Penasaran

Pagi itu, Angga berjalan di koridor sekolah kelas Bahasa. Dia penasaran dengan gadis yang membentaknya di Rumah Sakit seminggu yang lalu. Rasa penasarannya semakin memuncak ketika gadis itu yang tidak lain adalah sahabatnya Diandra, menolak untuk berkenalan dengannya. Namanya Silmi Lestari dan nama itu kini ada di pikiran Angga beberapa hari terakhir, hingga membuat seorang Angga yang merupakan anak IPA rela berkunjung ke kelas Bahasa!

Angga kini sudah berada di depan kelas 12 Bahasa 1. Dia berdiri di ambang pintu, matanya mencari seorang cewek ke seluruh ruangan. Bibirnya tersenyum ketika melihat cewek yang di carinya sedang mengobrol dengan temannya tidak jauh di hadapannya kini.

"Anjir! Kemarin Elang sekarang Angga!"

"Eh buset anak IPA mana lagi nih yang ke kelas Bahasa!"

"Ya Allah! Pertanda apa dari kemarin kelas kita di kunjungi anak IPA!"

Lagi dan lagi, beragam celoteh dari cabe-cabean anak Bahasa.

Angga tidak menggubris semua celoteh tersebut. Pikirannya kini tertuju pada Silmi yang tidak menyadari kehadirannya.

“Silmi.” panggil Angga.

Tidak ada respon dari Silmi.

“Silmilikiti.” goda Angga.

Lagi dan lagi, tidak ada jawaban dari Silmi.

“Silmi sayang.” Braaakkk!

Sebuah buku terlempar mengenai tubuh Angga.

“PERGI LO SANA! SAYANG SAYANG PALA LO PEYANG!” bentak Silmi seraya mengusir Angga.

"Astaghfirullah! Ini gue ngadepin cewek apa ngadepin singa betina sih! Galak banget!" batin Angga sambil memungut buku yang di lempar Silmi.

“Sil! Lo jangan galak-galak kenapa sama orang.” ujar Maya.

“Emang dia orang ya? Gak kenal!” balas Silmi ketus.

“Gak kenal, gak kenal, ntar lo sayang sama dia.” Maya tertawa geli.

“Dih! Najisun!” Silmi bergidik.

“Silmi jangan gitu, nanti beneran sayang loh sama Angga.” ucap Angga menggoda Silmi. Lalu mengembalikan buku yang di lempar Silmi tadi.

Silmi memutar bola matanya dengan sangat sangat malas. Kemudian dia menatap Angga dengan sinis sambil menunjuk ke arahnya.

“Lo tau pepatah ‘Tak Kenal Maka Tak Sayang’ kan? Nah, gue gak mau kenalan sama lo, biar gue gak sayang nantinya!”

Mendengar perkataan Silmi, Angga langsung berdecak kesal dan mengacak-acak rambutnya. Baru saja dia mau membalas perkataan Silmi, Kriiinggg!

Bel tanda masuk berbunyi.

“Udah bel noh! Balik lo sana ke tempat semula! Atau lo mau jadi murid gelap di kelas Bahasa hah?” usir Silmi

"Gue lebih baik jadi murid gelap di kelas lo Sil! Biar bisa dekat dan kenal sama lo." batin Angga. Kemudian dia berlalu dari kelas Bahasa, kembali ke kelasnya.

“Sil, Angga tuh lagi pendekatan sama lo, peka dikit kek!”

“Emang lo pikir gue kaga tau May?”

“Trus kenapa lo galak banget sama dia? Cuma di ajak kenalan doang.”

“Gue gak suka May sama cowok kayak Angga.”

“Emang Angga cowok kayak gimana?”

“Angga tuh cowok yang nyadar ganteng dan suka tebar pesona! Gue alergi!”

“Cih! Alergi, alergi, ntar sayang.”

“Berisik lo May!”

Sementara itu, Angga sudah kembali ke kelasnya dengan tampang merungut. Elang yang melihat ekspresi wajah sahabatnya itu menjadi tidak tahan untuk bertanya.

“Dari mana aja lo? Tampang kusut begitu?” tanya Elang heran.

“Dari kandang singa!” jawab Angga kesal.

Elang mengkerutkan keningnya. “Emang sekolahan kita punya kandang singa?”

Elang sepertinya pura-pura bodoh atau memang tidak paham? Karena Angga mulai memakai bahasa kiasan seperti anak Bahasa.

“Ada Lang, kelas 12 Bahasa 1 kandang singanya.”

“Maksud lo, kelasnya Diandra?”

“Iya! Kelas gebetan lo noh kandang singa. Ada satu singa betina jadi murid di kelas itu!"

"Satu singa yang bikin gue tertarik dan susah banget gue bikin jinak." batin Angga.

“Diandra bukan gebetan gue, Ga!”

“Bukan gebetan, terus apa? Mainan?”

“Ga! Gue gak pernah anggap Diandra mainan!” hardik Elang tersinggung.

“Yauda terserah lo! Dan sorry…” Angga meminta maaf.

Hening untuk beberapa saat. Elang akhirnya bersuara.

“Lo lagian main-main sama singa.” celetuk Elang sukses membuat Angga melirik Elang.

“Beruntung Lang, lo gak ketemu singa, tapi ketemunya kucing.” balas Angga tertawa. Mendengar perkataan sahabatnya, Elang tidak paham tapi ikut tertawa.

Mereka menghentikan tawa mereka setelah melihat Pak Tedjo, Guru Matematika, memasuki kelas. Dua jam pelajaran Matematika, dilanjutkan dengan pelajaran Kimia, hingga akhirnya bel istirahat berbunyi.

“Lang, pulang sekolah lo mau ikut gue gak?” tanya Angga.

“Ke mana?”

“Ke Rumah Sakit keluarga lo, jenguk Kakek gue, sekalian gue mau nanya yang namanya Dian itu Diandra Alleira atau bukan?”

Deg! Elang berpikir sejenak.

“Gue gak bisa kayaknya Ga! Gue ada urusan.”

“Beneran lo ada urusan? Bukan mau menghindari kenyataan kalau Dian…”

“Ga! Gue yakin Dian itu bukan Diandra Alleira!”

Angga terkejut lalu menatap Elang. Kini dia paham sahabatnya belum mau terima kenyataan kalau Diandra yang dia kenal bisa jadi adalah pasien Rumah Sakit keluarganya, yang hidupnya  kini tak lama lagi. Dan Angga juga paham, Elang menolak ajakannya pasti karena belum siap menerima kenyataan tersebut.

"Lang, lo sepertinya mulai jatuh cinta dan sayang sama Dian." ucap Angga dalam hati.

“Yauda Lang, kalau emang lo ada urusan, gue gak maksa.”

Elang memilih diam tak membalas perkataan Angga. Sungguh di dalam hatinya, Elang tak mau menerima fakta bahwa mungkin saja Dian yang di maksud Kakeknya Angga adalah Diandra Alleira yang dia kenal.

ⱷ ⱷ ⱷ ⱷ ⱷ

Sepulang sekolah, Angga langsung menuju ke Rumah Sakit. Dia sudah penasaran dengan masalah Dian. Ingin rasanya dia cepat-cepat membuktikan ke Elang kalau dugaannya selama ini benar, Dian yang di maksud Kakeknya adalah Diandra Alleira.

Ceklek. Angga membuka pintu kamar rawat Kakeknya. Syukurlah, Kakeknya sedang tidak tidur melainkan sedang meyaksikan acara TV.

“Assalamu’alaikum Kek.” Angga mengucapkan salam dan menyalim Kakeknya.

“Wa’alaikumussalam, Angga tumben kemari?” tanya Kakek Albar.

“Iya kek, Angga kangen sama Kakek, sekalian ada urusan.” jawab Angga terkekeh.

“Hmm, ada urusan apa kamu?” tanya Kakek Albar penasaran.

“Itu Kek, soal Dian.” Angga menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“Dian? maksud kamu Dian yang Kakek ceritakan waktu itu?”

Angga mengangguk. “Angga mau nanya sesuatu Kek.”

“Mau tanya apa?”

“Dian yang Kakek maksud, apa nama lengkapnya Diandra Alleira?”

“Benar! Namanya Diandra Alleira. Kamu kok tau?”

“Dia teman satu sekolah Angga, Kek.”

“Ya Allah! Kebetulan sekali, ternyata Nak Dian satu sekolah sama kamu.”

“Kek, Angga boleh gak kenalan sama Dian?”

“Ya tentu saja boleh! Lagian kalian kan teman satu sekolah.”

“Tapi Kek, masalahnya sudah dua minggu lebih Dian gak masuk sekolah, sepertinya Dian di rawat ya?”

“Oh iya! Nak Dian memang di rawat, seminggu ini dia di Rawat Intensif dan baru beberapa hari yang lalu di pindahkan ke ruang perawatan biasa. Tadi pagi Dian main ke sini, coba kamu lebih pagi datangnya.”

“Kan Angga sekolah Kek, kalau boleh tau kamar Dian di mana ya?”

“Coba kamu tanya Perawat jaga yang di depan. Mereka pasti tau, Nak Dian kan terkenal di Rumah Sakit ini.” Kakek Albar tersenyum ke Angga.

Angga mengangguk lalu permisi pada Kakeknya kemudian menuju ke ruang Perawat jaga. Dan benar saja, Perawat jaga langsung tahu tentang Diandra Alleira. Mereka pun memberitahukan Angga di mana kamar Dian di rawat.

Kini Angga sudah berdiri di depan kamar rawat yang tertulis nama DIANDRA ALLEIRA di pintunya.

"Ketok dulu apa gak ya? Apa gue masuk aja?" ucap Angga dalam hati.

Setelah berpikir agak lama, Angga memutuskan langsung membuka pintu kamar.

Dian yang sedang membaca novel sambil mendengarkan lagu-lagu Jazz di earphonenya, tak menyadari Angga yang masuk ke kamarnya, sampai Angga berdiri di samping tempat tidurnya, Dian terkejut, berhenti membaca novel kemudian melepaskan earphonenya.

“Angga?”

“Iya, Yan. Gue Angga.”

“Lo kok? Eh lo sendirian kan?” tanya Dian sedikit ketakutan.

“Tenang Yan, gue sendirian. Elang gak ikut.” jawab Angga seakan paham dengan ketakutan Dian.

Dian hanya bisa diam mendengar perkataan Angga. Dia tak tahu harus bicara apa.

“Angga kok bisa tau sih gue di rawat di sini? Apa Elang juga tau?” batin Dian.

“Elang gak tau kalau lo di rawat di Rumah Sakit keluarganya, setidaknya itu yang dia pikir.” ucap Angga sekali lagi seakan dia paham apa yang di pikirkan Dian.

“Hah? Maksudnya?”

“Elang gak mau terima kenyataan kalau lo pasien Rumah Sakit keluarganya dan hidup lo…”

“Ga? Jadi lo tau semuanya? Elang juga tau?”

Angga menggeleng. “Yan, lo jahat banget ya? Kenapa lo gak bilang sama Elang kalau lo punya penyakit jantung bahkan hidup lo…,” Angga berhenti sebentar. “Elang mulai jatuh cinta sama lo Yan, mau sampai kapan lo rahasiain hal ini?” lanjutnya.

“Ga…,” Dian terisak. “gue tau gue jahat, gue mau buat Elang jatuh cinta sama gue tanpa memberitahu dia bahwa gue akan pergi selamanya. Gue sadar, gue jahat!” lanjut Dian mulai menangis.

Angga jadi iba mendengar perkataan Dian.

“Yan, maaf. Bukan maksud gue…”

“Gue cinta sama Elang sudah lama Ga. Dia cinta pertama gue. Apa salah kalau gue mau kenal lebih dekat sama Elang? Sejujurnya, gue gak berharap banyak Elang bisa membalas perasaan gue. Dan gue sudah cukup bahagia sekarang bisa dekat sama Elang.”

“Maaf Yan.”

“Gue mohon sama lo Ga. Jangan beritahu Elang soal keadaan gue.”

Angga menatap Dian dengan penuh tanda tanya.

“Tapi kenapa Yan? Kenapa Elang gak boleh tau?”

“Gue mohon Ga. Sekarang gue udah cukup dekat sama Elang, bayangkan kalau dia tahu keadaan gue? Dia pasti akan mundur perlahan mengetahui gue penyakitan.”

“Yan! Elang bukan orang seperti itu! Bukannya gue udah bilang tadi? Kalau Elang mulai jatuh cinta sama lo?”

Dian tersenyum tipis. “Gue gak yakin Ga. Karena yang gue lihat Elang masih punya perasaan sama Sarah, cinta pertamanya.”

Angga mendengus. “Sarah bukan lagi cinta pertamanya Yan! Sarah itu sudah menjadi obsesi Elang yang memuakkan!”

Dian tersenyum. “Tetap aja Ga. Lo jangan beritahu Elang soal keadaan gue. Alasan lainnya, gue gak mau Elang lihat keadaan gue dengan rasa kasihan.”

Angga mengusap wajahnya kemudian menatap Dian lekat.

“Oke, dengan satu syarat.”

“Syarat apa?”

Angga tersenyum dan memicingkan matanya membuat Dian bergidik.

“Kenalin gue ke temen lo yang namanya Silmi.”

“Hah? Apa? Silmi?”

Angga mengganguk mantap. “Iya, Silmi Lestari!”

“Tunggu dulu, lo naksir sama Silmi?”

“Naksir sih enggak, cuma tertarik.”

“Kalau naksir jangan bilang cuma tertarik.” goda Dian sambil tertawa.

“Anjir, Yan! lagian temen lo galak banget gak mau kenalan sama gue.”

Dian makin tertawa mendengar perkataan Angga. Ya jelas aja Silmi gak mau kenalan, dia kan alergi sama cowok kayak Angga yang suka banget tebar pesona dan sadar ganteng.

“Yan! Gue serius malah di ketawain!”

“Iya, iya, gue tahu lo serius.”

”Pokoknya kenalin gue sama temen lo Yan!”

"Pertama kalinya gue minta tolong orang buat kenalan sama cewek." batin Angga.

“Iya Ga, gue pasti kenalin sama Silmi. Lo juga jangan bilang Elang tentang keadaan gue. Deal?”

“Pasti Yan! Gue pegang janji lo dan lo bisa pegang janji gue.”

Dian mengangguk, tersenyum ke Angga dan Angga membalas senyumnya. Mereka berdua tanpa sadar sudah memulai ikatan persahabatan. Di mana Angga mulai menyayangi Dian.

“Ngomong-ngomong Yan, lo kenal Kakek Albar?”

“Iya gue kenal, kenapa?”

“Dia Kakek gue Yan.”

“Lo serius Ga?”

“Iya gue serius. Sekarang gue mau ke kamarnya, mau pamit pulang. Lo mau ikut?”

“Boleh deh, lagian gue bosen di kamar.”

Mereka berdua akhirnya menuju ke kamar rawat Kakek Albar. Dian masih tidak menyangka, Kakek Albar, sosok yang dia anggap sebagai Ayahnya sendiri selama ini ternyata Kakeknya Angga. Siapa sangka? Dian yang sudah lama kenal Kakek Albar tapi baru mengenal cucunya sekarang, yang akan menjadi sahabatnya kelak.

ⱷ ⱷ ⱷ ⱷ ⱷ

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top