Patah Hati
Aku membuka bungkus kado dari Elang dan kudapati sebuah kotak berukuran sedang, aku buka kotak tersebut dan menemukan sebuah kotak musik dengan boneka penari balet di tengahnya. Kuputar kunci kotak musik tersebut dan boneka penari balet itu pun berputar-putar diikuti alunan musik Lullaby dari Claude Debussy. Lagu kesukaanku!
Ingatanku pun kembali di mana aku bermain piano mempersembahkan lagu tersebut untuk Elang. Aku tersenyum tipis dengan perasaan menyakitkan di hatiku. Elang ingat momen itu biar pun kini dirinya sudah menjadi pacar Sarah. Aku tidak habis pikir, kenapa Elang memberikan kado seperti ini. Kenapa dia tidak datang saja tanpa membawa apapun apalagi kado! Bukankah sudah kukatakan tidak perlu membawa kado?
Kini, aku merutuk diriku sendiri. Aku harus bagaimana? Keputusanku sudah bulat untuk mundur. Aku akan melupakan Elang. Tapi aku tidak bisa membuang perasaanku. Terlebih lagi setelah aku menerima kado dari Elang. Ingin rasanya aku tetap menyimpan perasaan ini dan merebut Elang dari Sarah. Tidak! Itu salah Dian! Sangat salah! Bagaimana pun perasaanku kini sudah tidak penting lagi. Elang sudah memilih Sarah!
Bukanlah sebuah dosa mencintai seseorang tapi itu salah jika orang yang kita cintai sudah memilih orang lain dalam hatinya. Terlebih lagi kita sadar jika membiarkan dirinya jatuh cinta kepada kita hanya akan menjadikan hatinya hancur teramat dalam. Sekali lagi, jatuh cinta hanya untuk ditinggalkan selama-lamanya? Itu kejam! Sedangkan Tuhan pasti tidak menginginkan manusia saling jatuh cinta untuk sesuatu yang kejam pada akhirnya.
Aku menatap kosong ke depan sambil menikmati alunan musik dari kotak musik tersebut yang kini ada di tanganku. Aku terduduk di tempat tidur, tanpa sadar buliran air mata jatuh di pipiku. Memikirkan bagaimana aku harus menjauh dari Elang, sungguh menyiksa hatiku. Haruskah aku mundur secara perlahan dengan tetap di sampingnya? Sanggupkah diriku? Atau aku bersikap kejam saja? Menganggap tak pernah sama sekali mengenal Elang?
Kupejamkan mata sembari menghapus air mata di pipiku. Kuhembuskan napas dan memantapkan hati. Jika memang tetap berada di sampingnya, saat hendak beranjak menjauh begitu berat terasa, akan lebih baik memutuskan untuk bersikap kejam. Mungkin ini jalan terbaik, membuatnya terlihat kejam karena pada akhirnya juga aku akan meninggalkannya.
Ceklek. Pintu kamarku terbuka.
Kubuka mataku dan menoleh ke arah pintu. Kedua sahabatku, Maya dan Silmi masuk ke kamarku. Mereka memang belum pulang setelah acara ulang tahunku selesai. Elang dan Sarah sudah berpamitan. Angga sendiri masih menunggu Silmi di ruang tamu.
"Yan, kita mau pamitan pulang." ujar Maya.
"Iya Yan, lo enggak apa-apa kan?" tanya Silmi.
Aku tersenyum dan mengangguk. "Iya, gue enggak apa-apa. Emang gue kenapa?"
Maya dan Silmi terdiam sambil menatapku.
"Kalian enggak usah khawatir sama gue. Masalah Elang? Gue udah ikhlasin dia sama Sarah. Itu yang terbaik, buat gue juga buat Elang." Aku menjelaskan mencoba membuat kedua sahabatku untuk tidak perlu memikirkanku.
"Yan, gue beneran kaget tadi lo mengundang Elang dan Sarah. Bahkan lo memperkenalkan mereka sebagai pasangan. Lo juga akrab sama Sarah." Silmi terdiam sejenak. "sekarang rencana lo apa? Bukannya salah satu keinginan terakhir lo itu membuat Elang jatuh cinta sama lo?" lanjutnya bertanya.
"Sil, jangan bahas sekarang lah." Maya melotot ke arah Silmi.
"Maaf Yan, tapi gue enggak bisa enggak kepikiran." Silmi menatap Dian sendu.
Aku meletakkan kotak musik di atas tempat tidur, berdiri lalu memeluk Silmi kemudian aku menangis di dalam pelukannya.
"Gue memutuskan berhenti Sil, lo sudah tahu kan alasannya? Dan kini Elang sudah memilih Sarah, hati gue sakit Sil, sakit! Tapi rasa sakit di hati gue ini tak seberapa dari yang akan dirasakan Elang nanti, jika gue berhasil membuatnya jatuh cinta hanya untuk gue tinggalkan selama-lamanya. Gue enggak boleh egois kan? Iya kan?"
"Yan..."
"Please, Sil. Bilang kalau pilihan gue ini benar. Keputusan gue ini bukan keputusan yang salah. Jangan buat gue meragu karena lo adalah sahabat gue. Lo sahabat gue kan?" aku melepaskan pelukan Silmi kemudian menatapnya lalu menatap Maya.
Silmi dan Maya tersenyum dan mengangguk.
"Pilihan lo udah benar Yan. Mengikhlaskan itu yang terbaik. Tapi janji, lo bahagia sama keputusan ini. Lo bahagia kan Yan?" tanya Silmi.
"Iya Yan, kita akan dukung apapun pilihan lo asal lo bahagia dengan pilihan lo itu." Maya kemudian memelukku.
"Kalian tenang aja, gue sudah memantapkan hati dan gue bahagia dengan keputusan ini, tapi...," aku terhenti, Maya melepaskan pelukannya. "gue terpaksa harus bersikap kejam pada hati gue, juga pada Elang." aku tertunduk setelah mengucapkan itu.
"Maksud lo Yan?" tanya Maya.
"Iya gue juga gak paham." Silmi menimpali.
"Gue, akan menganggap enggak pernah sama sekali mengenal Elang. Gue, berencana untuk tidak mengenalnya jika bertemu dengannya di mana pun itu. Gue enggak yakin bisa bertahan jika tidak kejam seperti ini." aku menatap kedua sahabatku sambil menahan air mata.
"Yan... tapi bagaimana dengan hati lo?" Maya bertanya kepadaku diikuti dengan anggukan dari Silmi.
Aku menatap kedua sahabatku, tersenyum dan air mata jatuh di pipiku.
"Gue rasa, hati gue akan baik-baik saja. Seharusnya, yang kalian khawatirkan itu jantung gue."
Hening untuk beberapa saat. Maya dan Silmi pun saling tatap kemudian tertawa kecil.
"Bener juga Yan." ujar Silmi.
"Ya Allah gue lupa sama penyakit lo Yan." Maya menepuk jidatnya.
Aku ikut tertawa sambil menangis kemudian memeluk kedua sahabatku erat sebelum akhirnya mereka benar-benar berpamitan pulang.
ⱷⱷⱷⱷⱷ
Elang menatap langit-langit kamarnya sambil tiduran di atas kasur. Dia belum berganti pakaian dan membersihkan diri selepas dari acara ulang tahun Dian dan mengantar Sarah pulang. Beberapa menit kemudian, Elang memutuskan bangun dan duduk di atas tempat tidur, memikirkan perkataan Sarah tadi di mobil.
"Lang, aku gak nyangka ya Dian memperkenalkan kita sebagai pasangan ke teman-temannya. Aku kira Dian hanya mengundang kita aja. Dian ternyata orangnya baik. Penilaianku salah selama ini tentang dia."
"Yan! Sebenarnya rencana lo apa sih?" gerutu Elang sambil mengacak-ngacak rambutnya frustrasi.
Kembali dirinya teringat bagaimana ekspresi wajah Dian saat mengucapkan selamat kepadanya, memperkenalkan dirinya dan Sarah sebagai pasangan. Dian tersenyum sumringah, tapi Elang tahu betul wajahnya menyiratkan sesuatu. Dan hal itu entah bagaimana membuat dadanya sesak, terlebih ketika tanpa sengaja Elang menangkap tatapan sendu dari mata Dian sebelum gadis itu memalingkan muka darinya. Hati Elang sakit!
"Gue benci Yan sama ekspresi wajah lo itu. Seakan tidak terjadi apa-apa. Dan tatapan itu Yan! Tatapan itu!" Elang tertunduk, kini baru dia sadari kalau tatapan sendu Dian akibat dari kebodohannya! "Maaf Yan, gue sudah menyakiti hati lo. Gue emang brengsek!" batin Elang.
Kini hati dan pikiran Elang berkecamuk. Ketakutan dan kekhawatiran akan Dian yang tak mau mengenal dirinya lagi mungkin akan menjadi kenyataan. Elang menghembuskan napas kasar dan membanting dirinya kembali di atas tempat tidur. Memejamkan mata kemudian menampilkan wajah Dian yang tersipu malu, tertawa bahagia dan berbagai macam ekspresi ketika bersamanya. Semua gambaran itu menari-nari sempurna di dalam pikirannya.
Tok. Tok. Tok.
Elang membuka matanya. "Masuk!"
"Den Elang, ada Den Angga nunggu di luar." ucap Bik Inah, salah satu pembantu rumah tangga di rumah Elang.
"Angga? Di luar?"
"Iya Den, di luar, di gerbang."
"Kok gak di suruh masuk Bik?"
"Bibi udah suruh masuk tapi Den Angga tidak mau."
"Yauda, Elang keluar Bik."
Elang kemudian beranjak dari kasur dan mengkerutkan keningnya. Enggak biasanya Angga menunggu di gerbang rumahnya. "Ada apa ya?" pikir Elang bingung.
Malam itu, setelah mengantar Silmi pulang, Angga memutuskan ke rumah Elang. Dia benar-benar butuh penjelasan Elang tentang apa yang terjadi di acara ulang tahun Dian. Angga menjadi emosi, kenapa sahabatnya ini begitu bodoh dan tak menyadari perasaannya sendiri. Sahabatnya itu justru dibutakan obsesi terhadap Sarah!
"Angga? Lo kenapa gak mas..."
Bugh! Angga memukuli Elang dengan keras hingga terjatuh dan sudut bibir Elang berdarah.
"Ga! Lo apa-apaan sih!" hardik Elang sambil menyeka sudut bibirnya.
"Lo pantes buat dapetin itu Lang! Asal lo tau, lo jauh lebih brengsek dari Bayu!"
Elang menatap Angga nanar dan penuh emosi.
"Jangan bilang ini soal Dian?" tanya Elang berusaha berdiri.
"Iya! Ini soal Dian! Lo sadar gak udah nyakitin Dian? Hah?"
Elang mendengus. "Trus gue harus gimana? Lo tahu betul gue cinta sama Sarah!"
Angga tertawa. "Cinta lo bilang? Sarah? Jangan sakit jiwa Lang! Tanya hati lo baik-baik, siapa yang sesungguhnya lo cinta? Gue sendiri aja bisa lihat kepada siapa hati lo memilih, kenapa justru lo yang gak bisa lihat?"
"Gue cinta sama Sarah, Ga!"
"Brengsek!" Angga memukuli Elang lagi dan Elang pun terhuyung ke belakang.
"Mau sebanyak apapun lo mukul gue Ga, gak akan merubah fakta gue cinta sama Sarah."
Dasar Elang kepala batu! Ingin rasanya Angga berteriak kepada Elang memberitahukan bahwa Diandra hidupnya tidak lama lagi dan akan meninggal. Saat itu juga Angga ingin sekali merobek hati Elang dan membuang nama Sarah dari hatinya.
"Oke Lang, terserah lo. Tapi sebagai sahabat gue gak bisa membiarkan hal ini. Gue mencoba memperingatkan lo, jangan sampai menyesal nantinya. Gue katakan sekali lagi, Sarah itu cuma obsesi! Dan Dian, Dian yang sekarang ada di hati lo!" Angga terdiam sejenak. Mengontrol emosinya. "gue benar-benar enggak mau lo menyesal Lang, karena lo enggak tahu apa yang sedang dialami Dian dan apa yang akan terjadi sama Dian! Lo enggak tahu karena kalau lo tahu, lo enggak akan sebrengsek ini! Lo enggak akan tetap mengejar obsesi lo itu!" lanjut Angga dengan intonasi nada yang meninggi.
Elang menatap Angga dengan tatapan tak mengerti dan mencoba memahami perkataan Angga.
"Maksud lo apa Ga? Memang apa yang akan terjadi sama Dian?"
"Maksud gue, maksud gue, lo harus persiapin hati lo untuk kemungkinan lo akan menyesal seumur hidup," Angga menatap nanar Elang. "gue pergi! Sia-sia gue bicara sama lo!" lanjutnya.
Namun, ketika Angga hendak pergi ke luar gerbang, Elang menangkap bahu Angga dengan kasar.
"Jawab pertanyaan gue brengsek! Apa yang akan terjadi sama Dian? Memang Dian kenapa?" tanya Elang sambil memaki.
Angga menepis cengkraman Elang dari bahunya. "Lo peduli apa? Hah?"
"Bangsat! Jawab pertanyaan gue!"
"Jangan penasaran kalau lo enggak peduli sama Dian!" Angga mendorong Elang hingga terjatuh.
"Gue peduli sama Dian, Ga. Gue peduli..." ucap Elang dengan suara melemah dan tertunduk.
Angga berbalik dan menatap sahabatnya yang terduduk dengan kepala tertunduk. Hatinya iba, ingin dia beritahu semuanya tapi dirinya sudah berjanji pada Dian.
"Kalau lo beneran ingin tahu, tanya langsung sama Dian karena gue enggak punya hak untuk memberitahu lo. Gue sudah janji sama Dian, maaf." Angga meninggalkan Elang lalu menyalakan mobilnya kemudian pergi dari rumah sahabatnya itu.
Elang hanya menatap kepergian Angga. Perasaannya kini tak bisa dijelaskan, sebuah kenyataan yang tidak dia ketahui yang disembunyikan Dian entah bagaimana bisa membuat hatinya perih.
"Sebenarnya apa yang akan terjadi sama lo Yan?" gumam Elang.
ⱷⱷⱷⱷⱷ
Kriiiiiiiinggg! Bel tanda istirahat berbunyi. Anak-anak kelas 12 Bahasa 1 berhamburan keluar menuju kantin.
"Yan, kita ke kantin ya? Atau lo mau ikut ke kantin?" tanya Silmi.
"Enggak Sil, gue bawa bekal." jawab Dian.
Silmi dan Maya mengangguk paham kemudian mereka ke kantin.
Dian, seperti biasanya menghabiskan bekalnya di kelas. Setelah itu dia menuju ke perpustakaan, tempat favoritnya menghabiskan sisa waktu istirahat. Namun, kali ini Dian tak membawa apa-apa, dia tak membawa sketsa buku gambarnya. Dian ke perpustakaan berniat menghabiskan waktunya dengan membaca buku.
Begitu sampai di perpustakaan, Dian memilih buku yang akan dibacanya kemudian dirinya duduk di tempat biasa dekat jendela yang menghadap ke taman belakang sekolah. Tanpa sengaja matanya menangkap sosok Elang sedang duduk di bangku taman, laki-laki itu tak sendirian. Tentu saja bersama Sarah, kekasihnya.
Dian tersenyum tipis, matanya kembali sendu. Hatinya sakit dan sedikit cemburu. Ah tidak! Bukan sedikit cemburu, tapi Dian sungguh cemburu melihat Elang bersama Sarah. Dian memalingkan mukanya kemudian menggeleng sambil memejamkan matanya.
"Inget Yan! Lo udah buat keputusan! Bersikap kejam lah!" batin Dian.
Dian akhirnya memilih pindah tempat duduk, menjauh dari jendela lalu membaca buku yang sudah diambilnya dari rak buku perpustakaan hingga waktu istirahat selesai.
Saat Dian hendak ke kelas begitu bel masuk berbunyi, di koridor kelas dia melihat Elang dari jauh. Langkahnya terhenti sejenak. Tapi kemudian dia melanjutkan langkahnya dengan mantap, kepala dia tegakkan sambil terus berjalan mendekati Elang yang juga sedang berjalan mendekatinya. Dan dirinya pun berpapasan dengan Elang.
Dian menatap Elang tanpa ekspresi seakan memang tak mengenalnya. Elang tersenyum ke Dian hendak menyapanya, namun Dian dengan cepat menatap lurus ke depan sambil terus berjalan. Untuk pertama kali dalam hidup Dian semenjak jatuh cinta pada Elang Pratama, dia mengabaikan laki-laki itu!
Elang menghentikan langkahnya. Senyum yang dia persembahkan untuk Dian seketika memudar. Untuk pertama kali dalam hidup Elang, dia merasa hancur dan remuk. Dian masih terus melangkahkan kakinya menjauhi Elang dan terus menjauh.
"Yan! Nanti pulang sekolah bisa bicara sebentar?" tiba-tiba Angga menghentikan langkah Dian.
"Bisa Ga, emang ada apa?" tanya Dian.
"Nanti aja pulang sekolah kita omongin." Angga terkekeh.
"Yauda pulang sekolah aja." Dian tersenyum.
Angga dan Dian saling berbalas senyum. Tanpa menyadari Elang memperhatikan mereka.
Elang tidak menyukai pemandangan yang dilihatnya kini. Apa dia cemburu dengan sahabatnya sendiri? Padahal Elang tahu dengan pasti siapa yang disukai Angga dan itu bukan Dian! Tidak, itu bukan perasaan cemburu. Lebih tepatnya perasaan 'tidak terima'.
Elang tidak terima Dian mengacuhkan, mengabaikan, dan seolah tak mengenal dirinya namun di saat bersamaan Dian berbicara, tersenyum dan seakan tak terjadi apa-apa kepada sahabatnya, Angga. Lalu dirinya? Dihempaskan begitu saja oleh Dian.
Elang mengepalkan tangannya. Dadanya sesak, napasnya memburu.
"Jadi ini rencana lo Yan? Lo tampak bahagia melihat gue dengan Sarah, mengucapkan selamat dan terlihat baik-baik saja hanya untuk kemudian lo menganggap gue bukanlah siapa-siapa dan seakan-akan gak mengenal gue sama sekali!"
ⱷⱷⱷⱷⱷ
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top