku masuk ke dalam mobilnya, begitu dia duduk di belakang kemudi, aku baru kepikiran untuk kabur. Kucoba untuk membuka pintu mobil namun dengan gerak cepat Elang menguncinya. Aku menatap Elang kesal namun Elang tak kalah kesal menatapku.

“Lo enggak memberi gue pilihan Yan! Lo meminta gue untuk tidak menunggu, jadi gue terpaksa mendatangi dan menculik lo seperti ini.”

Elang kemudian mendekatiku. Wajah kami saling berdekatan, bisa kurasakan napasnya di pipiku. Aku menahan napas, tak bergerak. Kupikir Elang mau ngapain! Ternyata dia ingin memasangkan sealbelt padaku.

Elang tersenyum. “Sudah lama gue enggak lihat lo tersipu malu.”

Aku membuang muka. Sial! Pertahanan gue bisa runtuh!

Tepat pada saat itu, dada kiriku terasa nyeri dan aku merasa sesak. Aku memejamkan mataku dan mencoba untuk bernapas normal sambil menahan sakit. Ya Tuhan! Aku sedang berada satu mobil dengan Elang. "Jangan sampai aku kena serangan!" batinku.

Sepanjang perjalanan aku hanya menunduk. Nyeri di dadaku perlahan mulai menghilang namun aku takut nyeri itu akan datang lagi. Aku tidak bisa membayangkan jika terkena serangan jantung di depan Elang.

“Yan, kita sudah sampai.” ujar Elang.

Aku melihat ke sekeliling, ternyata Elang membawaku ke sebuah Kafe. Elang turun dari mobil kemudian membukakan pintu untukku. Aku hanya menurutinya, turun dari mobil dan masuk ke dalam Kafe bersamanya.

Kami duduk saling berhadapan, setelah memesan minuman Elang mulai bicara padaku.

“Yan, gue tahu gue bodoh, gue brengsek dan gue sudah menyakiti perasaan lo. Gue jadian sama Sarah padahal gue tahu persis lo cinta sama gue. Seakan gue enggak menghargai perasaan lo.”

Aku menatap Elang datar. Jelas lo enggak menghargai perasaan gue Lang!

“Seharusnya gue enggak pantes di hargai. Gue terima lo caci maki gue, hina gue atau benci sama gue. Itu lebih baik. Tapi gue enggak bisa terima Yan, kalau lo memutuskan menjauh, melupakan dan tidak mau kenal sama gue lagi. Entah bagaimana, hati gue sakit! Setiap kali lo lihat keberadaan gue tapi lo abaikan begitu saja. Rasanya seperti lo membunuh gue secara perlahan.”

Aku menunduk. Lagi dan lagi, aku mulai menangis.

“Please Yan, ngomong sesuatu. Bicara sama gue. Kasih tahu gue harus bagaimana?”

Aku mengangkat kepalaku dan mengusap air mata yang jatuh di pipiku. Aku tersenyum kepadanya kemudian menghembuskan napas. Sungguh, aku merasa lelah.

“Elang, dengarkan baik-baik, kamu hanya perlu mengikuti permainanku. Aku kini menjauh jadi kamu hanya perlu menjauh dariku. Aku sudah menganggap kamu bukan siapa-siapa jadi anggaplah aku bukan siapa-siapa. Aku juga sudah tidak mau mengenalmu sama sekali jadi sebaiknya kamu tidak mengenalku lebih jauh.”

Aku menatap Elang tajam, tegas dan baru saja aku mengganti kata ‘gue elo’ menjadi ‘aku kamu’ berbicara secara formal.

“Aku enggak bisa lama-lama. Aku pergi duluan.” Aku beranjak dari kursiku dan pergi meninggalkan Elang.

Belum sampai aku di pintu Kafe, Elang mencegatku, tatapannya tajam, serius dan mengunciku membuat diriku tak berkutik.

“Maaf Yan, tapi aku enggak bisa membiarkan kamu pergi! Aku juga tidak mau mengikuti permainan kamu! Jika aku harus menjadi orang brengsek untuk mendapatkan kamu, aku akan menjadi orang brengsek!”

“Elang lepasin!” aku memberontak dan tiba-tiba nyeri itu datang lagi. Dadaku terasa sesak sekali.

Aku meringis, meremas dada kiriku dan berusaha untuk bernapas normal. Rasa nyeri itu bertambah setiap kali aku mencoba bernapas. Dadaku semakin sesak. Tanpa aba-aba, aku pun terhuyung hendak terjatuh. Dengan sigap Elang menangkap tubuhku.

“Yan? Lo kenapa Yan?” tanya Elang khawatir dan panik.

Aku yang hampir tidak sadarkan diri, meremas lengan Elang. Tanganku gemetaran, air mataku mulai jatuh, masih dalam kondisi menahan rasa nyeri dan sesak di dada. Aku berusaha bernapas normal.

“Yan! Dian! Dian!” Elang terus memanggil namaku panik.

Aku mendekatkan diriku ke wajah Elang. Dengan sekuat tenaga aku berbisik.

“Rumah Sakit… Rumah Sakit Jantung Harapan Kita.”

Kemudian tubuhku lemas sekali, aku mencoba untuk tetap sadar.

“Ru-Rumah Sakit Jantung Harapan Kita?” tanya Elang mencoba meyakinkan dirinya tak salah dengar.

Aku mengangguk lemah.

Elang lalu menggendongku ke dalam mobilnya, dengan secepat kilat dia membawaku ke Rumah Sakit Jantung Harapan Kita.

“Yan, tetap sadar Yan! Bernapas pelan-pelan Yan!”

Sepertinya Elang kini paham Aku terkena serangan jantung. Apa yang aku sembunyikan selama ini akhirnya terbongkar juga di depan matanya. Mungkin Tuhan menginginkan seperti ini. Setelah apa yang kupinta kepada-NYA dikabulkan.

Elang langsung menggendongku ke Unit Gawat Darurat begitu sampai di Rumah Sakit.

“Suster tolong! Dia kena serangan jantung!” Elang berteriak panik. Para suster langsung menghampirinya.

“Ini Diandra! Tolong siapkan Ruang Perawatan Intensif dan panggil Dokter Akbar!”

Elang tidak mempercayai apa yang di lihatnya sekarang. Diandra, gadis yang dia kenal sehat, periang dan ceria kini harus berjuang melawan maut. Tak pernah terpikirkan olehnya bahwa Dian bisa menjadi tak berdaya menghadapi kematiannya. Setahu Elang, Dian tak pernah sakit atau mungkin itu hanya sepengetahuannya saja.

Elang menjadi merasa sangat bersalah. Setelah mematahkan hati Dian di ulang tahunnya yang ke 17, kini dia harus menghadapi kenyataan bahwa Dian mungkin tidak akan selamat.

"Jangan pergi Dian! Ini terlalu cepat! Aku bahkan belum meminta maaf!" batin Elang dalam hatinya.

Tiba-tiba Elang di kejutkan oleh sosok yang dia kenal, Ayahnya, Dokter Spesialis Jantung, Akbar Wiratama memasuki Ruangan Gawat Darurat dan memulai usahanya menolong gadis itu.

“Papa?” Elang bertanya-tanya.

Beberapa menit kemudian, para Dokter dan Suster membawa Diandra ke Ruang Perawatan Intensif di mana Elang tak bisa mengikutinya masuk.

Elang hanya bisa mematung di depan pintu. Hatinya menjadi tak karuan.

ⱷⱷⱷⱷⱷ

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top