Sebuah Gambar

Setelah hampir dua minggu aku izin tidak masuk sekolah. Akhirnya aku kembali masuk ke sekolah. Aku sudah rindu sekali dengan kelas kesayanganku, sahabat-sahabatku dan tentu saja, aku sangat merindukan Elang.

Kini, di sinilah aku sekarang. Di dalam kelas, saat jam istirahat. Seperti biasa, aku tidak ke kantin bersama kedua sahabatku melainkan memakan bekalku sendirian di kelas. Setelah selesai dengan bekalku, aku bergegas keluar kelas hendak menuju perpustakaan. Elang tidak tahu kalau hari ini aku masuk sekolah. Aku memang sengaja tidak memberitahu dia.

"Masih ada sisa jam istirahat." batinku.

“Lo yang namanya Diandra Alleira kan?” tiba-tiba seorang siswi menyapaku saat aku baru saja keluar dari kelas. Dia, Sarah Safira!

“Iya, gue Diandra Alleira.” jawabku tersenyum mencoba ramah padanya. Aku mengingatkan diriku bahwa cewek yang di hadapanku ini adalah sahabat sekaligus cinta pertama Elang.

Sarah memandangiku dari atas kepala hingga ke ujung sepatuku dengan pandangan heran. Aku jadi ikut-ikutan memandang diriku sendiri.

"Apa ada yang salah sama penampilan gue?" tanyaku dalam hati.

“Gue penasaran apa yang di lihat Elang dari lo.” ucap Sarah sinis.

Aku jadi tersinggung. Jelas sekali Sarah menyindirku. Tapi aku mencoba menahan emosiku mengingat Sarah adalah sahabat juga cinta pertama Elang.

"Sabar Yan. Jaga sikap. Jaga ucapan." kataku dalam hati.

“Lo tau kan gue sahabat Elang? Kita udah sahabatan dari kecil. Elang itu bukan cowok sembarangan. Papanya Dokter ternama di Indonesia, Mamanya juga. Bahkan keluarga Elang pemilik Rumah Sakit Jantung terbaik di Negara ini.” Sarah menjelaskan semuanya kepadaku seakan aku tidak tahu apa-apa dan tidak pantas untuk Elang.

Entah apa faedahnya Sarah menjelaskan itu semua padaku. Kenyataannya, aku tahu itu semua di luar kepala. Tentang Elang, Papanya dan Rumah Sakit keluarganya. Aku bahkan sangat dekat dengan Papanya Elang lebih dari yang Sarah ketahui. Rumah Sakit milik keluarga Elang juga sudah menjadi rumah kedua bagiku.

“Lo dengar penjelasan gue gak? Kok diem aja?” tanya Sarah ketus dan meninggikan suaranya.

“Iya gue denger penjelasan lo. Trus kenapa?”

“Trus kenapa? Ya lo sadar diri dong, pantes gak lo dekat-dekat sama Elang?”

Ingin rasanya aku berkata kasar, mengumpat bahkan menyebut semua nama binatang di Kebun Binatang. Tapi sekali lagi, aku mencoba menahan emosiku.

“Emang apa yang salah sama gue sampai-sampai lo berpikir gue gak pantes dekat-dekat sama Elang?” tanyaku membela diri sambil tetap berusaha menahan emosi.

Sarah mendengus kesal. “Dian, dian, satu sekolah juga tahu kalau lo tuh cewek aneh!”

Kata-kata Sarah membuat emosiku menjadi tak tertahan lagi. Baru saja aku akan mengumpat.

“Sarah! Maksud lo apa?” Elang tiba-tiba muncul dari belakang Sarah.

“Elang?” Sarah agak terkejut dengan kemunculan Elang, tapi kemudian. “ya maksud gue… gue ngomong kenyataan Lang, cewek yang ngejar-ngejar lo ini di kenal sebagai cewek aneh!” lanjut Sarah dengan santainya tanpa merasa bersalah.

Elang menatap Sarah lekat dengan tatapan datar yang sulit di artikan, membuat Sarah menjadi salah tingkah.

“Sar, kalau saja lo bukan sahabat gue, pasti gue udah maki-maki lo sekarang juga. Asal lo tau, gue mengenal Dian bukan sebagai cewek aneh tapi sebagai cewek yang bernama Diandra Alleira.” ucap Elang dengan penekanan nama di ‘Diandra Alleira’.

“Lo kenapa sih Lang? Kayaknya lo membuat gue jadi tersangka di sini.” Sarah tak terima dengan ucapan Elang.

“Bukan gue yang buat lo jadi tersangka tapi lo sendiri.”

“Oh gitu? Jadi sekarang lo belain nih cewek?”

“Gue gak belain siapa-siapa!”

“Udah! Gue gak mau denger!” Sarah berhenti sejenak kemudian melanjutkan.

“Lebih baik sekarang gue nyamperin Bayu dari pada berdebat sama sahabat yang gak mau denger sahabatnya sendiri!” Sarah meninggalkan Elang sesaat sebelumnya memandangku dengan tatapan sinis.

"Terus aja gitu Sar! Setiap lo berdebat sama gue, lo pasti lari ke Bayu." kata Elang dalam hati.

“Lang?” panggilku, Elang pun menoleh.

Mataku dan matanya untuk beberapa detik saling bertemu. Kurasakan kerinduan melalui kedua mataku saat menatapnya. Aku tersenyum padanya, Elang pun membalas senyumku.

“Lang, maafin gue ya lo jadi berantem sama Sarah.”

“Gak apa-apa Yan. Udah biasa gue sama Sarah berdebat kayak gini.”

“Maaf Lang.”

“Udah gak usah dipikirin Yan,” Elang mengelus lembut puncak kepalaku. “ngomong-ngomong lo kenapa gak bilang gue sih hari ini masuk sekolah?"

“Maaf, gue lupa ngabarin Lang.” jawabku berbohong. Padahal emang sengaja gak ngabarin!

“Terus sekarang lo mau ke mana?” tanya Elang yang melihatku memeluk buku sketsa.

“Ke perpustakaan.”

“Ke perpustakaan? Bawa buku gambar?”

Aku mengangguk. “Gue mau menggambar di perpustakaan.”

Elang terkekeh dan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

“Kenapa Lang?”

“Enggak Yan, gue pikir orang ke perpustakaan karena mau baca buku tapi lo malah mau menggambar.”

“Oh, itu… kadang gue juga baca buku kok di perpustakaan.”

Elang mengangguk sambil terkekeh.

"Bener sih kata orang lo aneh Yan, tapi gue suka liatnya. Menggemaskan!" batin Elang.

“Lang? lo mau ikut gue ke perpustakaan?" tanyaku yang melihat Elang mengikutiku.

“Iya Yan, kalau boleh gue mau nemenin lo.”

“Boleh kok, malah gue senang.” aku tersipu malu sambil melirik Elang.

"Gue yakin pasti Elang ketawa dalam hati liat gue blushing gini!" batinku.

Kami berjalan bersama saling beriringan di sepanjang koridor sekolah menuju ke perpustakaan. Begitu sampai di sana, kami memilih tempat duduk dekat jendela yang sedikit terbuka. Angin sejuk masuk dan melambaikan beberapa helai rambutku.

Aku kemudian membuka buku gambarku yang di dalamnya ada hampir selusinan gambar wajah Elang. Dengan malu-malu aku bertanya padanya karena kini dia ada di hadapanku.

“Lang? gue boleh melukis wajah lo gak?” tanyaku. Jujur saja, aku tak pernah bosan untuk melukis wajah Elang.

Elang berpikir sejenak. “Boleh, Mm.. tapi gue di bayar berapa? Kan wajah gue ganteng.”

Dian melongo mendengar kata-kata Elang.

“Ih Elang! Yauda deh gak jadi.” kataku cemberut.

“Eh iya Yan, gue cuma bercanda.”

“Yauda sih, lo mau di bayar berapa?”

“Yan, tadi kan gue bilang bercanda tapi kalau di bayar pake kencan gimana?”

Lagi dan lagi, Dian melongo mendengar kata-kata Elang.

"Elang kenapa sih? Kok jadi gombal gembel?" tanyaku dalam hati.

“Yan? Gimana? Bayar pake kencan ya?” Elang bertanya lagi kali ini dengan senyum dan raut muka menggoda membuatku merona.

“Iya Lang, gue bayar pake kencan aja.” kataku tersenyum. Damn! Lo ngomong apa sih Yan!

Kemudian aku mulai melukis wajah Elang yang menghadap agak menyamping ke arah jendela.

“Mukanya diem aja ya Lang, jangan banyak ekspresi.”

“Maksudnya tanpa ekspresi?”

“Iya kalau bisa.”

Dan aku melanjutkan melukis wajah Elang yang tanpa ekspresi. Entah kenapa, menurutku, wajah Elang tampak begitu sempurna justru tanpa ekspresi.

Lima menit kemudian aku menyelesaikan gambarku.

“Ta-da! Akhirnya selesai juga.” ujarku.

Elang menoleh. “Cepet banget Yan? Boleh lihat gak?”

Ya iyalah cepet! Dian kan sudah mahir melukis wajah Elang.

Aku mengangguk dan tersenyum kepada Elang lalu memberikan buku sketsaku.

“Bagus Yan hasilnya. Lo emang berbakat jadi pelukis.”

“Terima kasih Lang.” ada rasa puas tersendiri mendengar Elang memuji langsung hasil lukisanku.

Elang kemudian membuka lembaran-lembaran buku sketsaku sebelumnya yang isinya lukisan wajah Elang hampir selusin lebih. Elang pun melongo.

“Yan? Ini semua lukisan wajah gue?” Elang terpana. Ada beberapa lukisan dirinya sedang di taman belakang sekolah. Ada juga beberapa lukisan dirinya sedang serius membaca di perpustakaan.

"Yan, jadi selama ini lo melukis gue diam-diam? Segitunya Yan, lo suka sama gue?" batin Elang sambil menatapku dengan ekspresi enggak habis pikir.

Aku tersentak. Astaga! Elang melihat gambar-gambarku sebelumnya!

“Elang ih! Jangan lihat-lihat gambar yang lain.” aku jadi sangat malu dan berusaha mengambil buku sketsaku tapi Elang dengan sigap menjauhkannya dariku.

“Elang!” panggilku dengan nada ngambek.

“Apa sih Yan? Gambar-gambarnya bagus tau! Dan gue terlihat makin ganteng di sini.” ujar Elang tertawa.

Aku cemberut. "Lang, lo mah dari sononya juga udah ganteng."

“Yan, ini gambar-gambar lukisan wajah gue kalau di bayar pake kencan, kira-kira kita udah berapa kali kencan ya?”

“Elang!”

Elang hanya tertawa melihatku menjadi malu dan sekali lagi, blushing!

Tawa Elang tiba-tiba terhenti ketika dia melihat satu gambar yang tampak familiar. Bukan gambar lukisan wajahnya. Tapi gambar itu kembali membuatnya merasakan sensasi aneh dan De Javu.

"Gambar ini... seperti gambar milik gadis kecil yang gue temui dulu." kata Elang dalam hati. Untuk sesaat Elang terpaku oleh gambar tersebut.

“Lang? Elang?” panggilku.

“Eh? Iya Yan kenapa?”

“Gue mau ke toilet dulu ya? Kebelet.”

“Oh yauda Yan, buru gih! Keburu bel, gue tunggu lo di sini.”

“Oke Lang, bentar ya.” aku pun permisi dan langsung menuju toilet.

Elang memperhatikan kepergian Dian. Di tatapnya lagi gambar tersebut.

Gambarnya sangat mirip!

Kemudian, srreeeettt, Elang merobek kertas tersebut lalu melipatnya dan menaruhnya di saku celananya.

"Maaf Yan." gumam Elang sembari mengembalikan buku sketsa Dian ke tempat semula.

Pikiran Elang kembali mengingat perkataan Kakek Albar juga perkataan Angga. Dia menjadi penasaran. Tapi lagi lagi dia mencoba menepis pikiran tersebut.

“Enggak! Pasti bukan Diandra Alleira!” ucap Elang pelan sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Elang pun melamun.

Aku kembali ke perpustakaan tepat bel tanda masuk berbunyi. Kulihat Elang melamun dan tak menyadari bel yang berbunyi.

“Lang.” panggilku sambil menepuk bahunya.

Elang menoleh. “Eh Yan, udah ke toiletnya?”

Aku mengangguk sambil membereskan buku sketsa gambarku.

“Yuk!” ajakku.

“Ke mana?”

“Ke kelas Lang, udah bel masuk.”

“Hah? Udah bel?”

“Iya, lo dari tadi melamun aja sih Lang.”

“Enggak denger bel masuk gue.”

“Ada-ada aja lo Lang.”

Aku dan Elang keluar dari perpustakaan dan menuju ke kelas masing-masing.

“Yan.” Elang menahanku saat kami akan berpisah di koridor.

“Kenapa Lang?”

“Mm.. soal kencan itu, beneran kan?”

“Iya Lang, gue janji, gue pasti bayar lo.”

Elang terkekeh, aku hanya geleng-geleng kepala. Dan di saat aku hendak pergi, Elang menahanku lagi.

“Tunggu dulu, Yan.”

“Kenapa lagi Lang?”

“Pulang sekolah bareng sama gue ya?”

Aku menggangguk dan tersenyum kepadanya, Elang mengelus lagi puncak kepalaku dengan lembut.

“Gue balik ke kelas ya?”

“Iya,” kataku tersenyum. Entah kenapa perlakuan Elang yang mengelus puncak kepalaku mulai menjadi suatu kebiasaan.

Aku berlalu meninggalkan Elang menuju kelasku dan tidak menyadari Elang yang berhenti melihatku dari belakang dan semakin menjauh.

Dian tidak tahu, saat itu pikiran Elang sedang berkecamuk. Menduga-duga, apakah Dian yang dia kenal ini adalah gadis kecil yang dia temui dulu? Gadis kecil yang menjadi pasien di Rumah Sakit keluarganya? Gadis kecil yang menderita penyakit jantung? Diandra Alleira dan gadis kecil itu, apakah orang yang sama?

ⱷ ⱷ ⱷ ⱷ ⱷ

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top