Pengakuan dan Maaf

Elang memasuki kamar rawat eden 20 di mana Diandra sedang tertidur di dalam kamar tersebut. Setelah beberapa hari di ruang perawatan intensif, Dian akhirnya dipindahkan ke kamar rawat inap biasa dan Elang bisa menjenguknya.

Ditaruhnya sebuket bunga yang dibawanya di dalam vas di atas meja kecil samping tempat tidur Dian. Elang menatap lekat Dian yang masih tertidur, dibelainya beberapa helai rambut yang ada di dahi gadis itu dan diusapnya lembut pipi Dian yang terlihat sedikit pucat.

"Tidur yang nyenyak Yan, aku akan nungguin kamu di sini sampai kamu bangun." ucap Elang dalam hati.

Elang memutuskan akan mengakui perasaannya kepada Dian. Dia juga akan meminta maaf pada Dian. Kali ini Elang bertekad tidak akan melepaskan Dian apapun yang terjadi, cukup sekali saja dia menjadi bodoh dan menyakiti hati Dian. Membiarkan gadis itu pergi yang tanpa Elang sadari sesungguhnya Dian adalah cinta pertamanya. Bahkan cinta sejatinya kini.

Obsesi dan cinta itu beda tipis. Jika tidak bisa melihat perbedaannya. Karena obsesi tidak akan pernah menjadi cinta begitu juga sebaliknya. Elang dan Diandra, mereka berdua sempat merasakan obsesi dan cinta sebelum akhirnya kenyataan pahit menyadarkan mereka untuk merelakan apa yang sudah atau hampir menjadi milik mereka.

Elang duduk di samping tempat tidur Dian, menunggunya terbangun. Di genggamnya tangan Dian sambil menatap wajahnya dengan tatapan yang terlihat jelas di kedua bola matanya bahwa dirinya sangat menyayangi Dian.

Jemari Dian bergerak, Elang tersentak. Kemudian kedua kelopak mata Dian perlahan terbuka.

"Yan?" panggil Elang lembut.

Dian menolehkan kepalanya. "Elang?"

"Iya, Yan. Ini aku Elang."

"Kamu, kenapa ada di sini?"

"Aku menunggu kamu bangun Yan, aku senang akhirnya kamu bangun." Elang tersenyum ke Dian namun Dian hanya menatapnya datar.

"Lang, aku minta maaf." ujar Dian.

"Kenapa kamu minta maaf?" tanya Elang.

"Karena.. aku sakit..."

"Yan... gak perlu minta maaf."

Elang dan Dian saling tatap untuk beberapa saat sebelum pintu kamar terbuka. Dokter Akbar memasuki ruangan.

"Nak Dian, sudah bangun ya? Bagaimana kabarnya? Apa ada keluhan?"

"Enggak Dok, Dian baik-baik saja, enggak ada keluhan."

"Baiklah, Saya mau periksa Dian dulu, kamu Elang bisa menunggu di luar?"

Elang mengangguk dan menuruti Ayahnya menunggu di luar. Beberapa lama kemudian Dokter Akbar keluar dari ruangan.

"Elang, Alhamdulillah Dian baik-baik saja, kamu temani dia ya sampai Ibunya tiba. Sepertinya, Aulia masih di perjalanan."

Elang mengangguk. "Iya Pah."

Dokter Akbar tersenyum dan menepuk bahu Elang pelan kemudian berlalu. Elang memasuki kembali kamar rawat Dian.

Dian yang kini sedang terduduk di atas ranjang sambil menyender hanya menatap Elang yang kembali masuk ke kamarnya.

"Yan, aku akan temani kamu sampai Mama kamu tiba." ucap Elang.

"Aku?" tanya Dian yang baru tersadar daritadi mereka mengobrol memakai aku kamu.

"Kenapa Yan?" Elang balik bertanya.

"Itu.. kenapa jadi aku kamu?"

Elang terkekeh. "Kan kamu yang mulai duluan Yan pake aku kamu."

Dian memutar bola matanya ke atas. "Benar juga." batin Dian yang teringat saat di Kafe beberapa waktu lalu, sebelum terkena serangan, dia memakai aku kamu.

Dian kemudian menatap Elang dan tersipu malu.

"Cieee blushing." goda Elang.

"Apaan sih!" Dian memanyukan bibirnya.

Elang dan Dian saling berbalas tawa kemudian suasana kembali hening sejenak.

"Yan, aku mau ngomong sesuatu sama kamu." Elang menatap lekat Dian. "Aku rasa, aku sudah jatuh cinta sama kamu dan mulai saat ini aku tidak akan menyerah atas kamu. Tidak peduli seberapa keras kamu menjauhi aku tapi jangan paksa aku untuk menjauhi kamu. Terima atau tidak, aku akan selalu ada di hidup kamu mulai sekarang karena aku tidak mau melepaskan kamu lagi."

"Elang..."

"Aku mohon Yan, beri aku kesempatan. Aku benar-benar minta maaf dan aku mau melakukan apa saja asal kamu mau memaafkan aku. Tapi jangan minta aku menjauhi kamu, terserah jika kamu ingin pergi menjauhi aku tapi biarkan aku berlari mendekati kamu."

"Lang, kamu akan terluka kalau seperti ini." Dian mulai terisak.

"Itu urusan aku Yan, aku tidak peduli jika harus terluka asal bisa buat kamu bahagia."

"Lalu bagaimana dengan Sarah? Kamu lupa sama dia?"

"Aku sudah putus sama Sarah."

"Putus? Kamu mutusin Sarah?"

Elang mengangguk. "Aku sadar kalau Sarah hanyalah obsesi."

Dian menatap Elang datar. "Kamu kenapa jadi brengsek gini sih Lang? Obsesi? Lalu kenapa kamu terima Sarah jadi pacar kamu kalau semudah itu kamu ninggalin dia? Sama saja berarti suatu hari nanti kamu dengan mudah ninggalin aku kan?"

"Sepertinya, kamu yang bakal ninggalin aku." Elang tersenyum kecut.

"Itu bukan kemauan aku!" dada Dian bergemuruh. "kalau aku boleh memilih, aku ingin sehat bukannya penyakitan! Aku ingin hidup lebih lama lagi dan mencintai kamu hingga batas waktu tak terhingga bukan hanya sebentar!" lanjut Dian mulai menangis.

"Memang bukan kemauan kamu! Dan karena itu aku mohon Yan, izinkan aku membuat kamu bahagia. Aku hanya ingin merasakan kebahagiaan bersama kamu sebelum Tuhan mengambil kamu dari aku." Elang menatap Dian memohon.

Dian memalingkan muka lalu memejamkan mata kemudian menangis. Hatinya terasa sesak mengingat hidupnya yang tidak akan lama lagi.

"Yan, jangan menangis, aku gak sanggup liat kamu menangis." Elang memeluk Dian erat yang terus menangis tak tertahankan.

Dian akhirnya memberikan Elang kesempatan. Mereka sepakat untuk memulai kisah mereka yang sesungguhnya sudah mereka mulai sejak lama.

Baik Dian maupun Elang menyadari kisah mereka tidak akan berlangsung lama tapi mereka meyakini perasaan cinta mereka selamanya akan menjadi rasa yang abadi di hati mereka.

"Yan..." panggil Elang.

"Hmm?"

"Apa kamu ingat dulu waktu kecil kita pernah bertemu?"

Dian menatap Elang kemudian mengangguk.

"Jadi, kamu ingat?"

"Iya, memangnya kenapa?"

Elang tertunduk sambil menggenggam tangan Dian.

"Aku selalu mengatakan bahwa Sarah adalah cinta pertamaku, tapi aku rasa aku salah, begitu aku tahu kamu gadis kecil yang pernah aku temui dulu, aku menyadari kamulah cinta pertama aku." Elang tersenyum ke Dian.

"Kamu juga cinta pertama aku Lang. Kamu alasan aku berjuang untuk hidup. Kamu juga motivasi aku berjuang untuk sehat. Kamu juga sumber kebahagiaan aku."

Elang tersenyum bahagia mendengar pengakuan Dian. "Jadi, kamu sudah maafin aku kan?"

Dian menggeleng. "Gak ada yang perlu dimaafin."

Elang kemudian mengecup lembut dahi Dian. "Terima kasih."

ⱷⱷⱷⱷⱷ

Sepulang sekolah Elang langsung menuju ke Rumah Sakit. Sudah beberapa hari ini dia bolak-balik ke Rumah Sakit hanya untuk menjenguk Dian dan Elang bermaksud untuk menemui Ayahnya terlebih dahulu.

Namun, langkahnya terhenti tepat di depan pintu ruangan Ayahnya setelah tanpa sengaja dia mendengar percakapan dari dalam ruangan tersebut.

"Aulia, Dian harus dirawat inap di Rumah sakit agar saya bisa merawatnya. Apa kamu tidak bisa membujuknya?"

"Saya sudah berkali-kali membujuknya Dok, tapi Dian tidak ingin menghabiskan sisa hidupnya di Rumah Sakit."

"Sebenarnya saya tidak masalah jika Dian tidak ingin dirawat di Rumah Sakit selama dia mau menjalani perawatan di rumah, hanya saja sepertinya Dian ingin tetap bersekolah seperti biasa. Itu yang membuat saya khawatir mengingat kondisinya."

"Saya juga khawatir Dok, saya justru sangat khawatir. Tapi melihat Dian begitu bahagia pergi ke sekolah, berkumpul bersama teman-temannya, saya tidak tega mengekangnya tetap berada di rumah. Sebagai Ibu, saya tidak bisa menolak keinginannya."

"Baiklah Aulia, selama kamu benar-benar bisa mengawasi Dian, saya akan mengizinkan Dian pulang ke rumah hari ini. Saya rasa Dian sudah cukup sehat."

Elang terkejut mendengar percakapan Ayahnya dengan Ibunnya Diandra.

"Jadi Dian akan pulang hari ini?" gumam Elang.

Elang kemudian bergegas menuju kamar rawat Dian dan begitu sampai di sana, dia melihat Dian sedang merapihkan pakaiannya dan bersiap-siap.

"Elang?" Dian terkejut melihat Elang tiba-tiba masuk ke kamarnya.

"Kamu sedang ngapain Yan?" tanya Elang.

"Aku sedang siap-siap, hari ini aku pulang." Dian tersenyum senang.

"Kamu gak boleh pulang! Siapa yang mengizinkan kamu pulang? Kamu gak sadar sama kondisi kamu sendiri? Kamu harus dirawat, Yan!" Elang membentak Dian.

"Elang..." Dian kehabisan kata-kata, tak menyangka Elang akan membentaknya.

Bukan maksud Elang membentak Dian, tapi dirinya panik mengetahui Dian akan pulang sedangkan gadis itu membutuhkan perawatan dan pengawasan mengingat kondisinya yang sudah cukup serius.

Elang tidak bisa membayangkan kalau Dian pulang ke rumah kemudian terkena serangan kembali. Melihat keadaan Dian terbaring lemah saja sudah cukup membuat dunianya runtuh seketika.

Bagi Elang kini, melihat Dian bersama pria lain mungkin lebih baik daripada melihat Dian terkena serangan jantung, karena itu bisa saja menjadi yang terakhir kali dirinya melihat gadis itu.

"Maaf, bukan maksud aku membentak kamu." ucap Elang lembut kemudian dia memegang tangan Dian yang sedang merapihkan pakaiannya dan meminta Dian duduk di sofa.

"Kamu kenapa Lang? Kenapa kamu marah sama aku?"

"Kamu masih bertanya kenapa aku marah sama kamu?"

Dian hanya terdiam. Bukannya Dian tidak tahu jawabannya tapi dia tak ingin menjawabnya.

"Yan, aku mohon, kamu mau ya dirawat di Rumah Sakit?"

Dian tertunduk dan menggeleng pelan.

"Yan, kondisi kamu sudah cukup serius! Kamu butuh perawatan dan pengawasan 24jam! Papaku tidak bisa terus mengawasi kamu jika kamu memilih pulang ke rumah!"

"Aku gak mau Lang! Aku gak mau menghabiskan sisa hidup aku di penjara bernama Rumah Sakit! Aku gak mau!"

"Dian! Jangan egois! Hargai perasaan Mama kamu! Teman-teman kamu! Dan juga perasaan aku! Kita semua khawatir sama kamu!"

"Lantas? Perasaan aku tidak perlu dihargai? Aku hanya ingin menghabiskan sisa waktu aku seperti orang normal! Bukan sebagai orang sakit!"

Dian tak kuasa lagi menahan air matanya. Dia menangis sambil membentak Elang.

Elang mengusap wajahnya dan menghembuskan napas mencoba menahan emosinya.

"Baiklah Yan, kalau itu kemauan kamu tapi janji kamu tidak perlu melanjutkan sekolah dan kamu harus dirawat di rumah. Janji?"

Dian mendesah. "Lang, justru aku ingin pulang karena aku mau tetap sekolah."

"Yan, ingat kondisi kamu! Kenapa kamu harus keras kepala sih? Apa susahnya kamu hanya tinggal istirahat saja di rumah?" Elang mulai emosi.

"Itu sama saja aku seperti orang sakit yang tidak bisa kemana-mana!"

"Kamu memang sakit Yan! Kamu sekarat!"

Elang dan Dian kembali berdebat dengan emosi yang mulai memuncak. Elang yang tidak suka dibantah dan Dian yang keras kepala. Keduanya tidak ada yang mau mengalah sampai akhirnya Elang menyerah.

"Baiklah, aku tidak akan mendebat lagi Yan. Aku hanya mengkhawatirkan kondisi kamu tapi kalau kamu sendiri tidak khawatir dengan diri kamu sendiri, aku tidak bisa memaksa," Elang mengusap lembut pipi Dian. "aku pergi."

Elang beranjak dari sofa dan hendak pergi sebelum akhirnya Dian memeluknya dari belakang.

"Lang, maaf... aku mohon jangan pergi."

Elang terdiam lalu berbalik, menatap wajah Dian lekat.

"Aku mohon, jangan pergi." Dian menatap Elang dan mulai menangis.

Elang memeluk Dian lalu berbisik lembut. "Aku tidak akan pergi kemana pun asal kamu janji, kamu mau menuruti aku."

Dengan pasrah Dian mengangguk pelan di pelukan Elang. Bagi Dian, hanya seorang Elang Pratama yang bisa menghancurkan keras kepalanya.
Elang mempererat pelukannya dan mencium lembut puncak kepala Dian.

"Aku cinta sama kamu, Diandra Alleira. Aku sayang sama kamu." ucap Elang dalam hati.

ⱷⱷⱷⱷⱷ

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top